Konsumsi Pangan Sumber Yodium dan Pangan Goitrogenik Kaitannya dengan Kecerdasan Kognitif Siswa SD di Wilayah Pegunungan Cianjur
Abstract
WHO (2001) menyatakan bahwa hasil tes kognitif rata-rata dari 18 penelitian menunjukkan adanya penurunan IQ sebesar 13,5 point pada anak-anak yang defisiensi yodium. Salah satu penyebab defisiensi yodium adalah kurangnya konsumsi pangan sumber yodium yang umumnya berasal dari laut dan tingginya konsumsi pangan goitrogenik.
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis konsumsi pangan sumber yodium dan pangan goitrogenik kaitannya dengan kecerdasan kognitif siswa SD di wilayah pegunungan Kabupaten Cianjur. Tujuan khusus penelitian ini adalah 1) mengidentifikasi karakteristik contoh dan karakteristik keluarga contoh, 2) menilai status gizi contoh, 3) mengidentifikasi pola konsumsi pangan sumber yodium dan pangan goitrogenik contoh, 4) mengetahui konsumsi yodium dan tingkat kecukupan yodium, 5) mengetahui skor IQ dan prestasi belajar contoh, 6) menganalisis hubungan konsumsi yodium dengan skor IQ dan prestasi belajar contoh, 7) menganalisis hubungan tingkat kecukupan yodium dengan skor IQ dan prestasi belajar contoh, 8) menganalisis hubungan konsumsi pangan goitrogenik dengan skor IQ dan prestasi belajar contoh,
Penelitian ini merupakan penelitian bagian dari penelitian besar yang berjudul "Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) pada Anak Sekolah Dasar: Studi tentang Konsumsi Pangan, Aspek Sosio Budaya dan Prestasi Belajar di Wilayah dengan Agroekologi Berbeda". Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional study. Penelitian dilakukan di Cianjur pada bulan Mei 2012 Pemilihan Cianjur sebagai lokasi penelitian dilakukan secara purposif didasarkan pada rendahnya cakupan konsumsi garam beryodium rumah langga yaitu hanya 47,2%, lebih rendah dibanding level nasional yang mencapai 62.3% (Riskesdas 2007). Contoh minimum yang dibutuhkan adalah 150 menurut perhitungan Lameshow et al. (1997), dibagi ke dalam 3 kecamatan, sehingga contoh minimum di masing-masing kecamatan adalah 50 contoh, diambil dari 2 SD sehingga dari setiap SD ditetapkan minimal 25 contoh yang dipilih secara acak (random). Contoh adalah siswa SD kelas 5 dan 4.
Data primer meliputi karakteristik contoh (identitas siswa, umur, jenis kelamin); karakteristik keluarga (besar keluarga, pendidikan orangtua, pekerjaan orangtua dan pendapatan keluarga); konsumsi yodium (frekuensi konsumsi pangan sumber yodium dan pangan goitrogenik), antropometri (BB, TB); skor IQ dan kualitas garam di rumah tangga. Sedangkan data sekunder terdiri dari gambaran umum lokasi penelitian dan nilai rapor siswa SD yang diperoleh dari sekolah. Data diolah dengan menggunakan program komputer Microsoft Excell 2007 WHO Anthroplus 2007, Nutrisurvey 2007 dan SPSS versi 16.0. Data dianalisis secara deskriptif dan inferensia. Analisis inferensia diujikan untuk melihat hubungan antar variabel dengan menggunakan uji korelasi Rank Spearman dan Pearson.
Contoh siswa kelas 4 dan 5 SD memiliki rentang umur 9-14 tahun. Persentase laki-laki dan perempuan relatif sama yaitu masing-masing 52,3% dan 47.7%. Sebagian besar keluarga contoh merupakan keluarga kecil. Umumnya pendidikan orangtua contoh tergolong rendah karena hanya sampai SD; bahkan ada sekitar 25% orang tua contoh yang tidak tamat SD. Pekerjaan ayah sebagian besar adalah buruh (52.9%) dan ibu sebagai IRT (71,6%) Sebagian besar keluarga contoh berada pada tingkat ekonomi miskin (69.7%) dengan pendapatan per kapita di bawah garis kemiskinan Jawa Barat daerah pedesaan (<Rp 210.000,-) Status gizi contoh umumnya normal berdasarkan indeks IMT/U/z-skor (87,1%).
