Show simple item record

dc.contributor.advisorGumbira, Said, E
dc.contributor.advisorSaptono, Imam Teguh
dc.contributor.authorIntan, Abdul Harizt
dc.date.accessioned2024-05-23T07:01:21Z
dc.date.available2024-05-23T07:01:21Z
dc.date.issued2000
dc.identifier.urihttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/151216
dc.description.abstractIndonesia memiliki luas areal penanaman kelapa terluas di dunia, yaitu 31,4%. Di susul oleh Filipina (27,7%), India (15,8%), dan Srilangka (3,7%). Namun demikian, produsen kelapa terbesar dunia adalah India (24,5%). Disusul oleh Indonesia (24,4%), Filipina (24,3%), dan Srilangka (5,0%). Indonesia yang merupakan negara penghasil kelapa nomor dua tersebut sepatutunya miliki kontribusi yang sangat besar bagi perdagangan serat sabut kelapa dunia. Namun, Indonesia hanya mampu meraih pangsa pasar 0,6 persen. Di lain pihak, Srilangka mampu meraih pangsa pasar 50,3% dan India meraih pangsa pasar 44,7%. Potensi bahan baku industri pengolahan sabut kelapa yang dimiliki Indonesia belum dimanfaatkan secara optimal dan belum mampu menandingi pangsa pasar dari dua negara penghasil serat sabut kelapa dunia tersebut. Sejalan dengan upaya pemberdayaan kekuatan ekonomi rakyat yang sedang digalakkan pemerintah sejak reformasi bergulir, maka industri pengolahan sabut kelapa memiliki posisi strategis untuk dikembangkan. Posisi strategis tersebut didukung oleh fakta bahwa perkebunan kelapa di Indonesia tersebar di berbagai provinsi dan sebagian besar merupakan perkebunan rakyat. Dengan demikian, strategi pengembangan industri pengolahan sabut kelapa nasional perlu dikaji secara komprehensif. Tujuan dari kajian ini adalah (1) mengkaji potensi pengembangan industri sabut kelapa nasional dengan memetakan daerah-daerah sumber bahan baku yang potensial; (2) mengkaji skala ekonomis; (3) menganalisa kelayakan finansial dan ekonomi; (4) menghitung dan menganalisa Biaya Sumberdaya Dornestik dan Tingkat Proteksi Efektif industri; (5) mengkaji faktor-faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi pengembangan industri sabut kelapa, serta implikasinya terhadap kekuatan, kelemahan, peluang dan ancamannya; serta (6) merumuskan strategi pengembangan industri pengolahan sabut kelapa, serta pola pengembangan yang tepat dalam upaya membangun industri pengolahan sabut kelapa yang tangguh, berbasis pada industri kecil, dan berorientasi ekspor. Dengan demikian, rumusan masalah dalam kajian ini adalah (1) Bagaimana potensi pengembangan dan peta sumber bahan baku industri pengolahan sabut kelapa di Indonesia? (2) Bagaimana skala ekonomis pengembangan industri pengolahan sabut kelapa di Indonesia? (3) Bagaimana kelayakan finansial unit pengolahan sabut kelap serta unit usaha finishing industri pengolahan sabut kelapa di Indonesia? (4) Bagaimana kelayakan finansial dan ekonomi pengembangan industri pengolahan sabut kelapa nasional? (5) Bagaimana kondisi korbanan sumberdaya domestik untuk memperoleh satu unit devisa dalam upaya menggalakkan ekspor hasil olahan sabut kelapa, serta kondisi tingkat preteksi yang efektif dari pengembangan Industri tersebut? (6) Bagaiman pengaruh faktor eksternal dan internal, serta bagaimana Implikasinya terhadap kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman industri pengolahan sabut kelapa? (7) Bagaimana rumusan strategi pengembangan industri pengolahan sabut kelapa di Indonesia, serta pola pengembangannya? Kajian tersebut dilakukan dengan pendekatan survei selama enam bulan dengan lokasi survei di Ciamis, Bandung, dan