dc.description.abstract | Rawa lebak merupakan lahan sub-optimal yang dapat dimanfaatkan
sebagai alternatif pangan dengan sistem pertanian terpadu (SPT) dan juga untuk
lahan sawah, peternakan, dan budidaya ikan. Lahan rawa lebak memiliki potensi
yang besar untuk dikembangkan sebagai lahan usahatani dengan potensi daya
saing yang dapat diusahakan (Waluyo et al. 2012). Pengelolaan rawa lebak
melalui pendekatan Pengelolaan Sumberdaya Tanaman Terpadu (PTT), mampu
menjadi potensi yang dapat dikembangkan dan diharapkan, serta mampu menjadi
penyumbang produksi beras yang cukup signifikan (Helmi 2015). Hal ini sejalan
dengan hasil penelitian Kristanto et al. (2000) yang mengatakan bahwa, di lahan
rawa pasang surut telah berkembang pula budi daya ikan.
Potensi sumberdaya ikan ini dapat dimanfaatkan ketika terjadi musim
hujan yang mengakibatkan genangan air yang cukup luas pada lahan rawa lebak.
Berdasarkan hasil penelitian Noor et al. (2015), biodiversitas tanaman pangan di
lahan rawa pasang surut (lebak) cukup luas meliputi padi dan non-padi yang dapat
ditingkatkan baik produktivitas, intensitas pertanaman, maupun diversivikasi serta
integrasi dengan ternak atau ikan. Berbagai macam potensi yang ada di rawa lebak
menjadikan rawa lebak memiliki fungsi ganda dalam satu lahan. Fungsi ganda
yang ada di rawa lebak dipengaruhi oleh perubahan musim yang terjadi sepanjang
tahun.
Pengelolaan rawa lebak di Provinsi Sumatera Selatan memiliki sistem
yang berbeda dan akses yang berbeda juga. Pada saat musim kering, rawa lebak
dikelola secara privat (property right). Sementara pada saat banjir, rawa lebak
dikelola secara komunal berdasarkan peraturan pemerintah. Pengelolaan seperti
ini bertujuan untuk menekan konflik yang ada antar pemilik lahan yang tidak jelas
batasannya pada saat musim banjir (Yanti 2015). Pengelolaan yang dilakukan
pemerintah pada saat banjir yaitu melakukan lelang hasil ikan yang ada di rawa
lebak sesuai dengan peraturan daerah tentang sistem L3 (Lelang Lebak Lebung).
Di sisi lain aturan ini mulai berubah yang semula untuk menekan konflik
berdasarkan rasionalitas sosial sekarang menjadi rasinalitas ekonomi dengan hasil
lelang ditujukan untuk pendapatan daerah (PAD). Belakangan perubahan iklim
yang tidak menentu yang mempengaruhi pada perubahan musim membuat
masyarakat kesulitan untuk menentukan waktu tanam padi, bahkan air datang
diluar prediksi masyarakat. Perubahan iklim yang tidak menentu diikuti dengan
sistem L3 yang memperketat ruang akses masyarakat menjadi sebuah ancaman
bagi masyarakat.
Berdasasarkan fenomena tersebut penting untuk menganalisis bagaimana
(1) sistem nilai dalam pengelolan rawa lebak, sosial dan politik; (2) menganalisis
dinamika akses dalam pengelolaan rawa lebak; (3) menganalisis sikap komunitas
terhadap pengelolaan rawa lebak; dan (4) menganalisis resiliensi komunitas
terhadapa kondisi rawan pangan di rawa lebak. Penelitian ini menggunakan
metode mix method dengan melakukan observasi, wawancara mendalam, dan
penyebaran kuesioner. Lokasi penelitian di Desa Tapus, Kecamatan Pampangan,
Kabupaten Ogan Komering Ilir, Provinsi Sumatera Selatan.
