Ketimpangan Ekonomi di Wilayah DKI Jakarta: Perspektif Ekonomi politik
Abstract
Masalah ketimpangan di Indonesia khususnya di DKI Jakarta merupakan
isu utama yang sering diangkat oleh berbagai kalangan masyarakat. Masalah
ketimpangan hingga saat ini masih menyelimuti sebagian besar masyarakat
Indonesia. Kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah saat ini belum
menunjukkan keberpihakan sepenuhnya kepada masyarakat miskin, terlebih sejak
dibukanya kran liberalisasi perdagangan yang semakin menekan ekonomi dalam
negeri. Ditambah dengan ketidakpastian dan keadilan hukum yang lemah, korupsi
yang mengakar di tubuh birokrasi, sehingga menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
Hal tersebut semakin mempersulit upaya untuk menekan angka ketimpangan yang
ada.
Tujuan dari penelitian ini adalah (1) menganalisis kondisi ketimpangan
yang terjadi di wilayah DKI Jakarta berdasarkan pendekatan indeks Williamson
(ketimpangan regional) dan rasio Gini (ketimpangan pendapatan), (2)
mengidentifikasi penyebab ketimpangan ekonomi DKI Jakarta, (3) menganalisis
fenomena dan dampak kompradorisasi terhadap perekonomian DKI Jakarta
berdasarkan pendekatan ekonomi politik. Hasil dari penelitian rasio Gini dari
provinsi DKI Jakarta masuk pada delapan provinsi dengan ketimpangan tertinggi
di Indonesia. Nilai rasio gini DKI Jakarta pada tahun 2013-2015 yakni 0,43.
Ketimpangan regional DKI Jakarta pada tahun 2001 hingga 2017 berada pada taraf
tinggi dengan nilai rata -rata indeks Williamson 0,533.
Faktor penyebab ketimpangan antara lain adalah konsentrasi omset,
konsentrasi kawasan bisnis, konsentrasi aset, konsentrasi lahan dan kompradorisasi.
Selanjutnya fenomena kompradorisasi menunjukkan bahwa elit pengusaha sebagai
pengembang properti melakukan aktifitas penguasaan lahan dengan berkolusi
dengan oknum pemerintah, calo, dan preman agar dipermudah dalam proses
perizinan penguasaan lahan. Untuk itu para pengembang mengeluarkan biaya ilegal
yang berkisar 1 persen hingga 17 persen. Akibat adanya penguasaan lahan, rakyat
pemilik lahan akan dirugikan karena pengembang membebaskan lahannya dengan
harga yang rendah, sebaliknya harga jual properti di kawasan ini sangat mahal
sehingga pengembang akan mendapatkan surplus transfer dari proyeknya tersebut
sebesar 79 persen dan 66 persen.