Pandeglang. Data yang berhasil dikumpulkan meliputi data sekunder dan data primer. Data sekunder dikumpulkan melalui kajian pustaka, dari Ditjen Perkebunan, APCC, PT, Sukaraja Putera Sejati, dan instansi terkait lainnya. Data primer dikumpulkan melalui wawancara dan diskusi dengan pakar, kuisioner, serta pengamatan langsung. Pakar yang menjadi narasumber ditentukan langsung (purposive sampling) berdasarkan kepakaran, pengalaman praktis, dan pengalaman kajian. Analisa yang dilakukan adalah analisis skala ekonomis, pemataan sumber bahan baku, analisis kelayakan finansial di tingkat unit Usaha Pengolahan Sabut Kelapa (UPSK), unit Usaha Finishing (UF), dan Industri, dengan kriteria kelayakan memiliki Net Present Value (NPV) yang positif, Internal Rate of Return (IRR) di atas suku bunga komersial (22%), Benefit-Cost Rasio (B/C) minimal sama dongan satu, dan lamanya Masa Pengembalian Investasi (MPI), analisis kelayakan ekonomi di tingkat Industri dengan kriteria NPV ekonomi, IRR ekonomi, dan B/C ekonomi, analisis nilai tambah, analisis biaya sumberdaya domestik dan tingkat proteksi efektif, Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) dan External Factor Evaluation (EFE), Matriks SWOT, Diagram SWOT, dan Proses Hirarki Analitik (PHA). Hasil analisis skala ekonomis menunjukkan bahwa skala usaha yang paling optimal di tingkat UPSK adalah kapasitas olah bahan baku 4000 butir per hari, karena hasil estimasi biaya imta-rata jangka panjang yang dipetakan dalam kurva biaya rata-rata jangka panjang menunjukkan bahwa titik otimal berada pada skala usaha tersebut. Di samping itu, hasil analisis nilai tambah pada skala tersebut menunjukkan bahwa setiap butir sabut kelapa yang diolah mampu menghasilkan nilai tambah sebesar Rp. 135,65 dengan rasio nilai tambah pada proses pengolahan tersebut mencapai 75,35%. Bagian tenaga kerja mencapai 17,70%, dan bagian manajemen mencapai 62,01%. Pengembangan industri pengolahan sabut kelapa nasional harus dilakukan dengan pendekatan Satuan Wilayah Produksi (SWP) di mana didirikan unit Usaha Finishing yang mampu menyerap 20 UPSK yang didirikan di wilayah kerjanya. Untuk mengolah lima persen bahan baku yang tersedia dibutuhkan 27 SWP dan 540 UPSK berkapasitas olah bahan baku sabut kelapa 4000 butir per hari. Hasil pemetaan SWP di seluruh Indonesia diperoleh bahwa terdapat 11 Dati II di Indonesia yang mampu secara mandiri mendukung satu SWP, yaitu Kabupaten Indragiri Hilir (Riau), Minahasa, Bolaang Mangondow, dan Gorontalo (Sulut), Maluku Utara (Maluku), Tanjung Jabung (Jambi), Lampung Selatan (Lampung), Donggala dan Banggai (Sulteng). Ciamis (Jabar), serta Nias (Sumut). Terdapat 16 SWP yang mampu didukung oleh beberapa Dati II yang berdekatan, yaitu Maluku Tengah (Maluku), Bengkalis (Riau), Lampung Tengah (Lampung), Pontianak (Kalbar), Kotawaringin Timur (Kalteng), Padang Pariaman (Sumbar), Lombok Barat (NTB), Asahan (Sumut), Jembrana (Bali), Cilacap dan Purworejo (Jateng), Aceh Utara (DI Aceh), Polewali Mamasa (Sulsel), Banyuwangi dan Blitar (Jatim), serta Serang (Jabar). Hasil analisis kelayakan finansial pada tingkat UPSK pada delapan skala usaha, yaitu skala usaha berkapasitas olah bahan baku 1000, 2000, 3000, 4000, 8000, 12000, 16000, dan 20000 bulir per hari, menunjukkan bahwa semua skala usaha tersebut layak untuk dijalankan. Namun dari kedelapan skala usaha tersebut, kapasitas olah bahan baku 4000 butir per hari yang paling Tayak diusahakan dengan nilai NPV pada tingkat faktor dikonto 16% sebasar Rp. 194.713.018, IRR