dc.description.abstract | Sistem pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) membutuhkan energi untuk pengoperasian sistem yang berupa pembakaran bahan bakar, tidak semua energi hasil pembakaran diubah menjadi energi listrik dimana terdapat sekitar 11-12% limbah panas (flue gas). Flue gas merupakan bentuk energi yang tidak termanfaatkan dengan optimal oleh perangkat utama di dalam sebuah sistem mesin kalor seperti boiler. Boiler adalah mesin kalor yang mengalirkan panas ke dalam siklusnya, dan tidak semua panas yang masuk dikonversi sepenuhnya menjadi kerja. Sebagai hasilnya, panas yang keluar dari boiler yang disebut sebagai flue gas. Flue gas umumnya berasal dari gas sisa dari proses pembakaran yang masih memiliki suhu yang tinggi. Sehingga, flue gas ini dapat dimanfaatkan kembali untuk pengeringan dengan mengaplikasikan penukar panas sehingga efisiensi energi dapat ditingkatkan secara signifikan karena energi yang seharusnya terbuang kini dimanfaatkan kembali.
Pengaplikasian heat exchanger pada pengering berfungsi agar bahan yang dikeringkan tidak terkontaminasi dari hasil pembakaran bahan bakar biomassa pada pembangkit listrik ORC. Salah satu pengeringan yang sering digunakan yaitu batch dryer. Potensi panas buang yang tidak termanfaatkan dari pembangkit listrik ORC digunakan untuk mengeringkan biomassa (sawdust kaliandra, gamal, dan sengon) yang digunakan sebagai bahan bakar ORC untuk menghasilkan listrik. Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu memanfaatkan flue gas dari siklus rankine organik untuk pengeringan sawdust sebagai bahan bakar biomassa untuk ORC, menganalisis efektivitas heat exchanger dalam mentransfer panas flue gas dari sistem ORC ke udara yang akan dimanfaatkan untuk pengeringan biomassa, mendapatkan model pendugaan waktu pengeringan dengan basis termal, serta menganalisis potensi flue gas yang dapat dimanfaatkan untuk pengeringan. Metode penelitian yang digunakan yaitu analisis statik deskriptif dengan mengamati fenomena yang terjadi pada penukar panas dan proses pengeringan sawdust secara eksperimen dan melakukan simulasi numerik menggunakan parameter variasi kecepatan udara dan efisiensi. Validasi antara data eksperimen dan simulasi menggunakan MAPE (Mean Percentage Error).
Hasil penelitian menunjukkan peningkatan kecepatan udara berpengaruh terhadap heat exchanger dan parameter pengeringan. Semakin tinggi kecepatan udara, suhu outlet heat exchanger cenderung lebih rendah. Pada kecepatan udara
1.6 m/s, laju aliran massa udara adalah 0.038 kg/s, sedangkan pada kecepatan 4.6 m/s, laju aliran massa udara meningkat menjadi 0.109 kg/s. Kenaikan laju aliran massa udara ini berkontribusi pada penurunan suhu outlet heat exchanger. Efektivitas heat exchanger juga dipengaruhi oleh kecepatan udara. Semakin tinggi kecepatan udara, efektivitas heat exchanger cenderung menurun. Efektivitas heat exchanger juga dipengaruhi oleh fouling, di mana penumpukan partikel seperti tar dan abu mengurangi laju perpindahan panas. Sebelum terjadi fouling, efektivitas heat exchanger dengan kecepatan udara 1.6 m/s, 2.4 m/s, dan 4.6 m/s masing- masing adalah 0.94, 0.75, dan 0.68. Setelah terjadinya fouling, efektivitas heat exchanger menurun secara signifikan, menunjukkan dampak negatif yang merata pada performa heat exchanger. Penurunan ini disebabkan oleh peningkatan resistansi termal akibat lapisan fouling yang mengurangi luas permukaan transfer panas dan overall heat transfer coefficient. Nilai MAPE 12.2% dari pendugaan suhu udara keluar heat exchanger yang merupakan hasil validasi antara simulasi dan eksperimen khususnya pada suhu outlet heat exchanger menunjukkan bahwa model prediksi yang baik.
