Penentuan Titik Kritis Susut Pascapanen Pisang Ambon (Studi Kasus Sentra Produksi Pisang Kabupaten Pesawaran Lampung)
Abstract
Kehilangan pascapanen buah-buahan di negara berkembang 20-50%, salah satunya yaitu
buah pisang. Kehilangan pascapanen utamanya akan merugikan secara ekonomi. Oleh karena itu perlu
adanya kajian dan identifikasi tentang kehilangan hasil (susut) pisang agar diketahui tingkat rantai
pasok yang mempunyai susut terbesar beserta penyebabnya. Sehingga jumlah kehilangan dapat
dikurangi dengan rekomendasi teknis berupa intervensi teknologi dan perbaikan GHP (Good
Handling Practice) berdasarkan penyebab yang telah diketahui.
Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi jalur distribusi dan proses penanganan
pascapanen buah pisang di sentra produksi pisang di Pesawaran, menelaah kehilangan hasil buah
pisang, baik kehilangan kuantitatif (volume/jumlah), kehilangan kualitatif (mutu), dan kehilangan
ekonomi (nilai/harga), menentukan titik kritis susut pascapanen pisang ambon, dan mengetahui
kelayakan usaha tani pisang ambon dan pada rumah pengemasan pisang ambon berdasarkan susut dan
input produksi petani.
Penelitian dilakukan di seluruh tingkatan pasok mulai dari sentra produksi yang berada di
kabupaten Pesawaran Lampung hingga ke pasar modern dan pedagang ecer di daerah Jabodetabek.
Penarikan sampel pada tiap tingkatan pemasaran dilakukan dengan sengaja (purposive) berdasarkan
kesamaan proses. Pengambilan data melalui pengamatan secara langsung, wawancara, dan
pengukuran. Analisis data yang digunakan analisis deskriptif dan analisis teknis.
Kabupaten Pesawaran merupakan salah satu sentra produksi pisang di Indonesia yang
potensial. Produktivitas pisangnya menjadikan provinsi Lampung menempati urutan keempat
produksi pisang nasional tahun 2010. Pisang dipanen oleh petani kemudian dijual ke pengumpul kecil.
Selanjutnya pengumpul kecil menjual ke pengumpul besar. Pada tingkat inilah dilakukan penanganan
pascapanen secara manual seperti pengumpulan, penyisiran, pencucian, grading, sortasi, dan
pengemasan. Rantai pasok selanjutnya yaitu perusahaan yang sudah menerapkan sistem rantai dingin
sejak buah diperam. Kemudian dilanjutkan ke pasar grosir dan pengecer, atau super market.
Kehilangan kuantitatif, kualitatif, dan harga di tingkat petani dan pengumpul kecil adalah 0.
Susut kuantitatif di tingkat pengumpul besar 3.1%, susut kualitatif 9.74%, dan susut harga 82.61%.
Susut kuantitatif di tingkat perusahaan 0.77%, susut kualitatif 5.99%, dan susut harga 20.69%. Susut
kuantitatif di tingkat pasar grosir tidak ada. Harganya rata-rata turun sebesar 41,75% dengan jumlah
pisang yang mengalami penurunan harga tersebut sebesar 15.67%. Susut kuantitatif di tingkat
pengecer 6.66%, susut kualitatif 23.42%, dan susut harga 53.66%. Susut kuantitatif di pasar modern
10-15%, susut kualitatif 20-25%, dan susut harga 25-50%.
Titik kritis kehilangan pascapanen terjadi di tingkat petani dan pengumpul kecil yang
merupakan pangkal dari rantai distribusi pisang sehingga sangat mempengaruhi kualitas buah di
tingkat-tingkat selanjutnya. Proses pemanenan oleh petani dan penyimpanan oleh pengumpul kecil
belum menggunakan cara penanganan pascapanen yang baik sehingga kehilangan hasil dan penurunan
kualitas buah pisang di tingkat setelahnya cukup tinggi. Titik kritis yang lain adalah tingkat pengecer,
dimana kondisi pisang telah masak penuh dengan indek warna 5-6. Pada tingkat ini buah sangat rentan
terhadap kerusakan dan terjadi penurunan tingkat kekerasan sehingga memerlukan penanganan
pascapanen yang baik.
Berdasarkan analisa kelayakan yang didapatkan dari hasil perhitungan analisis usaha tani
pisang dan pada rumah pengemasan pisang adalah layak untuk dijalankan karena menghasilkan
tingkat keuntungan tertentu. Nilai BC Ratio lebih besar dari satu, yaitu 1.93 dan nilai NPV adalah
positif.