Show simple item record

dc.contributor.advisorGhulamahdi, Munif
dc.contributor.advisorSopandie, Didy
dc.contributor.advisorSutandi, Atang
dc.contributor.advisorMelati, Maya
dc.contributor.authorNoya, Alce Ilona
dc.date.accessioned2018-08-16T06:58:47Z
dc.date.available2018-08-16T06:58:47Z
dc.date.issued2014
dc.identifier.urihttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/92619
dc.description.abstractPemanfaatan lahan sulfat masam merupakan salah satu pilihan dalam peningkatan produksi kedelai karena terbatasnya lahan subur. Peluang ini cukup besar karena ketersediaannya mencakup luasan 6.71 juta hektar yang tersebar di Sumatra, Kalimantan dan Papua. Permasalahan utama pada lahan sulfat masam adalah adanya bahan sulfidik, yakni bahan tanah mengandung pirit (FeS2). Jika pirit teroksidasi akan menciptakan pH masam. Kondisi masam akan memungkinkan terjadinya cekaman Al dan Fe pada tanah yang berpotensi menghambat pertumbuhan tanaman. Perdekatan ”from lab to land” dilakukan pada penelitian ini melalui 3 percobaan. Percobaan 1 terdiri atas 3 sub percobaan yang bertujuan mengetahui mekanisme adaptasi kedelai terhadap cekaman ganda Al dan Fe. Sub percobaan 1 bertujuan mempelajari mekanisme toleransi kedelai terhadap cekaman Al dan Fe. Percobaan dilaksanakan pada bulan Januari hingga Mei 2012 di rumah kaca Kebun Percobaan Cikabayan. Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) 3 faktor dengan 3 ulangan. Faktor pertama adalah konsentrasi Al yakni 0.0, 0.5, 0.7 dan 0.9 mM Al. Faktor ke-2 adalah konsentrasi Fe yakni 0.0, 0.1, 0.2, 0.3 dan 0.4 mM Fe. Faktor ke-3 adalah 10 genotipe kedelai. Hasil percobaan menunjukkan Yellow Biloxi dan Anjasmoro merupakan genotipe toleran cekaman ganda Al dan Fe hingga konsentrasi cekaman 0.5 Al mM Al + 0.2 mM Fe pada nilai indeks sensitivitas perpanjangan akar 0.41 dan 0.36. Lawit dan Tanggamus mewakili genotipe peka Al dan Fe. Yellow Biloxi dan Anjasmoro mengakumulasi Al dan Fe dalam jumlah lebih sedikit dibandingkan Tanggamus dan Lawit. Sub percobaan 2 bertujuan mengetahui distribusi Al dan Fe pada jaringan akar genotipe Yellow Biloxi, Anjasmoro, Tanggamus dan Lawit. Pewarnaan hematoksilin dan Pears Prusian Biru digunakan untuk mendeteksi distribusi Al dan Fe sebagai salah satu indikator mekanisme toleransi terhadap toksisitas Al dan Fe. Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2012 di rumah kaca Kebun Percobaan Cikabayan. Pengamatan jaringan dilakukan di Laboratorium Microtechnique Fakultas Pertanian IPB. Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) 3 faktor dengan 3 ulangan. Faktor pertama adalah konsentrasi cekaman terdiri atas: 1) kontrol (tanpa cekaman), 2) konsentrasi threshold genotipe toleran Al dan Fe (0.5 mM Al + 0.2 mM Fe), 3) konsentrasi tertinggi Al dan Fe (0.9 mM Al + 0.4 mM Fe). Faktor ke-2 adalah genotipe kedelai yaitu Anjasmoro, Yellow Biloxi, Tanggamus dan Lawit. Hasil percobaan menunjukkan Anjasmoro dan Yellow Biloxi memiliki kemampuan menahan Al dan Fe di bagian epidermis akar. Peningkatan konsentrasi cekaman menjadi 0.9 mM Al + 0.4 mM Fe mengakibatkan sebagian besar xylem akar berwarna biru gelap mengindikasikan peluang sebagian besar Fe mencapai tajuk. Sub percobaan 3 bertujuan mengetahui mekanisme adaptasi kedelai pada larutan sulfidik. Percobaan dilaksanakan pada bulan Mei 2012 di rumah kaca Kebun Percobaan Cikabayan. Komposisi kimia larutan terdiri atas larutan sulfidik dan air destilata dengan perbandingan 1:1, mengandung 1/3 strength larutan hara. Hasil percobaan menunjukkan akar Yellow Biloxi lebih panjang dan lebih berat. Yellow Biloxi dan Anjasmoro memiliki