Pemberdayaan Masyarakat dalam Resolusi Konflik di KPHP Register 47 Way Terusan.
Abstract
Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) register 47 Way Terusan
ditetapkan berdasarkan SK Menhut No.68/Menhut−II/2010 tanggal 28 Januari
2010, dalam perkembangannya KPHP register 47 Way Terusan telah mengalami
penurunan secara fisik akibat aktivitas manusia dalam kawasan hutan. Hasil
interpretasi dan analisis citra landsat oleh Inventarisasi Pemantauan Sumber daya
Hutan (2015) menunjukkan bahwa sebagian besar kawasan telah didominasi oleh
pertanian lahan kering 5 447 ha, pemukiman 1 892 ha dan kebun campuran 921 ha.
Dalam rangka menjaga fungsi hutan dari gangguan dan kerusakan yang
disebabkan oleh manusia maka dilakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat
melalui kemitraan kehutanan dengan pola agroforestry (kombinasi tanaman
kehutanan dan pertanian) pada tahun 2015 dan 2016. Kegiatan tersebut
dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi
hutan. Pola kemitraan ini dibangun dan diarahkan pada dua tujuan yaitu rehabilitasi
hutan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Tujuan dari penelitian ini adalah : 1) menjelaskan pemberdayaan masyarakat
dalam proses penyusunan pola kemitraan kehutanan; 2) menjelaskan hubungan
antara pemberdayaan masyarakat dengan resolusi konflik; 3) menjelaskan apakah
pemberdayaan masyarakat dapat menyelesaikan konflik. Analisis yang digunakan
dalam penelitian ini adalah: a) kriteria dan indikator pemberdayaan masyarakat
dalam kawasan hutan (Ditjen PHKA, 2007); b) analisis gaya bersengketa (AGATA).
Analisis gaya bersengketa adalah suatu alat yang dapat digunakan untuk membantu
para pihak yang bersengketa dalam perundingan penyelesaian konflik.
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dapat ditarik tiga kesimpulan.
Pertama, pemberdayaan masyarakat dalam penyusunan kebijakan pola kemitraan
pengelolaan hutan antara pihak KPHP register 47 dengan kelompok tani hutan
register 47 pada umbul Harapan Jaya dilakukan melalui proses penjaringan aspirasi,
lobi dan negosiasi. Penjaringan aspirasi masyarakat dilakukan dengan memberikan
ruang dalam proses kebijakan. Pemberian ruang yang dimaksud adalah dengan
mengadakan proses dialog multi pihak untuk menyamakan persepsi dan mencari
alternatif bentuk kemitraan pengelolaan hutan. Lobi dan negosiasi dilakukan dalam
memperjuangkan hak, kewajiban kedua pihak serta pembagian hasil, sehingga
masyarakat turut serta dalam pengambilan dan perumusan kebijakan. Kedua,
resolusi konflik dapat dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat dengan adanya
komitmen menciptakan hubungan berkelanjutan antara masyarakat umbul Harapan
Jaya dan pihak KPHP register 47 Way Terusan. Ketiga, resolusi konflik tidak
selamanya mensyaratkan sebuah penyelesaian sebagai hasil akhir namun berupa
perubahan situasi kearah yang lebih baik. Pemberian hak kelola pemanfaatan
kawasan dapat meredakan konflik di register 47 dan sekaligus menjaga dan
melestarikan sumber daya hutan yang dikelolanya.
Collections
- MT - Forestry [1373]