Show simple item record

dc.contributor.advisorPalupi, Nurheni Sri
dc.contributor.advisorKusnandar, Feri
dc.contributor.authorWulan, Nur Lili Nia
dc.date.accessioned2024-01-03T00:06:30Z
dc.date.available2024-01-03T00:06:30Z
dc.date.issued2023
dc.identifier.urihttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/133552
dc.description.abstractUdang merupakan salah satu jenis shellfish yang banyak dikonsumsi di Indonesia dan menjadi salah satu penyebab kasus alergi pangan tertinggi. Tropomiosin merupakan protein tahan panas yang menjadi alergen utama pada kerang-kerangan dan pangan asal laut. Bubuk udang adalah salah satu ingredien pangan yang banyak digunakan untuk pembuatan berbagai produk pangan olahan untuk memberikan cita rasa khas udang. Pada proses pengolahan pangan, komponen-komponen di dalam bahan pangan dapat mengalami modifikasi yang mempunyai pengaruh potensial terhadap perubahan alergenisitas suatu bahan pangan. Penelitian sebelumnya menunjukan hasil bahwa pengolahan menggunakan autoklaf dapat menurunkan alergenisitas pada udang. Oleh karena itu, penelitian bertujuan memperoleh produk pangan intermediat berupa bubuk udang dan produk olahan puffing snack yang hipoalergenik melalui pengolahan udang windu menggunakan proses termal dengan autoklaf menggunakan variasi waktu berbeda. Proses pembuatan bubuk udang dilakukan menggunakan bahan utama udang windu mentah dan proses pemanasan menggunakan autoklaf dengan perlakuan variasi waktu 5 menit, 10 menit dan 15 menit serta tanpa perlakuan autoklaf. Hasil bubuk udang dengan kadar alergenisitas terbaik kemudian diaplikasikan pada pembuatan puffing snack untuk menghasilkan produk olahan udang yang hipoalergenik. Pengujian kadar protein terlarut dianalisis menggunakan metode Bradford, analisis bobot molekul menggunakan elektroforesis SDS-PAGE, analisis pita protein alergen menggunakan metode immunoblotting dan kadar alergenisitas dilakukan menggunakan kit ELISA crustacea. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan waktu autoklaf memberikan pengaruh yang nyata terhadap beberapa parameter gizi bubuk udang. Sebagian besar pita protein hilang selama pemrosesan termal. Hanya terdapat dua pita protein pada berat molekul 34 kDa dan 18 kDA yang muncul pada profil SDS-PAGE. Sebanyak 15 pita protein terdeteksi pada ekstrak udang windu mentah, 8 pita protein pada bubuk udang windu tanpa autoklaf dan 2 pita protein pada bubuk udang dengan perlakuan autoklaf selama 5 menit, 10 menit dan 15 menit dengan berat molekul (BM) berada pada rentang 18–105 kDa, sedangkan pada puffing snack tidak terdapat pita protein yang muncul. Protein dengan bobot molekul besar dapat mengalami perubahan struktur protein apabila mengalami proses pengolahan dengan panas dan dapat berubah menjadi bentuk protein dengan berat molekul yang lebih kecil. Hasil pengujian menggunakan SDS-PAGE low molecul menunjukan bahwa tidak terdapat pita protein dengan ukuran yang lebih kecil dari 10 kDa. Sebanyak 6 pita protein alergen terdeteksi pada ekstrak udang windu mentah dan 5 pita protein alergen pada ekstrak protein bubuk udang tanpa perlakuan autoklaf, sedangkan pada bubuk udang dengan perlakuan autoklaf dengan semua variasi waktu tidak terdapat pita protein alergen yang terdeteksi. Sampel bubuk udang yang mengalami proses autoklaf sebelum proses pembuatannya tidak menunjukkan adanya pita protein yang reaktif dengan antibodi. Hasil immunobloting menunjukkan bahwa antibodi yang digunakan memiliki reaktivitas yang tinggi pada antigen sampel udang mentah dan bubuk udang tanpa perlakuan autoklaf yang ditunjukkan dari hasil pita alergen pada membran. Proses pemanasan menggunakan autoklaf menunjukan kadar alergen bubuk udang yang berbeda dibandingkan tanpa proses autoklaf. Tingkat alergenisitas udang mentah menurun hingga 98% per gram protein setelah diolah menjadi bubuk udang dengan perlakuan autoklaf. Hasil analisis menunjukan bahwa pada sampel ekstrak bubuk udang yang diautoklaf selama 15 menit menunjukan hasil terendah yaitu sebesar 7,70 (mg/g protein) dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan autoklaf selama 5 menit yaitu sebesar 7,84 (mg/g protein) sedangkan pada bubuk udang yang diautoklaf selama 10 menit memiliki hasil yang lebih tinggi yaitu sebesar 20,54 (mg/g protein). Hasil ini menunjukan bahwa dengan proses autoklaf selama 5 menit sudah cukup untuk menurunkan alergenisitas dari bubuk udang yang dihasilkan. Hal ini diduga karena autoklaf selama 5 menit dapat merusak epitop konformasi yang ada pada bahan pangan, namun pada autoklaf selama 10 menit justru