Analisis Financial Distress terhadap Perusahaan Delisting Tercatat pada Bursa Efek Indonesia Tahun 2013-2019
Abstract
Pasar modal merupakan wadah untuk mengembangkan suatu negara dengan menawarkan saham perusahaan kepada pemodal sebagai sumber dana dengan mendaftarkan perusahaanya atau biasa disebut Initial Public Offering (IPO). Perusahaan dapat melakukan IPO di pasar modal yang bernama Bursa Efek Indonesia (BEI) sehingga bisa memanfaatkan fasilitas dan melakukan perdagangan komoditas. Syarat utama agar perusahaan tetap terdaftar atau dikatakan aktif di BEI dengan melaporkan keuangan dua tahun terakhir yang telah diaudit. Selain itu, perusahaan tidak dalam kondisi disclaimmer opinion dan adverse opinion dari audit, serta status pailit oleh kreditur. Jika selama waktu tertentu terjadi hal tersebut dan tidak segera dilakukan perbaikan, maka BEI dan Bapepam LK akan menghapus secara paksa perusahaan tercatat dari bursa atau bisa disebut force delisting. Selain force delisting, terdapat jenis delisting lain yaitu perusahaan mengajukan diri untuk dihapuskan efeknya dari bursa dengan mencantumkan alasan yang jelas disebut voluntary delisting.
Perusahaan yang sudah beroperasi bertahun-tahun dan melakukan berbagai aksi korporasi untuk menambah kepercayaan pemodal serta meningkatkan kinerja perusahaan masih belum mampu bertahan di BEI sehingga jumlah delisting cenderung meningkat. Selain itu, kasus perusahaan delisting banyak merugikan pemodal karena belum ada jaminan bahwa dana investasi dapat dikembalikan sesuai harga minimal saat pembelian. Regulasi yang dibuat oleh BEI, Bapepam, dan OJK sudah membantu untuk memberi peringatan dan pengawasan kepada perusahaan terkait untuk bertanggung jawab. Namun, fakta yang terjadi adalah masih ada perusahaan belum mematuhi peraturan Bapepam UU No. 40 Tahun 2007 terkait kewajaran harga saham bagi pemegang saham publik setelah perusahaan delisting. Berkaca dari kejadian-kejadian yang terjadi di Indonesia, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kesehatan dan ciri-ciri suatu perusahaan akan delisting yang ditandai financial distress di BEI. Hal tersebut berfungsi untuk mengurangi jumlah resiko kerugian pemodal dengan cara mengevaluasi rasio kecukupan kas (sufficiency ratios).
Penelitian dilakukan memanfaatkan data sekunder berupa laporan keuangan tahunan dari perusahaan-perusahaan yang masuk dalam daftar delisting periode 2013-2019. Jumlah sampel diperoleh sebanyak 11 perusahaan dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu force delisting dan voluntary delisting. Metode yang digunakan adalah purposive sampling dan analisis regresi. Sebelum dilakukan analisis regresi, perusahaan dikelompokkan dalam empat tahapan financial distress, yakni good comapany, early impairment, deterioration of performance, dan cashflow problem. Pengujian menerapkan lima variabel termasuk dalam sufficiency ratios, yaitu Cash Flow Adequacy Ratio, Long-term Debt Payment, Devidend Payout, Reinvestment, dan Depreciation-amortization Impact yang akan dilihat pengaruhnya terhadap Debt Service Coverage Ratio sebagai acuan kondisi keuangan perusahaan dalam kategori baik atau tidak. Selain itu, dilakukan pengamatan antara nilai DSCR dengan pendapatan, perputarang piutang, dan harga saham masing-masing perusahaan.
Hasil penelitian menggunakan empat tahapan financial distress menunjukkan perbedaan kondisi keuangan yang jelas bahwa kelompok force delisting lebih rendah dibandingkan kelompok voluntary delisting karena mayoritas berada dalam kategori cashflow problem. Selain itu, nilai DSCR perusahaan force delisting berada di bawah 1,2, artinya perusahaan dalam keadaan financial distress. Penelitian dilanjutkan dengan menguji kelima variabel independent yang memiliki pengaruh signifikan terhadap nilai DSCR adalah rasio long-term debt payment, dividend payout, reinvestment, dan depreciation-amortization impact. Variabel-variabel tersebut diharapkan menjadi acuan dalam mengelompokkan kinerja keuangan yang sehat dan tidak. Perusahaan dengan keuangan sehat akan menampilkan kondisi yang terbebas dari gagal bayar hutang jangka panjang dan jangka pendek, memiliki jadwal pembagian dividen secara rutin, dan dapat memanfaatkan sebagaian kas untuk mengelola aset agar menghasilkan nilai efektivitas dan efisiensi tinggi terhadap penjualan. Identifikasi perusahaan sehat selain menguji siklus financial distress dan pengaruh variabel sufficiency, dapat dilihat nilai DSCR dari masing-masing perusahaan delisting menunjukkan adanya kesamaan pola terhadap pendapatan dan perputaran piutang. Sementara jika dibandingkan antara nilai DSCR dengan harga saham perusahaan tidak terdapat kesamaan pola. Nilai DSCR yang baik ditunjukkan dengan peningkatan pendapatan dan tidak dalam bentuk piutang melainkan sudah dapat diterima secara langsung oleh perusahaan sehingga rasio perputaran piutang yang dihasilkan semakin besar.
Hasil penelitian diharapkan memberikan implikasi manajerial bagi banyak pihak. Informasi bagi pemodal terkait perusahaan force delisting dan voluntary delisting adalah tidak semua perusahaan delisting memiliki masalah kesehatan keuangan. Perusahaan voluntary delisting mayoritas masuk kriteria good company. Artinya perusahaan tidak dalam keadaan menurunya pendapatan dan laba bersih sebesar 20% serta arus kas tidak bernilai negatif. Sedangkan untuk mengevaluasi perusahaan sebagai target investasi agar terhindar dari force delisting, dapat dilihat performa perusahaan apakah mengalami penurunan laba bersih 20% dari tahun t-3. Begitu juga dengan nilai DSCR yang dapat dievaluasi dari tahun t-3 sebagai acuan performa perusahaan yang akan datang. Bagi perusahaan terdaftar di bursa agar tidak terancam mengalami force delisting harus mampu menjaga performa perusahaan salah satunya menjaga ketersediaan kas untuk biaya kewajiban pokoknya. Kemampuan perusahaan dalam menyediakan biaya kewajiban pokok terlihat dari persentase laba bersih yang diperoleh dari pendapatan. Peran pemerintah terhadap hasil penelitian ini sebaiknya bisa secara tegas mendorong atau memberi peringatan jika menemukan perusahaan berada pada tahap deterioration of performance. Hal ini diharapkan dapat menyaring perusahaan dengan kinerja yang semakin memburuk sebelum masuk ke tahap cashflow problem.
Collections
- MT - Business [1572]