Pangan sumber yodium yang sering dikonsumsi contoh adalah pangan yang banyak tersedia di lokasi penelitian seperti ikan asin (68,4%), telur (67,1%) dan susu (43.9%) Sedangkan pangan sumber yodium yang berasal dari laut seperti ikan laut, ikan pindang, kerang, udang, agar-agar sangat jarang, bahkan tidak pernah dikonsumsi oleh contoh. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa hampir seluruh contoh (97,4%) mengkonsumsi garam <30 ppm, dan hanya 2,6% contoh menkonsumsi garam ≥30 ppm. Konsumsi garam dengan kadar yodium yang rendah tersebut mempengaruhi sumbangan terhadap tingkat kecukupan yodium. Asupan yodium contoh sebagian besar (72,9%) belum memenuhi kecukupan yodium harian yaitu 120 µg/hr untuk usia 8-12 tahun dan 150 µg/hr untuk usia 13-14 tahun. Contoh pada umumnya (59,4%) memiliki TKY yang masih rendah. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2000) yang menunjukkan hasil bahwa didaerah endemik rata-rata konsumsi yodiumnya rendah yaitu 31,74 µg/hari dan TKYnya hanya mencapai 23,33%.
Lebih dari separuh pangan goitrogenik yaitu singkong, daun singkong, kol dan sawi umumnya hanya dikonsumsi dengan frekuensi jarang, dan selebihnya yaitu daun pepaya dan terong cenderung tidak pernah dikonsumsi oleh contoh Hanya ada beberapa pangan goitrogenik yang dikonsumsi contoh dengan frekuensi sering meskipun persentasenya tidak terlalu besar yaitu singkong (21.3%), daun singkong (25,8%) dan kol (23,9%). Hal ini sejalan dengan penelitian Sutomo (2007) bahwa pangan goitrogenik yang sering dikonsumsi oleh penderita GAKY adalah singkong dan kol. Pangan sumber yodium dan pangan goitrogenik yang dikonsumsi contoh umumnya berasal dari hasil beli. Total rata-rata asupan sianida contoh dari pangan goitrogenik yang dikonsumsi masih berada dalam batas aman yaitu 0.8±0,6 mg/hari dimana batas aman menurut FAO/WHO adalah 10 mg/hari.
Berdasarkan hasil tes IQ diperoleh sebagian besar (58,1%) tingkat IQ contoh normal. Sebanyak 37,4% berada di bawah rata-rata dan 4,5% borderline. Tidak ada contoh yang mempunyai skor IQ superior maupun lebih tinggi dari skor rata-rata. WHO (2001) menyebutkan bahwa anak-anak dengan defisiensi yodium menunjukkan adanya penurunan IQ sebesar 13,5 point. Sedangkan berdasarkan nilai rapor diketahui bahwa sebagian besar contoh (55,8%) prestasi belajarnya tergolong cukup dan 17,9% kurang. Contoh yang mempunyai prestasi belajar sangat baik hanya 6,4%, dan 19.9% contoh prestasi belajarnya dinyatakan baik
Hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan terdapat hubungan positif signifikan antara TKY baik dengan tingkat IQ (p=0,095, r=0,106) maupun dengan prestasi belajar (p=0,006, r=0,201). Semakin tinggi TKY maka tingkat IQ dan prestasi belajar semakin baik. Dan semakin tinggi tingkat IQ maka prestasi belajarnyapun semakin baik terbukti dari hasil uji korelasi spearman yang menunjukkan adanya hubungan positif signifikan antara tingkat IQ dan prestasi belajar (p=0,000, r=0,382). Sedangkan berdasarkan uji korelasi Pearson asupan sianida tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan dengan tingkat IQ (p-0,1), namun menunjukkan hubungan negatif signifikan dengan prestasi belajar (p=0,046, r=-0,136), sehingga semakin tinggi asupan sianida contoh maka prestasi belajar contoh semakin rendah.
Collections
- UT - Nutrition Science [3184]
