Kasus Penyakit Akibat Pangan dan Sistem Pelaporannya Di Indonesia
Abstract
Keamanan pangan merupakan salah satu indikator ketahanan pangan. Kebijakan-kebijakan telah dibuat untuk melindungi masyarakat dari pangan yang tidak aman. Pangan bisa terkontaminasi oleh cemaran fisik, kimia, dan biologis yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia. Pelaporan kasus penyakit akibat pangan yang sistematis penting untuk menyajikan data kasus yang dapat digunakan sebagai landasan ilmiah (evidence base) dalam penentuan kebijakan keamanan pangan. Data kasus penyakit akibat pangan yang ada di Indonesia belum digunakan sebagai landasan ilmiah untuk membuat kebijakan program keamanan pangan. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengumpulkan, menganalisis, dan menginterpretasikan data kasus penyakit akibat pangan, dengan metode yang digunakan adalah pemberitahuan wajib (statutory notification) kasus penyakit akibat pangan dan laporan rumah sakit; (2) mengidentifikasi masalah sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan yang ada di Indonesia; serta (3) mengembangkan sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan yang lebih sistematis, dengan rujukan sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan di negara-negara maju dan sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan menurut WHO (World Health Organization) sebagai acuan utama. Metodologi yang digunakan dalam penelitian adalah dengan pengumpulan data sekunder kasus penyakit akibat pangan pada Ditjen PPPL dan Ditjen Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan RI. Metode wawancara pada informan ahli (expert informan) dilakukan untuk mengumpulkan informasi faktual tentang sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan di Indonesia. Studi pustaka (melalui browsing internet) tentang sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan menurut WHO dan negara lain dengan sistem surveilan dan notifikasi kasus penyakit akibat pangan yang lebih baik digunakan sebagai rujukan. Berdasarkan hasil investigasi, terdapat beberapa penyakit akibat pangan di Indonesia yang wajib terlaporkan pada Ditjen Pelayanan Medik dan/atau Ditjen PPPL yaitu kasus kolera, demam tifoid dan paratifoid, sigelosis, diare dan gastroenteritis, amubiasis, penyakit infeksi usus lain, serta hepatitis A. Interpretasi data kasus tersebut belum mencerminkan kecenderungan kasus penyakit akibat pangan di Indonesia. Ini disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah angka pelaporan kasus yang rendah (< 40%, dengan range 7.6% data kasus rumah sakit dan puskesmas pada Ditjen PPPL selama tahun 2002 sampai 37.6% data kasus rawat inap rumah sakit pada Ditjen Pelayanan Medik selama tahun 2004) serta sistem pelaporan yang kurang jelas. Propinsi dengan persentase kelengkapan yang relatif besar meliputi Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Riau dan Lampung (data pada Ditjen PPPL). Pengembangan sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan yang efektif dan efisien harus terus dikembangkan, sebagai salah satu pendukung surveilan keamanan pangan di Indonesia. Sistem pelaporan yang mencakup mekanisme dan formulir pelaporan kasus dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam membuat model pelaporan yang lebih baik di masa yang akan datang. Peran penting laboratorium kesehatan perlu dimaksimalkan dengan melibatkannya dalam mekanisme pelaporan kasus penyakit akibat pangan, serta perlu dilakukan surveilan dan investigasi lebih lanjut tentang kasus penyakit akibat pangan berbasis laboratorium kesehatan di Indonesia. Pengembangan sistem tersebut juga harus diikuti dengan perangkat pendukung lainnya seperti software pengolah data kasus penyakit akibat pangan sehingga output dari pengembangan sistem tersebut dapat lebih aplikatif untuk diimplementasikan di Indonesia. Sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan yang melibatkan Badan POM RI sebagai leading sector dalam program keamanan pangan perlu didukung oleh stakeholder yang dapat menguatkan peran serta Badan POM RI.