Show simple item record

dc.contributor.advisorAdiwibowo, Soeryo
dc.contributor.advisorKinseng, Rilus A
dc.contributor.authorBudiandrian, Bayu
dc.date.accessioned2018-04-18T06:28:10Z
dc.date.available2018-04-18T06:28:10Z
dc.date.issued2017
dc.identifier.urihttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/91412
dc.description.abstractTaman Hutan Raya (THR) Sultan Thaha Saifuddin (STS) merupakan salah satu dari 22 Taman Hutan Raya di Indonesia. Seluruh kawasan THR STS terletak di tiga Kecamatan Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi, yakni Kecamatan Bajubang, Muara Bulian dan Muara Tembesi. Sebelumnya, THR STS dikenal dengan nama Hutan Senami, setelah mengalami empat kali perubahan status dan fungsi kawasan hutan (tahun 1933, 1987, dan 1999) THR STS ditetapkan tahun 2001. Saat penelitian ini dilakukan penutupan hutan (forest cover) di THR STS hanya tersisa 15-30 persen. Namun akses yang masif di kawasan THR STS ini tidak serta merta membangkitkan sengketa atau konflik vertikal. Sementara di kawasan Hutan Harapan –dikelola oleh PT Restorasi Ekosistem Indonesia (REKI)– walau hanya 30 persen dari kawasan REKI yang diakses oleh masyarakat; namun konflik vertikal yang timbul antara masyarakat dengan pengelola kawasan sangat masif. Sehingga menarik untuk dikaji, bagaimana sesungguhnya dinamika penguasaan lahan di dalam kawasan hutan akibat berubahnya rezim tata kelola di kawasan THR STS? Sejauh mana perubahan penguasaan lahan tersebut berdampak terhadap akses dan hak masyarakat lokal atas sumber daya hutan di kawasan THR STS? Siapa kelompok-kelompok masyarakat yang tereksklusi akibat perubahan penguasaan lahan dan rezim tata kelola hutan? Bagaimana mekanisme dan praktik eksklusi tersebut terjadi? Sejauh mana eksklusi yang terjadi memicu timbulnya konflik? Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis: (i) dinamika penguasaan lahan di dalam kawasan hutan akibat perubahan rejim tata kelola THR STS, (ii) menganalisis dampak perubahan penguasaan lahan tersebut terhadap akses dan hak masyarakat lokal atas sumber daya hutan di THR STS, dan (iii) mengidentifikasi kelompok-kelompok masyarakat yang terekslusi akibat pembatasan akses dan ketiadaan hak untuk kemudian mengidentifikasi bentuk konflik yang terjadi akibat praktik eksklusi tersebut. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif agar dapat memberikan gambaran secara menyeluruh dan mendalam terhadap dinamika penguasaan lahan secara aktual di kawasan THR STS. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, pertama, eksploitasi kawasan THR STS tidak hanya terjadi secara ilegal, tetapi juga legal. Perubahan kebijakan dan rezim tata kelola kawasan hutan pada tahun 1933, 1987, dan 2001 menyebabkan berubahnya hak legal, hak aktual dan praktik pemanfaatan di kalangan para aktor pengguna. Kedua, terdapat tiga pola penguasaan lahan di kawasan THR STS yaitu, penguasaan berdasarkan adat, berdasarkan pembelian, dan berdasarkan program pemerintah. Melalui identitas sosial sebagai masyarakat “lokal” atau adat, lahan di dalam kawasan THR STS dapat diakses oleh warga desa penyangga. Sementara bagi aktor supra desa, akses terhadap sumber daya minyak dan gas bumi yang terdapat di dalam kawasan dilakukan melalui kerja sama antara Dinas Kehutanan dengan PT. Pertamina/ PT. PBMSJ. Ketiga, dalam hal akses terhadap tanah, terdapat perbedaan mekanisme akses antara yang berlangsung di kawasan THR STS dan yang berlangsung di Desa Bungku. Di kawasan THR STS timbul relasi yang bersifat negosiasitransaksi antara pihak yang memiliki otoritas dengan pihak yang memiliki kekuasaan dalam memberikan hak penguasaan dan penggunaan tanah. Sementara di Desa Bungku timbul kontestasi antara pihak yang memiliki otoritas dengan pihak yang memiliki kekuasaan dalam memberikan hak penguasaan dan penggunaan tanah. Keempat, akibat perbedaan mekanisme akses tersebut, konflik di kawasan THR STS bersifat insidental, spontan, diam-diam, tidak terstruktur, dan tidak terorganisir. Sementara konflik di Desa Bungku dengan aktor supra desa (PT. AP) bersifat lebih terbuka dan konfrontatif. Sehingga bentuk perlawanannya menjadi pengorganisasian massa dan aksi massa terbuka. Aksi massa terbuka timbul terutama karena adanya dukungan dari berbagai LSM yang terlibat dalam advokasi konflik. Kelima, pada kawasan hutan THR STS, masyarakat SAD Bathin Sembilan adalah masyarakat yang tereksklusi akibat berbagai kebijakan penetapan status kawasan hutan (Hutan lindung, Hutan Produksi, hingga Hutan Konservasi). Hal tersebut terjadi karena sejak ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung pada tahun 1933 oleh pemerintah kolonial Belanda, kawasan hutan yang semula merupakan wilayah jelajah dan ruang hidup bagi masyarakat SAD menjadi tertutup dengan diterapkannya zonasi dan pemasangan patok BW (Bosch Wesen) oleh Belanda. Hal yang serupa juga terjadi di Desa Bungku, dimana masyarakat SAD 113 harus tereksklusi dari tanah adatnya seluas 3.550 ha yang di klaim masuk kedalam areal kawasan HGU PT. AP, hal tersebut jugalah yang memicu konnflik agraria yang berkepanjangan di Desa Bungku. Sehingga berdasarkan dua kasus tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa telah terjadi eksklusi terjadi melalui mekanisme enclosure yang ditandai dengan berubahnya pola kepemilikan lahan komunal menjadi kepemilikan negara dan swastaid
dc.language.isoidid
dc.publisherBogor Agricultural University (IPB)id
dc.subject.ddcSociologyid
dc.subject.ddcSocial conflictid
dc.subject.ddc2015id
dc.subject.ddcJambi-SUMSELid
dc.titleEkologi Politik Penguasaan Lahan dalam Kawasan Hutan Konservasi: Studi Kasus di Taman Hutan Raya Sultan Thaha Saifuddinid
dc.typeThesisid
dc.subject.keywordEkologi politikid
dc.subject.keywordPenguasaan lahanid
dc.subject.keywordAksesid
dc.subject.keywordTaman Hutan Rayaid
dc.subject.keywordJambiid


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record