sebesar 90,08%, B/C sebesar 3,23, dan MPI selama 1,21 tahun atau 15 bulan. Di lain pihak, hasil analisis kelayakan finansial pada tingkat unit usaha finishing dengan skala usaha yang mampu menyerap produksi dari 20 UPSK menunjukkan bahwa unit usaha tersebut layak untuk dijalankan karena memiliki nilai NPV positif, sebesar Rp. 4,267 milyar, pada tingkat faktor diskonto 16%, IRR di atas suku bunga komersial sebesar 54,07%, B/C di atas satu (2,52), dan MPI selama 1,9 tahun atau 23 bulan. Hasil analisis finansial di tingkat industri menunjukkan bahwa secara finansial industri pengolahan sabut kelapa nasional layak untuk dikembangkan karena memiliki NPV positif (Rp. 192,297 milyar) pada tingkat faktor diskonto 16%, IRR di atas suku bunga komersial (72,61%0, B/C di atas satu (6,85), dan MPI selama 3,8 tahun atau 46 bulan. Di lain pihak, hasil analisis kelayakan ekonomi juga menujukkan bahwa industri tersebut layak untuk dikembangkan karena secara ekonomi memiliki NPV ekonomi pada diskon faktor sosial (8.91%) adalah Rp. 435,5 milyar (positif), IRR ekonomi adalah 130,44% (di atas tingkat faktor diskonto sosial), dan B/C ekonomi sebesar 27,14. Hasil analisis simulasi biaya sumberdaya domestik industri dan tingkat proteksi efektif dengan menggunakan Shadow Exchange Rate (SER) sebesar Rp. 7.977/USD dan Official Exchange Rate (OER) sebesar Rp. 7.809/USD menunjukkan bahwa walaupun industri pengolahan sabut kelapa nasional termasuk infant Industry, tetapi secara ekonomi harus tetap dikenakan pajak langsung (misalnya pajak ekspor) minimal 3%. Hasil simulasi terhadap empat jenis perlakuan, yaitu (1) harga jual FOB Tanjung Periuk oleh PT. Sukaraja Putera Sejati saat ini (USD 140/ton untuk cocofibre dan USD 150/ton untuk cocopeat) tanpa pajak langsung memiliki unit BSD sebesar Rp 8.308/USD, RBSD(SER) sebesar 1,04, RBSD(DEA) sebesar 1,06, ERP(SER) sebesar 0,04 dan ERP(OER) sebesar 0,06; (2) harga jual FOB Tanjung Periuk oleh PT. Sukaraja Putera Sejati saat dengan pajak langsung sebesar 10% memiliki unit BSD sebesar Rp. 7.411/USD, RBSD (SER) sebesar 0,93, RBSD(OER) sebesar 0,95., ERP(SER) sebesar -0,07 dan ERP(en) sebesar -0,05; (3) harga jual FOB rata-rata eksportir utama dunia (USD 200/ton untuk cocofibre dan cocopeaf) tanpa pajak langsung memiliki unit BSD sebesar Rp. 8.208/USD, RBSD(SER) sebesar 1,03, RBSD(GER) sebesar 1,05, ERP(SER) sebesar 0,03 dan ERP(OER) sebesar 0,05; serta (4) harga jual FOB rata-rata eksportir utama dunia dengan pajak langsung sebesar 10% memiliki unit BSD sebesar Rp. 7.342/USD, RBSD (SER) sebesar 0,92, RBSD(OER) sebesar 0,94, ERP(SER) sebesar -0,08 dan ERP(OEK) sebesar -0,06. Visi pengembangan industri pengolahan sabut kelapa nasional adalah "Industri Pengolahan Sabut Kelapa Indonesia Menjadi Industri Terkemuka Dunia dan Pemimpin Pasar Ekspor Hasil Olahan Sabut Kelapa". Industri pengolahan sabut kelapa nasional mengemban misi untuk mewujudkan visi tersebut, yaitu (a) membangun industri pengolahan sabut kelapa yang berbasis pada industri kecil dan berorientasi ekspor; (b) membangun industri pengolahan sabut kelapa melalui pemberdayaan kekuatan ekonomi rakyat, terutama Kelompok Usaha Bersama yang beranggotakan para pekebun kelapa, melalui kemitraan yang terpadu intara usaha berskala kecil dan usaha berskala menengah atau besar, (c) mengembangkan dan menguasai teknologi industri pengolahan sabut kelapa melalui strategi litbang yang terpadu, barientasi pada unggul mutu dan unggul biaya; (d) melakukan panetrasi pasar dengan aktif untuk membangun