Faktor-Faktor Determinan Stunting pada Baduta di Lima Provinsi dengan Prevalensi Stunting Tinggi di Indonesia
View/ Open
Date
2024-03-08Author
Fitri, Ramadhani
Khomsan, Ali
Dwiriani, Cesilia Meti
Metadata
Show full item recordAbstract
Stunting masih menjadi masalah kekurangan gizi utama di Indonesia. Studi
Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021 menemukan prevalensi balita stunting di
Indonesia sebesar 24,4%. Lima provinsi dengan prevalensi yang tergolong tinggi
(>30%) yaitu Aceh (33,2%), Nusa Tenggara Barat (31,4%), Nusa Tenggara Timur
(37,8%), Sulawesi Tenggara (30,2%), dan Sulawesi Barat (33,8%) (SSGI 2021).
Target penurunan stunting menurut RPJMN 2024 adalah 14%. Pertumbuhan anak
pesat pada usia di bawah dua tahun (baduta), apabila terjadi kegagalan pertumbuhan
pada periode ini masih dapat diperbaiki. Oleh sebab itu tujuan penelitian ini adalah
menganalisis faktor-faktor determinan stunting pada baduta di lima provinsi dengan
prevalensi stunting tinggi di Indonesia.
Keseluruhan data pada penelitian ini menggunakan data sekunder SSGI 2021
dalam bentuk elektronic files. Desain penelitian ini adalah cross sectional study.
Jumlah contoh dalam penelitian adalah 4554 anak berusia 0-23 bulan yang berasal
dari lima provinsi dengan prevalensi balita stunting tinggi di Indonesia yaitu Aceh,
NTB, NTT, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Barat. Cara pengumpulan data SSGI
2021 adalah wawancara menggunakan kuesioner individu dan rumah tangga,
sedangkan data tinggi badan dan berat badan diperoleh dengan pengukuran
langsung. Data yang dikumpulkan adalah umur dan jenis kelamin anak, jumlah
anggota keluarga, jenis pekerjaan orang tua, pendidikan orang tua, sumber air
minum, kepemilikan jamban, tempat tinja dialirkan, kerawanan pangan (Food
Insecurity Experience Scale/FIES), pemberian Inisiasi Menyusui Dini (IMD) dan
ASI ekslusif, keragaman konsumsi pangan (Minimum Dietary Diversity/MDD),
kejadian penyakit infeksi, dan data anthropometri. Pada penelitian ini analisis
bivariat dilakukan dengan uji chi square, sedangkan analisis multivariat dilakukan
dengan uji regresi logistik berganda, dengan p value <0,05, confident interval (CI)
95%. Analisis data menggunakan aplikasi WHO Anthro Plus v3.2.2 dan SPSS versi
26.0 for windows.
Hasil analisis menunjukkan bahwa faktor-faktor determinan stunting di
Provinsi Aceh adalah underweight (OR=9,884), umur 12-23 bulan (OR=1,967),
diagnosa campak (OR=6,960), dan tingkat pendidikan ibu SD (OR=1,749). Faktor
determinan stunting di NTB adalah usia anak 12-23 bulan (OR=2,973), sanitasi
tidak baik (OR=2,414), dan underweight (OR=6,401). Faktor-faktor determinan
stunting di Provinsi NTT adalah jenis kelamin laki-laki (OR=1,590), usia anak 12-
23 bulan (OR=1,9630, sanitasi tidak baik (OR=1,553), dan underweight
(OR=11,256). Jenis kelamin laki-laki (OR=1,861), underweight (OR=9,764), usia
anak 6-11 bulan (OR=2,266), usia anak 12-23 bulan (OR=3,855), besar keluarga
≥8 orang (OR=1,956), tingkat pendidikan ayah SMP-SMA (OR=3,321), tingkat
pendidikan ayah SD (OR=3,427), dan kerawanan pangan berat (OR=2,005)
merupakan faktor-faktor determinan stunting di Provinsi Sulawesi Tenggara.
Faktor-faktor determinan stunting di Provinsi Sulawesi Barat adalah underweight
(OR=12,295), usia anak 12-23 bulan (OR=2,108), besar keluarga ≥8 orang
(OR=2,108), kerawanan pangan ringan (OR=1,587), kerawanan pangan berat
(OR=1,986). Sementara itu secara keseluruhan faktor-faktor determinan stunting di
lima provinsi tersebut adalah underweight (OR=9,367), jenis kelamin laki-laki
(OR=1,4), diagnosa campak (OR=2,568), sanitasi tidak baik (OR=1,273), usia anak
6-11 bulan (OR=2,477), usia 12-23 bulan (OR=1,386), besar keluarga 5-7 orang
(OR=1,176), besar keluarga ≥8 orang (OR=1,612), dan pekerjaan ayah sebagai
petani/buruh/nelayan/sopir (OR=1,278).
Temuan faktor-faktor determinan stunting pada baduta secara spesifik di
setiap provinsi dengan prevalensi stunting lebih 30% dapat dijadikan sebagai
masukan untuk pemerintah dalam menetapkan intervensi spesifik dan sensitif.
Aspek sosial ekonomi keluarga merupakan penyebab utama stunting di lima
provinsi tersebut. Jumlah anggota keluarga yang besar dan pekerjaan kepala rumah
tangga di sektor informal berkaitan dengan kemampuan kepala keluarga dalam
pemenuhan kebutuhan pangan keluarga tidak memadai, sehingga kelompok rentan
seperti baduta mengalami kekurangan pangan. Demikian pula kondisi sosial
ekonomi juga berkaitan dengan praktik pemberian makanan pendamping ASI
(MPASI) yang tidak sesuai rekomendasi sehingga anak berusia lebih dari enam
bulan rentan mengalami kekurangan gizi. Underweight merupakan faktor risiko
stunting yang relatif besar di kelima provinsi yaitu 6,4 kali (NTB) sampai 12,29
kali (Sulawesi Barat). Kondisi di atas menunjukkan perlunya perbaikan sosial
ekonomi keluarga di lima provinsi tersebut. Perbaikan dapat dilakukan dengan
peningkatan pendapatan keluarga melalui program pemberian Kredit Usaha Rakyat
(KUR), edukasi gizi dan pendamping kader posyandu dan ibu bayi balita tentang
MP-ASI sehat bergizi. Selain itu fasilitas sanitasi tidak baik dan diagnosis campak
juga merupakan determinan stunting pada baduta, oleh sebab itu pemerintah perlu
mencanangkan program bantuan penyediaan sanitasi layak di lima provinsi tersebut
dan mengedukasi pentingnya imunisasi campak pada baduta.
Collections
- MT - Human Ecology [2198]