Show simple item record

dc.contributor.authorS. M. P. Tjondronegoro
dc.date.accessioned2011-12-27T02:45:03Z
dc.date.available2011-12-27T02:45:03Z
dc.date.issued2011
dc.identifier.urihttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/52708
dc.description.abstractDari sudut pandang sejarah paling tidak penduduk Jawa dan Madura yang jumlahnya sejak dulu (1816) sudah diketahui lebih besar dari total penduduk di pulau-pulau lain di Nusantara, sudah terjerumus dalam "jebakan pangan" tadi. Malah istilah "jebakan" sudah kurang tepat, karena penduduk Jawa dan Madura sudah termasuk dalam "perangkap" (artinya sudah terjebak), Seperti tikus sudah seratus tahun kita di Jawa dan Madura berusaha keluar dari perangkap tadi, dan sampai abad ke-21 belum berhasil meloloskan diri. Mungkin setahun dua tahun kita sebagai negara Indonesia (1984/85) dikatakan swa-sembada pangan, atau lebih tepat swasembada beras. Paling tidak ini menghasilkan penghargaan dari FAO untuk mantan Presiden Soeharto. Tetapi status swasembada tersebut tidak bertahan lama. Tetapi bila bicara kebijaksanaan swasembada pangan ternyata masih jauh, karena sekarang pun kedelai (kita pemakan tempe dan tahu), jagung, apalagi gandum, gula, sudah mengimport. Bahkan kita kembali menjadt pengimport beras yang besar, kita hanya kecukupan singkong! Sekaiigus terlihat bahwa untuk sementara kita utamakan saja usaha swasembada beras, jagung dan singkong bila bicara pangan utama (staple food).en
dc.publisherIPB (Bogor Agricultural University)
dc.titleKebijakan pangan untuk menangkal jebakan pangan (food trap)en


Files in this item

Thumbnail
Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record