jaringan bisnis global hasil olahan sabut kelapa, serta produk-produk lanjutannya, serta (5) mengembangkan inovasi teknologi untuk menghasilkan diversifikasi penggunaan produk. Tujuan pengembangan industri pengolahan sabut kelapa nasional adalah untuk (1) meningkatkan dinamika ekonomi masyarakat di sentra-sentra produksi kelapa nasional; (2) meningkatkan pendapatan pekebun kelapa melalui peningkatan nilai tambah sabut kelapa yang dihasilkan; (3) meningkatkan penerimaan devisa melalui pengembangan industri pengolahan sabut kelapa yang berorientasi ekspor; (4) meningkatkan peran kelembagaan pekebun kelapa melalui pembinaan Kelompok Usaha Bersama yang bergerak dalam usaha pengolahan sabut kelapa; (5) meningkatkan integritas yang sinergis antara usaha berskala kecil dengan usaha berskala menengah atau besar melalui jalinan kemitraan yang kokoh, saling memperkuat, saling membutuhkan, dan saling menguntungkan; (6) meningkatkan daya saing produk olahan sabut kelapa nasional di pasar global melalui strategi unggul mutu dan unggul biaya; (7) meningkatkan aksesibilitas pada jaringan bisnis hasil olahan sabut kelapa dunia; (8) meningkatkan pangsa pasar hasil olahan sabut kelapa dunia yang dapat diraih melalui panetrasi pasar yang aktif, serta (9) meningkatkan diversifikasi penggunaan melalui inovasi produk baru atau pengembangan produk yang sudah ada. Faktor internal yang mempengaruhi pengembangan industri pengolahan sabut kelapa nasional adalah variabel pengadaan bahan, produksi, teknologi, manajemen, finansial dan investasi, pasar dan pemasaran, tenaga kerja, dan sistem informasi. Faktor internal tersebut berimplikasi pada timbulnya kekuatan industri adalah (1) kelimpahan jumlah bahan baku dengan mutu yang baik, (2) proses, sistem dan aliran produksi pengolahan yang sederhana, (3) efisiensi mesin pengolahan yang tinggi dan beroperasi pada kapasitas penuh, (4) keterampilan kerja yang diperlukan sederhana, (5) pola kemitraan sudah ada, (6) layak berdasarkan kriteria bisnis, (7) jumlah investasi tisp UPSK relatif kecil, (8) penghasil devisa, (9) harga produk relatif stabil dan pembagian nilai tambah yang cukup seimbang, (10) potensi pengembangan pasar yang tinggi, dan (11) tenaga kerja tersedia dengan biaya relatif murah. Di lain pihak, faktor internal tersebut juga berimplikasi pada adanya kelemahan industri, yaitu (1) bahan baku tersebar dan kamba, sehingga biaya pengadaan dan penangannya relatif tinggi. (2) mutu produk sensitif terhadap pasar, (3) sistem informasi teknologi, dukungan litbang dan kelembagaan masih kurang, (4) manajemen dan perencanaan industri masih lemah, (5) manajemen unit usaha lemah, (6) aksesibilitas terhadap pembiayaan lemah dan polanya belu ada, (7) pengsa pasar Indonesia di pasar dunia kecil, (8) keterampilan tenaga kerja masih kurang, serta (9) informasi belum tersebar dan belum dapat diakses secara luas. Faktor eksternal yang mempengaruhi pengembangan industri pengolahan sabut kelapa adalah variabel ekonomi, politik, hukum dan legal, sosial dan budaya, serta variabel Internasional. Faktor eksternal tersebut membuka peluang, yaitu (1) kecenderungan turunnya suku bunga dan terdapatnya skim kredit untuk UKM, (2) nilai tukar yang relatif stabil, (3) kondisi politik dan keamanan berangsur-angsur membaik, (4) deregulasi, otonomi daerah dan desentralisasi, (5) penurunan tarif dan penyederhanaan prosedur ekspor, (6) keberpihakan pemerintah, (7) pertumbuhan angkatan kerja tinggi, (8) produknya ramah terhadap lingkungan, (9) banyaknya pesantren yang