kemampuan eksklusi Al dan Fe lebih besar dibandingkan Tanggamus dan Lawit. Produksi asam malat dan oksalat di akar menyebabkan Yellow Biloxi dan Anjasmoro menahan Al dan Fe sehingga hanya sedikit yang mencapai tajuk. Percobaan 2 dilaksanakan di lahan sulfat masam tipologi pirit dangkal (kedalaman pirit (± <50 cm dari permukaan tanah (dpt); tipe luapan C) Desa Banyu Urip Kecamatan Tanjung Lago Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan, sejak Juni hingga Oktober 2012. Percobaan menggunakan rancangan petak-petak terbagi (split-split plot design) yang terdiri atas 3 faktor dengan 3 ulangan. Petak utama adalah teknologi budidaya jenuh air, dengan kedalaman muka air 10 dan 20 cm dpt dan budidaya kering sebagai pembanding. Anak petak adalah amelioran, terdiri atas kapur dan abu jerami dengan pembanding tanpa amelioran. Anak-anak petak adalah genotipe kedelai, terdiri atas Anjasmoro, Yellow Biloxi, Tanggamus dan Lawit. Hasil penelitian menunjukkan interaksi antara kedalaman muka air 10 cm dpt dan pengapuran meningkatkan pH tanah menjadi 4.67, mempertahankan kadar P tersedia pada 10.70 ppm dan meningkatkan kadar K, Ca dan Mg-dd menjadi 1.15, 11.70 dan 6.90 me 100 g-1. Kadar Fe tanah turun menjadi 12.14 ppm, Al-dd dan kejenuhan Al turun menjadi 2.06 ppm dan 10.36%. Tanggamus memiliki produktivitas tertinggi (2.47 ton. ha-1) karena memiliki jumlah daun (31.5), jumlah cabang (4.5-5.3), jumlah buku produktif (27.67) dan jumlah polong isi (80.9) yang lebih tinggi dibandingkan genotipe lain. Percobaan 3 bertujuan mempelajari pengaruh penerapan kedalaman air budidaya jenuh air dan ameliorasi terhadap beberapa sifat kimia tanah dan produktivitas kedelai di lahan sulfat masam tipologi pirit dalam. Penelitian dilaksanakan di lahan sulfat masam Desa Banyu Urip Kecamatan Tanjung Lago Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan, sejak Juni sampai Oktober 2012. Percobaan dilaksanakan di lahan sulfat masam tipologi pirit dalam (tipe luapan C) Desa Banyu Urip Kecamatan Tanjung Lago Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan, sejak Juni hingga Oktober 2012. Percobaan menggunakan rancangan petak-petak terbagi (split-split plot design) yang terdiri atas 3 faktor dengan 3 ulangan. Petak utama adalah teknologi budidaya jenuh air, terdiri atas kedalaman muka air 10 dan 20 cm dpt dan budidaya kering sebagai pembanding. Anak petak adalah amelioran, terdiri atas kapur dan abu jerami dengan pembanding tanpa amelioran. Anak-anak petak adalah genotipe kedelai, terdiri atas Anjasmoro, Yellow Biloxi, Tanggamus dan Lawit. Hasil penelitian menunjukkan pengapuran pada kedalaman 10 cm dpt meningkatkan pH tanah menjadi 5.23, meningkatkan P tersedia dan Ca-dd tanah menjadi 30.09 ppm dan 15.15 me 100 g-1 serta menurunkan Al dan Fe menjadi 1.04 dan 7.53 me 100 g-1. Penggunaan abu jerami pada budidaya jenuh air kedalaman 10 dan 20 cm dpt meningkatkan K dan Mg-dd menjadi 1.43 dan 10.52 me 100 g-1. Tanggamus memiliki produktivitas tertinggi (4.4 ton ha-1) karena memiliki jumlah daun (33.42), jumlah cabang (6.25), jumlah buku produktif (24.79), jumlah polong isi (114.89) yang lebih tinggi dibandingkan genotipe lain.id
dc.language.isoidid
dc.publisherIPB (Bogor Agricultural University)id
dc.subject.ddcHorticultureid
dc.subject.ddcSoyaid
dc.titleAdaptasi Kedelai pada Lahan Sulfat Masam dengan Teknologi Budidaya Jenuh Air.id
dc.typeDissertationid
dc.subject.keywordAbu jeramiid
dc.subject.keywordcekaman ganda Al-Feid
dc.subject.keywordjenuh airid
dc.subject.keywordkapurid
dc.subject.keywordpiritid


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record