menyebabkan epitop linear pada bahan pangan terekspos keluar dan kembali menyebabkan meningkatnya reaktivitas dari alergen pada bahan pangan, dan ketika menggunakan waktu yang lebih lama menyebabkan epitop yang terpapar kembali dirusak dengan pemanasan yang lebih lama. Hasil ini sesuai dengan hasil elektroforesis SDS-PAGE pada perlakuan bubuk udang dengan autoklaf bahwa pada perlakuan autoklaf 10 menit memiliki intensitas pita protein yang lebih tebal dibandingkan dengan bubuk udang yang diautoklaf selama 5 menit dan 15 menit. Setiap tahapan dalam pembuatan bubuk udang hingga menjadi puffing snack berpengaruh terhadap penurunan alergenisitas. Udang mentah yang diolah menjadi bubuk udang tanpa perlakuan autoklaf menunjukkan penurunan alergenisitas sebesar 91,81% per gram protein yang diduga disebabkan oleh perlakuan fisik yaitu proses pengeringan dan penggilingan. Sedangkan dengan autoklaf selama 5 menit menunjukkan penurunan alergenisitas terbaik, yaitu 98,09% per gram protein. Hasil ini menunjukkan bahwa proses autoklaf selama 5 menit mampu menurunkan alergenisitas bubuk udang sebesar 6,28%. Melalui proses ekstrusi, pembuatan puffing snack dengan penambahan bubuk udang tanpa autoklaf menunjukkan penurunan alergenisitas sebesar 99,83% per gram protein bubuk udang dan autoklaf selama 5 menit sebesar 99,94% per gram protein bubuk udang. Hal ini menunjukkan bahwa proses ekstrusi menurunkan alergenisitas sebesar 8,02% pada puffing snack dengan bubuk udang tanpa autoklaf dan 1,85% pada puffing snack dengan bubuk udang dengan autoklaf 5 menit. Penurunan alergenisitas pada puffing snack setelah proses ekstrusi lebih tinggi pada penambahan bubuk udang tanpa autoklaf dibandingkann bubuk udang dengan autoklaf 5 menit. Hal ini diduga karena kadar alergen dari bubuk udang tanpa autoklaf lebih tinggi daripada bubuk udang dengan autoklaf 5 menit, sehingga lebih banyak alergen yang akan terpengaruh oleh proses ekstrusi dan penurunannya menjadi lebih tinggi. Berdasarkan hasil penelitian yang dipeoleh dapat disimpulkan bahwa terjadi penurunan alergenisitas secara signifikan pada proses pengolahan udang segar menjadi bubuk undang, baik tanpa autoklaf (91,81% per gram protein) maupun dengan autoklaf (94,98-98,12% per gram protein). Proses ektruksi yang diaplikasikan pada pengolahan bubuk udang menjadi puffing snack, juga menurunkan alergenisitas (1,85%), meskipun relatif lebih rendah.id
dc.description.abstractShrimp is a type of shellfish widely consumed in Indonesia and is one of the leading causes of food allergies. Tropomyosin, a heat-resistant protein, is the primary allergen in shellfish and seafood. Shrimp powder is a commonly used as food ingredient in various processed food products, giving them a distinctive shrimp flavor. During the food processing process, modifications may occur in food components, potentially impacting food allergenicity. Previous studies have demonstrated that an autoclave process reduced shrimp allergenicity. Therefore, research on processing black tiger shrimp using an autoclave with varying time intervals to produce intermediate shrimp powder with lower allergenicity levels and its application in puffing snack products for hypoallergenic food production needs to be conducted. The shrimp powder production process involved using fresh black tiger shrimp as the main ingredient. The heating process was conducted using an autoclave with varied time treatments of 5 minutes, 10 minutes, and 15 minutes, as well as a control group without autoclaving treatment. The shrimp powder with the lowest allergenicity levels was then used to produce hypoallergenic shrimp products in the form of puffing snacks. Soluble protein levels were analyzed using the Bradford method, molecular weights were determined through SDS-PAGE electrophoresis, protein bands were identified using the immunoblotting method, and allergenicity levels were assessed using a crustacean ELISA kit. The results revealed that the different autoclave treatment times significantly affected several nutritional parameters of the shrimp powder. Most protein bands were lost during thermal processing, leaving only two bands proteins at molecular weights (MW) of 32-33 kDa and 18 kDa visible in the SDS-PAGE profile. A total of 15 protein bands were detected in fresh black tiger shrimp extract, 8 protein bands in shrimp powder without autoclaving, and 2 protein bands in shrimp powder subjected to autoclave treatment for 5, 10, and 15 minutes, with molecular weights ranging from 18 to 105 kDa. Interestingly, there were no visible protein