dc.description.abstract | Penyimpanan jagung tanpa pengeringan yang cukup menjadi suatu tantangan terhadap resiko tercemar aflatoksin yang dihasilkan oleh Aspergillus flavus, terutama di wilayah tropis seperti Indonesia. Kadar air awal pada saat penyimpanan memegang peran penting bagi cendawan karsinogenik untuk tumbuh dan memproduksi aflatoksin. Perubahan kadar air selama penyimpanan sangat dipengaruhi oleh suhu dan RH gudang penyimpanan. Jagung merupakan komoditas biji-bijian yang mampu menyerap kembali uap air jika disimpan pada kondisi lingkungan terbuka. Jagung yang telah tercemar aflatoksin jika dikonsumsi akan sangat berbahaya bagi kesehatan. Penyimpanan jagung melalui modifikasi atmosfer yang terbentuk pada kemasan hermetik telah mampu menghambat pertumbuhan cendawan dan produksi aflatoksin. Namun, kemasan hermetik merupakan produk impor dan harganya relatif mahal untuk diterapkan di tingkat petani dan pedagang pengumpul. Penyusunan dua lapis kemasan berbahan plastik HDPE dan polipropilen diharapkan mampu menekan produksi aflatoksin dan menghambat pertumbuhan cendawan selama penyimpanan.
Penelitian dilaksanakan pada Oktober-Agustus 2017 di laboratorium Siswadhi Soeparjo, laboratorium Teknik Pengolahan Pangan Hasil Pertanian (TPPHP) Departemen Teknik Mesin Biosistem, laboratorium Mikologi Departemen Proteksi Tanaman, dan laboratorium Mikologi Seameo Biotrop. Pada penelitian ini, kadar air awal jagung dibagi ke dalam 2 kelompok yaitu: kadar air 12-13% dan 17-18%. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap faktorial. Faktor pertama adalah jenis kemasan dengan 3 taraf, yaitu (J0) karung plastik, (J1) kemasan berlapis yang tersusun dari karung plastik+plastik hermetik GrainPro, dan (J2) kemasan berlapis yang tersusun dari karung plastik+plastik HDPE+plastik polipropilen. Faktor kedua adalah inokulasi sumber inokulum dengan 2 taraf, yaitu (M0) tanpa inokulasi sumber inokulum, dan (M1) dengan inokulasi sumber inokulum.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jagung pipil yang telah disimpan selama 3 bulan pada kemasan J1 dan J2 pada kadar air rendah (12-13%) telah mampu mempertahankan kadar air bahan tetap rendah, sedangkan pada kemasan J0 sebagai kontrol telah mengalami peningkatan kadar air menjadi 14%. Di kedua jenis kemasan tersebut, persen infeksi cendawan masih sekitar 2% setelah disimpan selama 3 bulan. Sementara itu, penyimpanan jagung pipil pada kemasan J1 dan J2 pada kadar air tinggi (17-18%) menunjukkan bahwa kadar air bahan tetap tinggi selama penyimpanan. Persen infeksi cendawan mencapai 3-17% pada kedua jenis kemasan tersebut. Penyimpanan jagung pipil dengan kemasan J2 pada ka. tinggi selama 3 bulan beresiko tercemar aflatoksin serta biji mengalami fermentasi. Petani dan pedagang pengumpul yang ingin menyimpan jagung dapat mencoba alternatif lain menggunakan kemasan J2 dengan mempertimbangkan harga, kemudahan dan ketersedian bahan dimana kadar air harus dibawah 13%. | id |