Show simple item record

dc.contributor.advisorSatria, Arif
dc.contributor.advisorSunito, Satyawan
dc.contributor.authorChristian, F. Yoppie
dc.date.accessioned2018-06-26T04:19:17Z
dc.date.available2018-06-26T04:19:17Z
dc.date.issued2018
dc.identifier.urihttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/92327
dc.description.abstractPulau Pari merupakan salah satu dari belasan ribu pulau kecil di Indonesia dan menjadi arena perebutan sumber daya agraria antara warga pulau dengan korporasi yang hendak mengivestasikan kapitalnya di sektor wisata. Proses konflik agraria di pulau ini sudah berlangsung lama dan sampai saat ini belum menemukan resolusi yang memadai bagi kedua pihak. Klaim perusahaan sebagai pemilik tanah di Pari adalah sebuah pernyataan yang legal karena secara formal pihak administrasi pertanahan telah menerbitkan surat kepemilikan maupun guna bangunan sesuai dengan yang diajukan oleh pemegang surat tanah meskipun status tanahnya adalah absentee. Proses ini mengabaikan proses-proses yang di masa lalu yang terindikasi melalui proses manipulasi oleh aparat negara. Kondisi ini menciptakan pertentangan yang tajam antara aspek legalitas yang dimiliki perusahaan dengan aspek legitimasi yang dimiliki oleh masyarakat yang merasa telah mendiami dan mengelola pulau tersebut secara turun-temurun dan tidak pernah menjualnya. Praktik konflik saat ini tak bisa dilepaskan dari proses abstraksi ruang yang dilakukan oleh pemilik kapital maupun negara di mana ruang spasial dan ruang interaksi antar aktor dipisahkan dan diproduksinya ruang abstrak oleh negara. Produksi ruang abstrak ini membuka jalan bagi proses lanjutan yakni disposesi. Disposesi yang terjadi bukan hanya disposesi alat produksi semata di mana orang dipisahkan dari alat produksinya melainkan disposesi atas ruang hidupnya secara utuh baik material, pengetahuan dan relasi-relasi sosialnya. Modus operandi disposesi di masa lalu oleh korporasi dan negara menempatkan masyarakat Pari berada dalam ancaman eksklusi dan menjadi tunakisma/landless. Formasi negara yang sedang dalam proses in the making terus menerus menimbulkan kegamangan bagaimana peran negara sesungguhnya dalam penanganan konflik agraria agar setiap unit negara tak membuat tindakan dan kebijakan yang berbeda-beda dan rentan dimanipulasi oleh kapital. Negara saat ini berada dalam arena pertarungan antara warga negara dan korporasi, di mana negara akan turun? Hal ini merupakan upaya yang mesti diperjuangkan bagi tiap aktor yang memperjuangan hak atas sumber-sumber agrarianya seperti disebutkan dalam UUPA No 5 Tahun 1960. Sebagai proyeksi, apabila konflik antara legalitas dan legitimasi ini terus berjalan, posisi warga akan sangat rentan kehilangan ruang hidupnya maka bentuk counter-exclusion bisa dilakukan dengan mengusahakan suatu keadilan alokasi ruang pemanfaatan pulau kecil agar semua pihak yang ada di pulau Pari dapat berbagi manfaat atas sumber-sumber agrarianya. Upaya ini perlu didukung oleh regulasi pertanahan di pulau kecil yang membatasi penguasaan perorangan serta penyerahan bagian dari luas penguasaan pribadi kepada negara, dalam hal ini adalah pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Integrasi antara regulasi pertanahan, regulasi mengenai pesisir dan pulau kecil, serta tata ruang kepulauan perlu diupayakan di tingkatan kebijakan.id
dc.language.isoidid
dc.publisherBogor Agricultural University (IPB)id
dc.subject.ddcSociologyid
dc.subject.ddcSocial conflictid
dc.subject.ddc2016id
dc.subject.ddcDKI - Jakartaid
dc.titleEkonomi Politik Konflik Agraria Pulau Kecil (Studi Kasus Pulau Pari, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta).id
dc.typeThesisid
dc.subject.keywordakumulasiid
dc.subject.keywordkonflik agrariaid
dc.subject.keyworddisposesiid
dc.subject.keywordeksklusiid
dc.subject.keywordruangid


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record