dapat menjadi mitra (10) pasar ekspor terbuka, (11) hubungan bilateral dan multilateral Indonesia baik, serta (12) jumlah produsen dunia kecil. Di lain pihak, faktor eksternal tersebut juga menimbulkan ancaman berupa (1) kemungkinan meningkatnya persaingan domestik karena hambatan keluar masuk industri kecil, (2) industri berada pada tahap perkembangn awal, (3) aktivitas LSM dan unjuk rasa yang tidak terkendali, (4) gangguan keamanan dan kerusahan sosial, (5) sikap mengahadapi pekerjaan belum profesional, (6) keinginan berinvestasi masyarakat belum kuat, serta (7) kecenderungan meningkatnya. persaingan internasional dengan masuknya pendatang baru yang kuat. Hasil identifikasi alternatif strategi berdasarkan Matriks SWOT menunjukkan bahwa (1) Strategi SO adalah pengembangan sistem agribisnis kelapa terpadu, sistem pewilayahan, dan berorientasi global; (2) Strategi ST adalah pengembangan teknologi, berorientasi pada pemberdayaan ekonomi rakyat; (3) Strategi WO adalah berbasis pada industri kecil, modei kemitraan, keberpihakan pemerintah melalui program aksi, serta strategi manajemen industri den perencanaan strategi industri dan (4) Strategi WT adalah pembentukan asosiasi pengusaha, pembinaan dan pengawasan mutu, program pelatihan, serta transparansi program pengembangan. Hasil analisis Matriks IFE menunjukkan bahwa total skor terboboti dari semua parameter variabel kekuatan industri berdasarkan rata-rata geometrik dan median (6,952 dan 6,423) lebih besar dibandingkan dengan total skor terboboti dari semua parameter kelemahan industri (6,362 dan 6,102). Di lain pihak, hasil analisis Matriks EFE menunjukkan hahwa total skor terhoboti dari semua parameter variabel peluang industri berdasarkan rata-rata geometrik dan median (6,606 dan 6,165) lebih besar dibandingkan dengan total skor terboboti dari semua parameter ancaman industri (6,123 dan 5,911). Dengan demikian, apabila dipetakan pada Diagram SWOT industri berdasarkan nilai resultan dari masing-masing total skor terboboti tersebut, maka posisi industri berada pada kuadran kedua dengan strategi pertumbuhan cepat atau skenario optimis. Posisi industri yang berada pada strategi atau skenario tersebut berimplikasi kepada percepatan pertumbuhan investasi dan perluasan pangsa pasar yang agrresif, disamping pengembangan produk yang senantiasa unggul mutu dan unggul biaya, baik melalui pengembangan konsep dan konten produk maupun konteks produk, baik melalui penambahan jenis produk akhir maupun penciptaan kegunaan baru. Berdasarkan hasil proyeksi posisi masa depan industri pengolahan sabut kelapa nasional dengan menggunakan Proses Hirarki Analitik menunjukkan bahwa Indonesia tidak perlu ragu dalam mengembangkan industri pengolahan sabut kelapa karena posisi masa depan industri tersebut berada pada skenario optimis dengan bobot komposit 0,762. Dengan demikian, perlu didukung oleh strategi yang otimistik pula dengan pertumbuhan investasi yang cepat dan perluasan pasar yang agresif. Di lain pihak, hasil analisis balik terhadap posisi masa depan industri tersebut juga menunjukkan bahwa skenario implementasi penuh merupakan pilihan terbaik dengan bobot komposit sebesar 0,738.id
dc.language.isoidid
dc.publisherIPB Universityid
dc.subject.ddcManajemen Teknologiid
dc.titleStrategi Pengembangan Industri Pengolahan Sabut Kelapa Nasionalid
dc.typeThesisid
dc.subject.keywordSabut Kelapaid
dc.subject.keywordIndustri pengolahanid
dc.subject.keywordStrategi pengembanganid


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record