Show simple item record

dc.contributor.advisorSutardi, Toha
dc.contributor.advisorTjakradidjaja, Anita S.
dc.contributor.authorSetyoningsih, Yuni
dc.date.accessioned2024-05-31T00:41:52Z
dc.date.available2024-05-31T00:41:52Z
dc.date.issued2003
dc.identifier.urihttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/152455
dc.description.abstractKetersediaan pakan menjadi faktor utama dalam peningkatan produksi, khusüsnya peternakan sapi perah. Suplementasi mineral proteinat, khususnya Cu, diharapkan akan dapat berfungsi sebagai pemacu kinerja produksi susu melalui perubahan metabolisme dalam rumen dan tubuh ternak. Lebih kurang 60% sapi perah laktasi di Indonesia menderita mastitis subklinis sampai klinis. Hal ini menimbulkan kerugian ekonomis yang sangat besar karena susu ditolak konsumen (Sutardi, 2001). Defisiensi Cu didapatkan pada sapi-sapi di Indonesia sedangkan defisien Zn juga pernah dilaporkan di Indonesia sebagai "marginal deficient" (Darmono, 1989). Analisis mineral tanah, pakan, darah dan organ- organ tubuh ternak yang dipotong di 10 Kabupaten Jawa Tengah memperlihatkan defisiensi Zn yang menyeluruh dan defisien Cu yang cukup banyak (Sutrisno, 1983). Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mempelajari pengaruh penggunaan mineral Cu-anorganik dan Cu-organik untuk mengoptimalkan aktivitas metabolisrne mikroba rumen secara in vitro. Untuk mengetahui pada level berapakah mineral Cu dimanfaatkan mikroba rumen secara optimal berdasarkan peubah yang dianalisa Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini untuk mengukur produksi VFA total dan NH3 adalah Rancangan Acak Kelompok berpola faktorial 10x3 dengan blok adalah inokulum (cairan rumen). Faktor utama adalah ransum perlakuan dan faktor kedua yaitu lama fermentasi (1, 3, 5 jam). Untuk mengukur Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik (KBK dan KВО), digunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 9 perlakuan dan berulangan 3. Perlakuan terdiri dari KI (Ransum Kontrol), K2 (K1+ tanpa minera!), A (K2 + Cu Anorganik) dengan 4 level Cu anorganik (0,5; 1; 1,5; dan 2 dosis), O (K1+ Cu organik) dengan 4 level Cu organik (0,5; 1; 1,5; dan 2 dosis). Penggunaan level anorganik dan organik disesuaikan dengan kurangnya kebutuhan mineral dalam ransurn, yaitu 10 ppin untuk 1 dosis (NRC, 1988). Penambahan mineral Cu anorganik dan organik pada ransum perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (p>0,05) terhadap produksi VFA total. Sedangkan rataan produksi VFA total dan produksi NH3 meningkat pada ransum perlakuan Cu organik. Ini berarti bahwa Cu organik lebih efisien dibandingkan anorganik. Lamanya fermentasi mempengaruhi produksi VFA dan NH3 secara nyata (p<0,01). Penambahan kapang tanpa mineral (K2) cenderung menurunkan produksi VFA, NH3, KBK dan KBO, dan tidak berbeda nyata terhadap ransum basal (K1). Oleh karena itu, sangatlah penting untuk menggunakan suplemen Cu organik untuk memperbaiki penggunaan ransum.id
dc.language.isoidid
dc.publisherIPB Universityid
dc.subject.ddcAnimal Nutritionid
dc.subject.ddcDairy cowsid
dc.titleEfek suplementasi mineral Cu anorganik dan Cu organik terhadap fermentabilitas dan kecernaan in vitro ransum sapi perahid
dc.typeUndergraduate Thesisid
dc.subject.keywordfermentabilitasid
dc.subject.keywordkecernaanid
dc.subject.keywordCu anorganik dan Cu organikid


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record