Peningkatan kecepatan udara juga berkaitan dengan parameter pengeringan yaitu terjadi peningkatan laju pengeringan, penurunan kadar air, penurunan massa bahan, efisiensi pengeringan, dan konsumsi energi spesifik pengeringan dari berbagai variasi kadar air sampel. Laju aliran massa udara yang lebih tinggi dapat mentransfer lebih banyak panas ke permukaan sawdust, mempercepat penguapan kadar air. Pendugaan waktu pengeringan dengan persamaan regresi, empiris dan analisis termal menghasilkan pendugaan waktu yang hampir mirip. Pendugaan waktu dengan termal memberikan kelebihan dibandingkan persamaan yang lain dikarenakan dapat dilakukan tanpa melakukan eksperimen terlebih dahulu. | |
dc.description.abstract | The steam power plant (PLTU) operates by converting energy from fuel combustion. However, not all of the energy generated is converted into electrical power; approximately 11-12% is lost as waste heat in the form of flue gas. This flue gas constitutes a significant portion of unused energy that is not fully captured by the primary components of the thermal system, such as the boiler. While the boiler transfers heat into the system, only a portion of this heat is converted into useful work. As a result, the excess heat, referred to as flue gas, exits the boiler at high temperatures. This waste heat can be effectively recovered for drying applications using a heat exchanger, thereby improving energy efficiency by utilizing energy that would otherwise be wasted.
The implementation of heat exchangers in drying systems also prevents contamination of the material being dried from combustion by-products, particularly in the case of biomass fuel used in an Organic Rankine Cycle (ORC) power plant. A common method employed for drying is the batch dryer. In this research, waste heat from the ORC plant was harnessed to dry biomass, specifically sawdust from Kaliandra, Gamal, and Sengon, which serve as fuel for the ORC in electricity generation. The objectives of this study were to utilize flue gas from the ORC to dry sawdust as biomass fuel, evaluate the performance of the heat exchanger in transferring heat from the flue gas to the air used for drying, develop a thermal model to estimate drying time, and assess the potential of flue gas for drying applications.
The study employed a descriptive static analysis to observe the performance of the heat exchanger and the drying process of sawdust. Numerical simulations were conducted with varying parameters, such as air velocity and heat transfer efficiency. Validation of the experimental data against the simulations was performed using the Mean Absolute Percentage Error (MAPE) method. The results show that increasing air velocity affects both the heat exchanger performance and drying parameters. As air velocity increases, the outlet temperature of the heat exchanger tends to decrease. At an air velocity of 1.6 m/s, the mass flow rate of air is 0.038 kg/s, while at 4.6 m/s, the mass flow rate increases to 0.109 kg/s. This increase in mass flow rate contributes to a lower outlet temperature from the heat exchanger. Air velocity also impacts the heat exchanger's effectiveness, which tends to decrease as air velocity rises. Additionally, the effectiveness is influenced by fouling, where the buildup of particles such as tar and ash reduces the rate of heat transfer. Before fouling, the heat exchanger effectiveness at air velocities of 1.6 m/s, 2.4 m/s, and 4.6 m/s were 0.94, 0.75, and 0.68, respectively. After fouling, the effectiveness decreased significantly, highlighting its negative impact on heat exchanger performance. This decline is caused by the increased thermal resistance due to the fouling layer, which reduces the heat transfer surface area and the overall heat transfer coefficient. The MAPE value of 12.2%, derived from the predicted outlet air temperature of the heat exchanger, demonstrates a good match between simulation and experimental results, particularly regarding outlet temperature predictions.
Higher air velocities are also associated with improvements in drying parameters, including an increased drying rate, reduced moisture content, decreased material mass, enhanced drying efficiency, and variations in specific energy consumption across different sample moisture levels. A higher mass flow rate of air allows for more heat transfer to the sawdust surface, accelerating moisture evaporation. Drying time estimates using regression equations, empirical models, and thermal analysis yielded comparable predictions, with thermal-based estimation offering the advantage of being applicable without prior experimental data. | |