Show simple item record

dc.contributor.advisorPandjaitan, Nurmala Katrina
dc.contributor.advisorSjaf, Sofyan
dc.contributor.authorRezeky, Shinta Mutiara
dc.date.accessioned2019-06-24T02:59:48Z
dc.date.available2019-06-24T02:59:48Z
dc.date.issued2019
dc.identifier.urihttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/97976
dc.description.abstractRawa lebak merupakan lahan sub-optimal yang dapat dimanfaatkan sebagai alternatif pangan dengan sistem pertanian terpadu (SPT) dan juga untuk lahan sawah, peternakan, dan budidaya ikan. Lahan rawa lebak memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan sebagai lahan usahatani dengan potensi daya saing yang dapat diusahakan (Waluyo et al. 2012). Pengelolaan rawa lebak melalui pendekatan Pengelolaan Sumberdaya Tanaman Terpadu (PTT), mampu menjadi potensi yang dapat dikembangkan dan diharapkan, serta mampu menjadi penyumbang produksi beras yang cukup signifikan (Helmi 2015). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Kristanto et al. (2000) yang mengatakan bahwa, di lahan rawa pasang surut telah berkembang pula budi daya ikan. Potensi sumberdaya ikan ini dapat dimanfaatkan ketika terjadi musim hujan yang mengakibatkan genangan air yang cukup luas pada lahan rawa lebak. Berdasarkan hasil penelitian Noor et al. (2015), biodiversitas tanaman pangan di lahan rawa pasang surut (lebak) cukup luas meliputi padi dan non-padi yang dapat ditingkatkan baik produktivitas, intensitas pertanaman, maupun diversivikasi serta integrasi dengan ternak atau ikan. Berbagai macam potensi yang ada di rawa lebak menjadikan rawa lebak memiliki fungsi ganda dalam satu lahan. Fungsi ganda yang ada di rawa lebak dipengaruhi oleh perubahan musim yang terjadi sepanjang tahun. Pengelolaan rawa lebak di Provinsi Sumatera Selatan memiliki sistem yang berbeda dan akses yang berbeda juga. Pada saat musim kering, rawa lebak dikelola secara privat (property right). Sementara pada saat banjir, rawa lebak dikelola secara komunal berdasarkan peraturan pemerintah. Pengelolaan seperti ini bertujuan untuk menekan konflik yang ada antar pemilik lahan yang tidak jelas batasannya pada saat musim banjir (Yanti 2015). Pengelolaan yang dilakukan pemerintah pada saat banjir yaitu melakukan lelang hasil ikan yang ada di rawa lebak sesuai dengan peraturan daerah tentang sistem L3 (Lelang Lebak Lebung). Di sisi lain aturan ini mulai berubah yang semula untuk menekan konflik berdasarkan rasionalitas sosial sekarang menjadi rasinalitas ekonomi dengan hasil lelang ditujukan untuk pendapatan daerah (PAD). Belakangan perubahan iklim yang tidak menentu yang mempengaruhi pada perubahan musim membuat masyarakat kesulitan untuk menentukan waktu tanam padi, bahkan air datang diluar prediksi masyarakat. Perubahan iklim yang tidak menentu diikuti dengan sistem L3 yang memperketat ruang akses masyarakat menjadi sebuah ancaman bagi masyarakat. Berdasasarkan fenomena tersebut penting untuk menganalisis bagaimana (1) sistem nilai dalam pengelolan rawa lebak, sosial dan politik; (2) menganalisis dinamika akses dalam pengelolaan rawa lebak; (3) menganalisis sikap komunitas terhadap pengelolaan rawa lebak; dan (4) menganalisis resiliensi komunitas terhadapa kondisi rawan pangan di rawa lebak. Penelitian ini menggunakan metode mix method dengan melakukan observasi, wawancara mendalam, dan penyebaran kuesioner. Lokasi penelitian di Desa Tapus, Kecamatan Pampangan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Provinsi Sumatera Selatan. Hasil penelitian menunjukan bahawa sistem nilai yang dilihat berdasarkan norma yang