Analisis Peran Kemitraan Terhadap Pendapatan Petani Jamur Tiram Putih (Studi Kasus : Kemitraan Rimba Jaya Mushroom dan Petani Jamur Tiram Putih, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor
Abstract
Salah satu kabupaten di Jawa Barat yang memiliki potensi untuk perkembangan hortikultura khususnya jamur tiram putih adalah Kabupaten Bogor. Sentra produksi jamur tiram putih berada di Kecamatan Ciawi dengan produksi 269.500 kuintal pada tahun 2010 dan yang terendah adalah Kecamatan Babakan Madang dengan produksi hanya 137 kuintal. Penelitian ini berlokasi di Rimba Jaya Mushroom yang terletak di Kecamatan Ciawi, Kelurahan Gadog Kabupaten Bogor. Di daerah Gadog tersebut terdapat salah satu perusahaan jamur tiram putih yang cukup besar yang melakukan kemitraan dengan petani jamur tiram putih di daerah Bogor.
Permasalahan yang dihadapi petani mitra mulai dari mulai dari tidak bisanya pembuatan baglog, produktivitas baglog yang dapat mempengaruhi hasil panen, biaya pembuatan baglog,penerimaan harga jamur, posisi tawar yang lemah, transparansi harga yang diterima oleh petani mitra dari perusahaan inti. Oleh sebab itu sangat menarik dipelajari dan bagaimana sesungguhnya pola kemitraan serta pelaksanaanya yang terjalin cukup lama dan tanpa adanya kontrak kerjasama secara tertulis dengan para petani plasma. Proses permeliharaan baglog dan sumber baglog serta pasar yang berbeda antara petani mitra dan non mitra sehingga dapat berpengaruh pada pendapatan petani.
Metode pengolahan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah secara kualitatif dan secara kuantitatif yang diperoleh dari hasil wawancara dan observasi selama penelitian. Penelitian secara kualitatif digunakan untuk mendeskripsikan pelaksanaan kemitraan dan kendala-kendala yang terjadi pada kemitraan petani dengan Rimba Jaya Mushroom dan untuk menjelaskan mengenai keadaan umum. Sedangkan analisis data secara kuantitatif dilakukan dengan menggunakan perhitungan pendapatan usahatani dan R/C Rasio untuk melihat adakah perbedaan nyata antara rata-rata pendapatan petani mitra dan non mitra. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa kemitraan yang dijalankan antara Rimba Jaya Mushroom dengan petani jamur dijalankan dengan pola inti plasma. Adanya kemitraan memberikan dampak positif bagi kedua belah pihak yaitu bagi perusahaan yaitu mendapatkan pasokan jamur tiram putih, kontinuitas jamur bisa terjaga. Manfaat yang diperoleh petani mitra dengan adanya kemitraan ini adalah jaminan pasar, sarana input yang berkualitas (baglog), dan bisa memperoleh bimbingan serta tempat sharing antara petani jamur lainnya. Dengan kemitraan petani mitra memperoleh jaminan pasar, baglog yang berkualitas dan bimbingan dari pihak Rimba Jaya Mushroom. Dalam pelaksanaan kemitraan masih ditemui kendala yaitu kualitas baglog yang semikin menurun, kontinuitas baglog yang tidak tersedia, terjadi penjualan ke selain perusahaan inti, dan kurang transparansinya harga yang diterima oleh petani non mitra.
Besarnya pendapatan petani mitra atas biaya tunai sebesar Rp. 4.165.211,97 sedangkan untuk petani non mitra pendapatan atas biaya tunai sebesar Rp 2.289.788,75. Hasil perhitungan pendapatan usahatani didapat, pendapatan petani mitra terhadap biaya total adalah sebesar Rp. 3.226.187,89 per satu periode sedangkan untuk petani non mitra pendapatan petani terhadap biaya total adalah sebesar Rp. 1.685.680,10per satu periode. Dari keseluruhan perhitungan usahatani antara petani mitra dan non mitra baik dari pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total lebih besar petani mitra daripada petani non mitra. Hal ini bisa disebabkan karena kealitas baglog, cara perawatan dan pembinaan dan pemahaman dalam pemahaman dalam pemeliharaan jamur tiram putih sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani. Perhitungan analisis usahatani membutikan bahwa kemitraan antara Rimba Jaya Mushroom dengan petani jamur tiram putih di Kecamatan Ciawi mempengaruhi kepada pendapatan petani mitra, karena perhitungan R/C yang diperoleh lebih besar petani mitra.
Perhitungan analisis usahatani pembuatan baglog yang dilakukan oleh petani non mitra ini dilakukan karena ingin mengetahui sejauh mana pengeluaran biaya yang digunakan oleh petani non mitra dalam pembuatan baglog dan ingin mengetahui tingkat R/C rasio untuk pembuatan baglog oleh petani non mitra, sehingga bisa menjadi rekomendasi untuk petani mitra apakah dengan menyediakan baglog sendiri bisa lebih menguntungkan atau tidak. Nilai R/C atas biaya tunai sebesar Rp 1,40 artinya setiap rupiah yang dikeluarkan oleh petani akan menghasilkan penerimaan sebesar Rp 1,40. Sedangkan untuk nilai R/C atas biaya total sebesar Rp 1,31 yang artinya setiap rupiah biaya tunai yang dikeluarkan petani akan memperoleh penerimaan sebesar Rp 1,31. Berdasarkan hasil analisis tersebut R/C yang diperoleh lebih dari satu untuk. Usahatani yang dilakukan petani non mitra untuk pembuatan baglog dapat terus dikembangkan dan masih menguntungkan.
Collections
- UT - Agribusiness [4532]