Hasil penelitian menunjukan bahawa sistem nilai yang dilihat berdasarkan
norma yang berlaku dalam pengelolaan rawa lebak, terdapat norma ekonomi dan
politik yang tinggi dalam aturan pengelolaan rawa lebak menjadikan norma sosial
mulai memudar. Hal ini ditunjukan dengan hasil rawa lebak yang tinggi dimana
pada saat musim kering produksi padi mencapai 3 ton GKG dan pada saat musim
banjir panen ikan mencapai 100 kg per hari menunjukkan potensi ekonomi rawa
lebak yang tinggi. Tingginya potensi rawa lebak ini dimanfaatkan oleh aktor yang
memiliki otoritas yang didasarkan kepentingan politik, sehingga aturan yang
dibuat dalam pengelolaan tidak memihak untuk kesejahteraan masyarakat. Realita
seperti ini membuat terjadinya kerenggangan hubungan sosial diantara masyarakat
yang berakibat masyarakat mulai menjadi individual satu sama lain.
Munculnya sistem L3 yang bertujuan untuk menekan terjadinya konflik
dimulai pada tahun 1830. Pada awalnya sistem pengelolaan ini diatur oleh masing
desa yang pada saat itu dipimpin oleh pesirah. Semenjak munculnya UU No. 5
tahun 1979 yang mengaruskan pembentukan desa diseluruh Indonesia menjadikan
sistem pesirah menjadi lemah yang membuat berakhirnya sistem L3 dibawah
pengelolaan pesirah. Sejak tahun 1981, kewenangan mengenai sistem lelang lebak
lebung diberikan kepada pemerintah kabupaten dan kecamatan. Akan tetapi,
potensi konflik kembali muncul ketika masyarakat tidak diberikan akses sama
sekali terhadap rawa lebak pada musim banjir. Pembatasan akses ini menimbulkan
sikap yang cenderung negatif terhadap pengelolaan rawa lebak.
Masyarakat Desa Tapus melakukan sebuah upaya untuk mengubah
peraturan sistem L3 yang diberlakukan selama ini. Setelah melakukan diskusi
dengan pihak pemerintahan kabupaten, akhirnya Desa Tapus pun diberikan hak
khusus dalam sistem L3. Sistem L3 di Desa Tapus akan selalu dimenangkan oleh
kepala desa, dan kepala desa membebaskan masyarakat untuk mengakses secara
bebas lahan rawa lebak pada musim hujan. Peraturan mengenai penangkapan ikan
masih sama dengan sistem L3 pada sebelumnya. Dibalik semua itu, tenyata kepala
desa hanya memanfaatkan lahan rawa lebak sebagai alat untuk mendapatkan
simpati masyarakat serta untuk menghimpun suara politik pada pemilihan
legislative, hal ini menjadikan nilai politik pada rawa lebak.
Motif pembebasan akses rawa lebak yang bermuatan politis menjadikan
rawa lebak tidak terkontrol dengan baik, sehingga potensi kerusakan lahan cukup
tinggi. Persaingan untuk mendapatkan hasil dari rawa lebak menjadi kuat
ketergantungan masyarakat Desa Tapus yang tinggi pada rawa lebak membuat
mereka kurang memiliki sumberdaya cadangan lain yang dapat dimanfaatkan.
Masyarakat Desa Tapus yang cenderung kurang kreatif menyebabkan mereka
hanya bisa pasrah dalam menghadapi berbagai guncangan, seperti perubahan
musim dan dinamika kebijakan pengelolaan rawa lebak. Saat tak ada apapun yang
bisa dimanfaatkan, mereka hanya mengandalkan bantuan raskin dari pemerintah,
atau bekerja di perusahaan sebagai buruh dengan memanfaatkan relasi terhadap
patron. Dengan demikian tingkat resiliensi komunitas Desa Tapus masih berada
pada tingkat resiliensi sebagai stabilitas (Macguire dan Cartwright 2008). | id |