Diagnosis dan Pemicu Epifitotik Mati Meranggas Pala di Aceh Selatan.
View/ Open
Date
2018Author
Susanna
Sinaga, Meity Suradji
Wiyono, Suryo
Triwidodo, Hermanu
Metadata
Show full item recordAbstract
Sejak lima belas tahun terakhir, penyakit mati meranggas pada pohon pala telah meluas di Kabupaten Aceh Selatan. Penyakit ini berdampak pada pendapatan petani pala, sehingga dapat menimbulkan kerugian yang cukup tinggi secara ekonomi. Informasi penyebab penyakit, bioekologi patogen, dan faktor pemicu terjadinya epifitotik belum diketahui dan dilaporkan. Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan pengetahuan mengenai penyebab penyakit mati meranggas, bioekologi patogen, dan faktor pemicu epifitotik. Studi dilaksanakan dalam tiga tahap: I mendiagnosis penyebab penyakit; II mengkaji bioekologi patogen, dan III menganalisis faktor pemicu epifitotik. Diagnosis penyakit dilakukan melalui pengamatan gejala dan tanda penyakit, dilanjutkan dengan postulat Koch. Penelitian bioekologi patogen mencakup pertumbuhan patogen dengan berbagai kisaran pH media dan suhu, keberadaan mikroba di perakaran yang berpotensi sebagai agens pengendalian penyakit, dan hubungan kekeringan dengan penyakit. Faktor pemicu epifitotik dilakukan dikaji dengan analisis kekeringan, hubungan antara teknik budidaya dan lingkungan dengan insidensi penyakit mati meranggas pala di Aceh Selatan. Hasil postulat Koch menunjukkan penyebab mati meranggas pada pohon pala yang dominan adalah Lasiodiplodia theobromae (Patouillard) Griffon & Maubland (sin. Botryodiplodia theobromae Pat.). Identifikasi patogen dilakukan berdasarkan pengamatan morfologi (baik secara makroskopik maupun mikroskopis) dan molekuler. Gejala mulai terbentuk sebulan setelah inokulasi. Suhu dan pH media memengaruhi pertumbuhan L. theobromae. Suhu terbaik untuk pertumbuhannya adalah 28 oC. Derajat kemasaman (pH) media yang baik untuk pertumbuhan dan perkembangan patogen tersebut adalah kisaran 4 - 6. Kelimpahan mikroorganisme tanah berkaitan dengan insidensi penyakit. Tanah dengan insidensi penyakit yang rendah mempunyai total cendawan/bakteri yang lebih tinggi dari pada tanah dengan insidensi penyakit tinggi. Beberapa cendawan tanah berpotensi sebagai agens pengendali hayati seperti Trichoderma harzianum, T. asperellum, T. virens dan Talaromyces pinophilus. Kemampuan menekan cendawan antagonis terhadap pertumbuhan patogen adalah diatas 66%. Cekaman kekeringan sangat berperan dalam kemunculan gejala dieback pada bibit pala. Teknik budidaya pala yang dilakukan petani mempunyai kaitan dengan tingkat insidensi penyakit. Teknik budidaya yang dimaksudkan adalah pola tanam monokultur, belum dilakukan budidaya tanaman yang tepat, pengendalian gulma dan pemupukan. Lahan dengan insidensi penyakit tinggi mempunyai sifat umur tanaman tua (> 50 tahun), tidak adanya pemupukan, pola tanam monokultur, dan tidak adanya pengendalian gulma. Diantara sifat kimia yang diuiji, KTK (kapasitas tukar kation) dan P tersedia paling berperan dalam menentukan insidensi penyakit mati meranggas pada pala. Curah hujan yang terus menurun selama 15 tahun sejak 2003 merupakan pemicu utama serangan penyakit mati meranggas pala di Aceh Selatan.
3
Setelah diketahui penyebab penyakit mati meranggas, faktor lingkungan fisik yang berpengaruh terhadap patogen dan pemicu terjadinya epifitotik, diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi dasar rekomendasi suatu strategi pengendalian yang efektif dan efisien terhadap penyakit mati meranggas pala di Aceh Selatan.
Collections
- DT - Agriculture [750]