Ekologi Politik Penguasaan Lahan dalam Kawasan Hutan Konservasi: Studi Kasus di Taman Hutan Raya Sultan Thaha Saifuddin
View/ Open
Date
2017Author
Budiandrian, Bayu
Adiwibowo, Soeryo
Kinseng, Rilus A
Metadata
Show full item recordAbstract
Taman Hutan Raya (THR) Sultan Thaha Saifuddin (STS) merupakan salah
satu dari 22 Taman Hutan Raya di Indonesia. Seluruh kawasan THR STS terletak
di tiga Kecamatan Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi, yakni Kecamatan
Bajubang, Muara Bulian dan Muara Tembesi. Sebelumnya, THR STS dikenal
dengan nama Hutan Senami, setelah mengalami empat kali perubahan status dan
fungsi kawasan hutan (tahun 1933, 1987, dan 1999) THR STS ditetapkan tahun
2001. Saat penelitian ini dilakukan penutupan hutan (forest cover) di THR STS
hanya tersisa 15-30 persen. Namun akses yang masif di kawasan THR STS ini
tidak serta merta membangkitkan sengketa atau konflik vertikal. Sementara di
kawasan Hutan Harapan –dikelola oleh PT Restorasi Ekosistem Indonesia
(REKI)– walau hanya 30 persen dari kawasan REKI yang diakses oleh
masyarakat; namun konflik vertikal yang timbul antara masyarakat dengan
pengelola kawasan sangat masif.
Sehingga menarik untuk dikaji, bagaimana sesungguhnya dinamika
penguasaan lahan di dalam kawasan hutan akibat berubahnya rezim tata kelola di
kawasan THR STS? Sejauh mana perubahan penguasaan lahan tersebut
berdampak terhadap akses dan hak masyarakat lokal atas sumber daya hutan di
kawasan THR STS? Siapa kelompok-kelompok masyarakat yang tereksklusi
akibat perubahan penguasaan lahan dan rezim tata kelola hutan? Bagaimana
mekanisme dan praktik eksklusi tersebut terjadi? Sejauh mana eksklusi yang
terjadi memicu timbulnya konflik?
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis: (i) dinamika penguasaan lahan
di dalam kawasan hutan akibat perubahan rejim tata kelola THR STS, (ii)
menganalisis dampak perubahan penguasaan lahan tersebut terhadap akses dan
hak masyarakat lokal atas sumber daya hutan di THR STS, dan (iii)
mengidentifikasi kelompok-kelompok masyarakat yang terekslusi akibat
pembatasan akses dan ketiadaan hak untuk kemudian mengidentifikasi bentuk
konflik yang terjadi akibat praktik eksklusi tersebut. Penelitian ini menggunakan
metode kualitatif agar dapat memberikan gambaran secara menyeluruh dan
mendalam terhadap dinamika penguasaan lahan secara aktual di kawasan THR
STS.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, pertama, eksploitasi kawasan
THR STS tidak hanya terjadi secara ilegal, tetapi juga legal. Perubahan kebijakan
dan rezim tata kelola kawasan hutan pada tahun 1933, 1987, dan 2001
menyebabkan berubahnya hak legal, hak aktual dan praktik pemanfaatan di
kalangan para aktor pengguna.
Kedua, terdapat tiga pola penguasaan lahan di kawasan THR STS yaitu,
penguasaan berdasarkan adat, berdasarkan pembelian, dan berdasarkan program
pemerintah. Melalui identitas sosial sebagai masyarakat “lokal” atau adat, lahan di
dalam kawasan THR STS dapat diakses oleh warga desa penyangga. Sementara
bagi aktor supra desa, akses terhadap sumber daya minyak dan gas bumi yang
terdapat di dalam kawasan dilakukan melalui kerja sama antara Dinas Kehutanan
dengan PT. Pertamina/ PT. PBMSJ.
Ketiga, dalam hal akses terhadap tanah, terdapat perbedaan mekanisme
akses antara yang berlangsung di kawasan THR STS dan yang berlangsung di
Desa Bungku. Di kawasan THR STS timbul relasi yang bersifat negosiasitransaksi
antara pihak yang memiliki otoritas dengan pihak yang memiliki
kekuasaan dalam memberikan hak penguasaan dan penggunaan tanah. Sementara
di Desa Bungku timbul kontestasi antara pihak yang memiliki otoritas dengan
pihak yang memiliki kekuasaan dalam memberikan hak penguasaan dan
penggunaan tanah.
Keempat, akibat perbedaan mekanisme akses tersebut, konflik di kawasan
THR STS bersifat insidental, spontan, diam-diam, tidak terstruktur, dan tidak
terorganisir. Sementara konflik di Desa Bungku dengan aktor supra desa (PT. AP)
bersifat lebih terbuka dan konfrontatif. Sehingga bentuk perlawanannya menjadi
pengorganisasian massa dan aksi massa terbuka. Aksi massa terbuka timbul
terutama karena adanya dukungan dari berbagai LSM yang terlibat dalam
advokasi konflik.
Kelima, pada kawasan hutan THR STS, masyarakat SAD Bathin Sembilan
adalah masyarakat yang tereksklusi akibat berbagai kebijakan penetapan status
kawasan hutan (Hutan lindung, Hutan Produksi, hingga Hutan Konservasi). Hal
tersebut terjadi karena sejak ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung pada tahun
1933 oleh pemerintah kolonial Belanda, kawasan hutan yang semula merupakan
wilayah jelajah dan ruang hidup bagi masyarakat SAD menjadi tertutup dengan
diterapkannya zonasi dan pemasangan patok BW (Bosch Wesen) oleh Belanda.
Hal yang serupa juga terjadi di Desa Bungku, dimana masyarakat SAD 113 harus
tereksklusi dari tanah adatnya seluas 3.550 ha yang di klaim masuk kedalam areal
kawasan HGU PT. AP, hal tersebut jugalah yang memicu konnflik agraria yang
berkepanjangan di Desa Bungku. Sehingga berdasarkan dua kasus tersebut, maka
dapat disimpulkan bahwa telah terjadi eksklusi terjadi melalui mekanisme
enclosure yang ditandai dengan berubahnya pola kepemilikan lahan komunal
menjadi kepemilikan negara dan swasta
Collections
- MT - Human Ecology [2242]