Efisiensi Konsumsi Makanan Lunak Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit TNI-AD Salak Bogor
Abstract
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mempelajari efisiensi konsumsi makanan lunak pasien rawat inap di Rumah Sakit TNI-AD Salak Bogor. Secara khusus bertujuan untuk mempelajari karakteristik pasien yang mendapat diet makanan lunak meliputi kelas perawatan, jenis diet, jenis penyakit dan kecukupan energi dan protein; mempelajari ketersediaan energi dan protein dalam menu makanan lunak yang disediakan rumah sakit; mempelajari persepsi pasien terhadap menu makanan lunak yang disediakan rumah sakit; konsumsi energi dan protein pasien rawat inap; efisiensi konsumsi makanan lunak; serta mempelajari hubungan persepsi pasien terhadap menu yang disediakan dengan efisiensi konsumsi makanan lunak rumah sakit. Penelitian dilaksanakan selama bulan Juli 1998. Contoh penelitian adalah pasien yang dipilih dengan kriteria: usia 17-55 tahun, keadaan kesehatan tidak dalam keadaan demam tinggi dan penyakitnya tidak parah, serta pasien sedang mendapatkan diet makanan lunak paling sedikit selama satu hari. Jenis datayang dikumpulkan terdiri atas data primer dan sekunder yang meliputi keadaan umum tempat penelitian, penyelenggaraan makanan, identitas pasien, konsumsi makanan lunak, konsumsi makanan dari luar menu, persepsi menu, dan dokumen catatan medis pasien. Pengolahan dan analisa data menggunakan program komputer Microsoft Excel versi 7.0 dan Minitab for Windows. Total seluruh contoh sebanyak 57 pasien dengan jumlah contoh terbanyak (47,37%) terdapat di kelas III. Sebagian besar contoh sedang menjalani diet bubur biasa, yaitu 61,40 persen. Berdasarkan jenis penyakit, sebanyak 70,20 persen merupakan kelompok non demam. Kecukupan energi dan protein contoh yang tinggi terdapat pada penderita demam, berumur kurang dari 21,21 tahun, dan berjenis kelamin laki-Iaki. Rata-rata kecukupan energi dan protein masing-masing sebesar 1918,60 Kalori/kapitafhari dan 66,62 gram/kapita/hari. Rata-rata ketersediaan energi dan protein pada menu kelas I dan II hampir memenuhi standar dalam Penuntun Diit RSCM, sedangkan untuk kelas III ketersediaan energi dalam menu yang disediakan masih jauh dari standar. Dari seluruh kelas perawatan ketersediaan energi dan protein paling rendah terdapat pada menu kelas III. Berdasarkan jenis diet, ratarata ketersediaan energi pada menu diet bubur biasa lebih tinggi dibanding menu diet bubur tahu, sedangkan rata-rata ketersediaan proteinnya tidak jauh berbeda. Nilai skor persepsi menu antar kelas berbeda karena perbedaan jumlah jenis makanan yang disediakan dan jenis diet. Rata-rata skor persepsi menu pasien di kelas I dan III lebih tinggi pada contoh yang menjalani diet bubur tahu daripada contoh dengan diet bubur biasa. Hal sebaliknya terjadi di kelas II. Sebagian besar contoh kelas I tidak menyukai besar porsi bubur yang disajikan pada pagi hari dengan alas an terlalu banyak, namun hanya sebagian kecil contoh kelas II dan III yang menyatakan tidak suka. Sedangkan besar porsi pada waktu makan siang dan sore hari dianggap cukup, terlihat dari tingginya persentase contoh yang menyatakan suka terhadap besar porsi yang disajikan. Rata-rata efisiensi konsumsi makanan lunak dari menu yang disediakan rumah sakit lebih tinggi pada diet bubur biasa daripada diet bubur tahu. Berdasarkan umur, rata-rata efisiensi konsumsi cenderung meningkat dengan bertambahnya umur. Sedangkan menurut jenis kelamin dan jenis penyakit, rata-rata efisiensi konsumsi yang lebih rendah terdapat pada contoh perempuan dan penderita demam. Menurut kelas perawatan efisiensi konsumsi makanan lunak paling tinggi terdapat di kelas III. Terdapat kecenderungan meningkatnya efisiensi konsumsi makanan lunak dengan meningkatnya persepsi menu dengan tingkat keeratan yang berbeda pada tiap kelas perawatan walaupun hasil analisa korelasi Pearson menunjukkan hubungan positif yang tidak nyata. Berdasarkan hasil penelitian diatas, disarankan agar Penuntun Diit RSCM digunakan sebaik-baiknya sehingga tujuan penyediaan makanan bagi pasien sesuai dengan kebutuhan, baik jenis, mutu dan jumlahnya, dapat dicapai seoptimal mungkin. Ketersediaan energi dan protein dalam makanan lunak yang disediakan, terutama pada menu kelas III, sebaiknya ditingkatkan sesuai dengan standar energi dan protein dalam Penuntun Diit RSCM dengan menyamakan jenis dan jumlah makanan yang disediakan untuk semua kelas perawatan. Pada keadaan tertentu, seperti pasien-pasien demam atau berusia lebih muda, penyajian makanan dapat dilakukan lebih sering dalam porsi kecil-kecil. Untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan, pihak rumah sakit sebaiknya membuat siklus menu baru yang lebih pendek, yaitu 10 atau 15 hari, dan dalam jangka waktu tiga bulan sekali dilakukan evaluasi yang menyeluruh. Disamping itu waktu penyajian makanan untuk sore hari sebaiknya diundurkan menjadi pukuI1B.OO-19.00 WIB sehingga jaraknya tidak terlalu dekat dengan waktu makan siang, sedangkan waktu makan pagi dapat ditunda dalam jarak 12-14 jam sesudah makan malam. Jadi shift malam tidak diperlukan lagi, khususnya bagi pegawai instalasi gizL Penelitian lanjutan mengenai laktor-Iaktor yang mempengaruhi efisiensi konsumsi makanan perlu dilakukan dengan jumlah contoh yang lebih besar. Selain itu perlu diadakan penelitian lanjutan tentang optimalisasi biaya, baik biaya bahan makanan maupun biaya lainnya yang termasuk dalam proses produksi makanan.
Collections
- UT - Nutrition Science [2987]