bands in the puffing snack samples. Proteins with higher molecular weights can undergo structural changes when exposed to heat treatment, resulting in smaller molecular weight proteins. However, the low molecular SDS-PAGE test revealed no protein bands smaller than 10 kDa. In fresh black tiger shrimp, 6 allergen protein bands were detected, while shrimp protein extract without autoclaving treatment revealed 5 allergen protein bands. However, in shrimp powder produced with autoclave treatment at all time intervals, no allergen protein bands were detected. Notably, the shrimp powder samples produced with the autoclave process showed no allergen protein bands reactive with antibodies. The immunoblotting results indicate that the antibodies used exhibit high reactivity to the antigen in raw shrimp samples and shrimp powder without autoclaving treatment, as demonstrated by the allergen bands on the membrane. The autoclave heating process had varying effects on the allergen content of the shrimp powder. The allergenicity level of raw shrimp decreased by up to 98% per gram of protein after being processed into shrimp powder with autoclaving treatment. Analysis showed that the shrimp powder autoclaved for 15 minutes had the lowest result at 7,70 (mg/g protein), not significantly different from the 5 minute autoclave treatment at 7,84 (mg/g protein). However, the shrimp powder autoclaved for 10 minutes had a higher result of 20,54 (mg/g protein). These findings suggest that a 5 minute autoclave treatment is sufficient to reduce allergenicity, likely due to damage to conformational epitopes, while a 10 minute treatment exposes linear epitopes, increasing allergen reactivity. Prolonged heating further damages reexposed epitopes. These results align with SDS-PAGE electrophoresis results, which showed thicker protein band intensity for the 10 minute autoclave treatment compared to the 5 minute and 15 minute treatments. Each stage in the production of shrimp powder until it transforms into a puffing snack has an impact on allergenicity reduction. Raw shrimp processed into shrimp powder without autoclave treatment showed a 91.81% decrease in allergenicity per gram of protein, believed to be caused by physical treatment the drying and grinding process. On the other hand, autoclaving for 5 minutes demonstrated the best reduction in allergenicity, reaching 98.09% per gram of protein. These results indicate that autoclaving for 5 minutes is capable of reducing shrimp powder allergenicity by 6.28%. Through the extrusion process, the production of puffing snacks with the addition of shrimp powder without autoclaving showed a 99.83% decrease in allergenicity per gram of shrimp powder protein, while autoclaving for 5 minutes resulted in a 99.94% reduction per gram of shrimp powder protein. This suggests that the extrusion process reduces allergenicity by 8.02% in puffing snacks with shrimp powder without autoclaving and by 1.85% in puffing snacks with shrimp powder with 5-minute autoclaving. The decrease in allergenicity in puffing snacks after the extrusion process is higher when adding shrimp powder without autoclaving compared to shrimp powder with a 5-minute autoclave treatment. This is suspected to be due to the higher allergen content in shrimp powder without autoclaving compared to shrimp powder with a 5-minute autoclave, resulting in more allergens being affected by the extrusion process, leading to a greater reduction. Based on the research findings, it can be concluded that there is a significant reduction in allergenicity during the processing of fresh shrimp into shrimp powder, both without autoclaving (91.81% per gram of protein) and with autoclaving (94.98-98.12% per gram of protein). The extrusion process applied to the processing of shrimp powder into puffing snacks also reduces allergenicity (1.85%), although to a relatively lesser extentid
dc.description.sponsorshipLembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP)id
dc.language.isoidid
dc.publisherIPB Universityid
dc.titlePeranan Proses Autoklaf dalam Pembuatan Pangan Intermediat Bubuk Udang dan Siap Santap Puffing Snack Hipoalergenikid
dc.title.alternativeAutoclave Process Contribution to the Production of Black Tiger Shrimp Powder and Ready-to-Eat Hypoallergenic Puffing Snacksid
dc.typeThesisid
dc.subject.keywordAllergenid
dc.subject.keywordautoclaveid
dc.subject.keywordintermediate foodid
dc.subject.keywordshrimp powderid
dc.subject.keywordtropomyosinid


Files in this item

Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record