Tipologi Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat Berwawasan Konservasi Keanekaragaman Hayati: Studi Kasus Di Provinsi Riau.
View/ Open
Date
2018Author
Erniwati
Zuhud, Ervizal AM
Santosa, Yanto
Anas, Iswandi
Sunkar, Arzyana
Metadata
Show full item recordAbstract
Petani kelapa sawit rakyat yang mengelola perkebunan kelapa sawit secara
swadaya meningkat pesat di Indonesia dalam dua dekade terakhir. Perkembangan
yang pesat menimbulkan tudingan bahwa kelapa sawit rakyat swadaya (selanjutnya
disebut kelapa sawit rakyat) penyebab deforestasi dan kehilangan keanekaragaman
hayati. Penelitian untuk mengkaji asal usul kebun kelapa sawit rakyat dan dampak
kelapa sawit rakyat terhadap keanekaragaman hayati perlu dilakukan untuk
menjawab isu yang berkembang yang kemudian dapat merumuskan model
pengelolaan kelapa sawit rakyat yang berkelanjutan. Sejauh ini penelitian terkait
isu tersebut masih sangat sedikit. Tujuan penelitian ini adalah untuk merumuskan
tipologi perkebunan kelapa sawit rakyat berwawasan konservasi keanekaragaman
hayati.
Penelitian dilakukan dari 2015-2017 dengan lokasi pengambilan data di
Provinsi Riau. Data ekologi tumbuhan dan hewan dikumpulkan dari enam belas
kebun kelapa sawit rakyat. Sebagai pembanding data ekologi juga diambil dari
empat perkebunan kelapa sawit skala besar dan empat hutan sekunder sebagai
habitat referensi. Dalam penelitian ini spesies burung dan cacing tanah digunakan
sebagai spesies bioindikator. Asal usul dan perubahan lahan sebelum menjadi
kelapa sawit dianalisis dengan metode GIS. Keanekaragaman spesies burung
diamati dengan metode jalur transek, analisis vegetasi dengan petak tunggal,
kepadatan populasi cacing tanah menggunakan metode hand sorting. Metode
wawancara terhadap 250 petani kelapa sawit dilakukan untuk mengkaji
karakteristik dan tingkat kesejahteraan petani. Analisis tipologi perkebunan kelapa
sawit rakyat dilakukan dengan menyusun parameter ekologi, ekonomi dan sosial.
Untuk aspek ekologi, penentuan tipologi asal usul lahan berdasarkan status lahan
dan tutupan lahan sebelum menjadi kebun kelapa sawit sedangkan penentuan
tingkat keanekaragaman hayati dilakukan dengan menghitung rata-rata indeks
keanekaragaman spesies bioindikator. Untuk aspek ekonomi, penentuan tipologi
berdasarkan analisis finansial dengan menghitung nilai NPV, IRR dan BC ratio,
kemudian diklasifikasikan menjadi layak atau tidak layak. Untuk aspek sosial,
penentuan tipologi berdasarkan tingkat kesejahteraan petani yang diklasifikasikan
menjadi tinggi, sedang dan rendah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar petani kelapa sawit
rakyat (85%) adalah petani skala kecil dengan luas lahan berkisar 1-5 ha.
Pengelolaan kebun umumnya dilakukan dengan sistem monokultur dengan low
external input (rendah pupuk anorganik dan pestisida) serta waktu pembersihan
yang tidak teratur. Produktivitas kelapa sawit rakyat tergolong rendah (5-10
ton/ha/tahun) masih jauh dari produktivitas kelapa sawit skala besar sebesar 21
ton/ha/tahun. Faktor yang paling berpengaruh terhadap rendahnya produktivitas
tersebut adalah penggunaan sumber benih yang berkualitas rendah, namun
demikian kehidupan petani tersebut masih dalam tingkat sejahtera yang dalam
penelitian ini diklasifikasikan di tingkat sedang.
Berdasarkan status lahan, sebagian besar kebun kelapa sawit rakyat (70%)
berasal dari kawasan bukan hutan, sedangkan sisanya (30%) berasal dari kawasan
hutan produksi bekas tebangan. Tipe tutupan lahan sebelum dikonversi menjadi
perkebunan kelapa sawit rakyat bukan berasal dari hutan primer melainkan berupa
semak belukar (59%), hutan sekunder (38%), tanah terbuka (11%), dan perkebunan
(2%). Kelapa sawit rakyat bukan faktor utama penyebab deforestasi hutan tropis di
Provinsi Riau. Konversi kawasan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit rakyat
bukan merupakan proses langsung melainkan diawali kegiatan lain seperti
perladangan dan pembalakan di hutan produksi dan kemudian ditanam dengan
kelapa sawit.
Kesuburan tanah di perkebunan kelapa sawit rakyat lebih tinggi dibandingkan
di perkebunan kelapa sawit skala besar, yang diindikasikan dengan kepadatan
cacing tanah yang lebih tinggi. Kandungan C-organik merupakan faktor yang
paling berpengaruh terhadap populasi cacing tanah. Kadar C-organik tanah di
perkebunan kelapa sawit rakyat diduga berkaitan dengan tipe pengelolaan kelapa
sawit rakyat yang tidak intensif. Keanekaragaman burung di perkebunan kelapa
sawit skala besar lebih tinggi dibandingkan dengan perkebunan kelapa sawit rakyat.
Sedangkan kelapa sawit yang lebih tua memiliki indeks keanekaragaman spesies
burung lebih tinggi baik di kelapa sawit rakyat swadaya maupun di perkebunan
kelapa sawit skala besar. Keberadaan hutan sekunder di sekitar perkebunan kelapa
sawit skala besar mempengaruhi tingkat keanekaragaman burung oleh karena itu
pengelolaan dengan melestarikan hutan alam dalam lanskap yang di dominasi oleh
perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu strategi untuk konservasi
keanekaragaman hayati. Selanjutnya menanam kelapa sawit dengan umur yang
berbeda dapat meningkatkan keanekaragaman burung di perkebunan kelapa sawit
rakyat.
Pengelolaan kelapa sawit rakyat lebih efisien dibandingkan dengan
perkebunan kelapa sawit skala besar. Hal ini ditunjukkan dengan nilai Net Present
Value (NPV), Internal Return Rate (IRR) dan Benefit Cost ratio (B/C) kelapa sawit
rakyat yang lebih tinggi dibandingkan dengan kebun kelapa sawit skala besar
Terdapat beberapa faktor utama yang menentukan perbedaan nilai biaya dan
manfaat antara kedua tipe pengelolaan tersebut antara lain tenaga kerja,
penggunaan jenis bibit, dan penggunaan pupuk.
Tipologi pengelolaan kelapa sawit rakyat yang berwawasan konservasi
keanekaragaman hayati adalah tipologi yang menyelaraskan antara kepentingan
ekonomi dan kepentingan konservasi keanekaragaman hayati.Tipologi pengelolaan
yang berwawasan konservasi keanekaragaman hayati dirumuskan sebagai suatu
pengelolaan perkebunan kelapa sawit rakyat yang tidak merubah areal berhutan
(zero deforestasi), mampu mengoptimalkan peran keanekaragaman hayati sehingga
mengurangi penggunaan bahan kimia yang pada akhirnya dapat mengurangi biaya
operasional pengelolaan. Kriteria pengelolaan antara lain adanya integrasi kelapa
sawit dengan spesies tumbuhan lokal setempat yang bermanfaat atau dengan habitat
alami, menggunakan pupuk organik dan menggunakan bibit yang berkualitas tinggi.
Collections
- DT - Forestry [342]