berlaku dalam pengelolaan rawa lebak, terdapat norma ekonomi dan politik yang tinggi dalam aturan pengelolaan rawa lebak menjadikan norma sosial mulai memudar. Hal ini ditunjukan dengan hasil rawa lebak yang tinggi dimana pada saat musim kering produksi padi mencapai 3 ton GKG dan pada saat musim banjir panen ikan mencapai 100 kg per hari menunjukkan potensi ekonomi rawa lebak yang tinggi. Tingginya potensi rawa lebak ini dimanfaatkan oleh aktor yang memiliki otoritas yang didasarkan kepentingan politik, sehingga aturan yang dibuat dalam pengelolaan tidak memihak untuk kesejahteraan masyarakat. Realita seperti ini membuat terjadinya kerenggangan hubungan sosial diantara masyarakat yang berakibat masyarakat mulai menjadi individual satu sama lain. Munculnya sistem L3 yang bertujuan untuk menekan terjadinya konflik dimulai pada tahun 1830. Pada awalnya sistem pengelolaan ini diatur oleh masing desa yang pada saat itu dipimpin oleh pesirah. Semenjak munculnya UU No. 5 tahun 1979 yang mengaruskan pembentukan desa diseluruh Indonesia menjadikan sistem pesirah menjadi lemah yang membuat berakhirnya sistem L3 dibawah pengelolaan pesirah. Sejak tahun 1981, kewenangan mengenai sistem lelang lebak lebung diberikan kepada pemerintah kabupaten dan kecamatan. Akan tetapi, potensi konflik kembali muncul ketika masyarakat tidak diberikan akses sama sekali terhadap rawa lebak pada musim banjir. Pembatasan akses ini menimbulkan sikap yang cenderung negatif terhadap pengelolaan rawa lebak. Masyarakat Desa Tapus melakukan sebuah upaya untuk mengubah peraturan sistem L3 yang diberlakukan selama ini. Setelah melakukan diskusi dengan pihak pemerintahan kabupaten, akhirnya Desa Tapus pun diberikan hak khusus dalam sistem L3. Sistem L3 di Desa Tapus akan selalu dimenangkan oleh kepala desa, dan kepala desa membebaskan masyarakat untuk mengakses secara bebas lahan rawa lebak pada musim hujan. Peraturan mengenai penangkapan ikan masih sama dengan sistem L3 pada sebelumnya. Dibalik semua itu, tenyata kepala desa hanya memanfaatkan lahan rawa lebak sebagai alat untuk mendapatkan simpati masyarakat serta untuk menghimpun suara politik pada pemilihan legislative, hal ini menjadikan nilai politik pada rawa lebak. Motif pembebasan akses rawa lebak yang bermuatan politis menjadikan rawa lebak tidak terkontrol dengan baik, sehingga potensi kerusakan lahan cukup tinggi. Persaingan untuk mendapatkan hasil dari rawa lebak menjadi kuat ketergantungan masyarakat Desa Tapus yang tinggi pada rawa lebak membuat mereka kurang memiliki sumberdaya cadangan lain yang dapat dimanfaatkan. Masyarakat Desa Tapus yang cenderung kurang kreatif menyebabkan mereka hanya bisa pasrah dalam menghadapi berbagai guncangan, seperti perubahan musim dan dinamika kebijakan pengelolaan rawa lebak. Saat tak ada apapun yang bisa dimanfaatkan, mereka hanya mengandalkan bantuan raskin dari pemerintah, atau bekerja di perusahaan sebagai buruh dengan memanfaatkan relasi terhadap patron. Dengan demikian tingkat resiliensi komunitas Desa Tapus masih berada pada tingkat resiliensi sebagai stabilitas (Macguire dan Cartwright 2008).id
dc.language.isoidid
dc.publisherBogor Agricultural University (IPB)id
dc.subject.ddcRural Sociologyid
dc.subject.ddcCommunity Resilienceid
dc.subject.ddc2016id
dc.titleAkses dan Reselensi Komunitas dalam Pengelolaan Rawa Lebakid
dc.typeThesisid
dc.subject.keywordaksesid
dc.subject.keywordnilai dan normaid
dc.subject.keywordrawa lebakid
dc.subject.keywordsikapid
dc.subject.keywordresiliensi komunitasid


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record