Efek suplementasi mineral Cu anorganik dan Cu organik terhadap fermentabilitas dan kecernaan in vitro ransum sapi perah
View/ Open
Date
2003Author
Setyoningsih, Yuni
Sutardi, Toha
Tjakradidjaja, Anita S.
Metadata
Show full item recordAbstract
Ketersediaan pakan menjadi faktor utama dalam peningkatan produksi, khusüsnya peternakan sapi perah. Suplementasi mineral proteinat, khususnya Cu, diharapkan akan dapat berfungsi sebagai pemacu kinerja produksi susu melalui perubahan metabolisme dalam rumen dan tubuh ternak. Lebih kurang 60% sapi perah laktasi di Indonesia menderita mastitis subklinis sampai klinis. Hal ini menimbulkan kerugian ekonomis yang sangat besar karena susu ditolak konsumen (Sutardi, 2001). Defisiensi Cu didapatkan pada sapi-sapi di Indonesia sedangkan defisien Zn juga pernah dilaporkan di Indonesia sebagai "marginal deficient" (Darmono, 1989). Analisis mineral tanah, pakan, darah dan organ- organ tubuh ternak yang dipotong di 10 Kabupaten Jawa Tengah memperlihatkan defisiensi Zn yang menyeluruh dan defisien Cu yang cukup banyak (Sutrisno, 1983).
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mempelajari pengaruh penggunaan mineral Cu-anorganik dan Cu-organik untuk mengoptimalkan aktivitas metabolisrne mikroba rumen secara in vitro. Untuk mengetahui pada level berapakah mineral Cu dimanfaatkan mikroba rumen secara optimal berdasarkan peubah yang dianalisa Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini untuk mengukur produksi VFA total dan NH3 adalah Rancangan Acak Kelompok berpola faktorial 10x3 dengan blok adalah inokulum (cairan rumen). Faktor utama adalah ransum perlakuan dan faktor kedua yaitu lama fermentasi (1, 3, 5 jam). Untuk mengukur Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik (KBK dan KВО), digunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 9 perlakuan dan berulangan 3. Perlakuan terdiri dari KI (Ransum Kontrol), K2 (K1+ tanpa minera!), A (K2 + Cu Anorganik) dengan 4 level Cu anorganik (0,5; 1; 1,5; dan 2 dosis), O (K1+ Cu organik) dengan 4 level Cu organik (0,5; 1; 1,5; dan 2 dosis). Penggunaan level anorganik dan organik disesuaikan dengan kurangnya kebutuhan mineral dalam ransurn, yaitu 10 ppin
untuk 1 dosis (NRC, 1988). Penambahan mineral Cu anorganik dan organik pada ransum perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (p>0,05) terhadap produksi VFA total. Sedangkan rataan produksi VFA total dan produksi NH3 meningkat pada ransum perlakuan Cu organik. Ini berarti bahwa Cu organik lebih efisien dibandingkan anorganik. Lamanya fermentasi mempengaruhi produksi VFA dan NH3 secara nyata (p<0,01). Penambahan kapang tanpa mineral (K2) cenderung menurunkan produksi VFA, NH3, KBK dan KBO, dan tidak berbeda nyata terhadap ransum basal (K1). Oleh karena itu, sangatlah penting untuk menggunakan suplemen Cu organik untuk memperbaiki penggunaan ransum.