| dc.description.abstract | Transformasi digital di Indonesia telah mendorong transisi signifikan menuju transaksi non-tunai, di mana Bank Indonesia dan Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia meluncurkan Quick Response Indonesian Standard (QRIS) pada 17 Agustus 2019, yang wajib diterapkan mulai 1 Januari 2020. QRIS menyederhanakan sistem pembayaran untuk UMKM dengan menggunakan satu kode QR untuk berbagai platform, meningkatkan efisiensi, dan memungkinkan pencatatan transaksi secara digital dan seketika, sehingga mendukung daya saing bisnis. Meskipun adopsi QRIS meningkat di provinsi-provinsi besar, penggunaannya di kota Serang Banten masih terbatas karena banyak UMKM mengandalkan cara tradisional dan tunai, dipengaruhi oleh beberapa hambatan, termasuk kurangnya literasi digital, kekhawatiran biaya transaksi, kebutuhan akan paket data internet, dan pandangan bahwa transaksi tunai dianggap lebih aman
Kota Serang masih menghadapi berbagai tantangan dalam adopsi QRIS, Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji faktor-faktor yang memengaruhi niat UMKM untuk mengadopsi QRIS di kota Serang Banten dengan mengintegrasikan Technology Acceptance Model (TAM) dan Theory of Planned Behavior (TPB), dengan penambahan variabel lainnya yaitu Perceived Risk (PR) sebagai determinan yang juga penting
Penelitian ini menganalisis karakteristik demografi dan bisnis dengan melibatkan dari 105 pemilik UMKM yang belum mengadopsi QRIS sebagai metode pembayaran. Hasil penelitian menunjukan bahwa mayoritas responden adalah perempuan (63,8%) dan berada dalam kelompok usia produktif 30–39 tahun (42,1%). Sektor usaha yang paling dominan adalah makanan dan minuman (55,1%). Secara klasifikasi, sampel penelitian sangat didominasi oleh usaha mikro (62,9%), dengan lebih dari separuh (50,7%) telah beroperasi selama lebih dari tiga tahun, menunjukkan stabilitas. Mayoritas responden (68,2%) melaporkan omzet tahunan di bawah Rp300 juta, yang menegaskan bahwa fokus penelitian adalah pada usaha mikro kecil, berskala rumahan, atau informal di Kota Serang | |