Show simple item record

dc.contributor.advisorWiyono, Suryo
dc.contributor.advisorGiyanto
dc.contributor.advisorSiregar, Iskandar Z
dc.contributor.authorLelana, Neo Endra
dc.date.accessioned2018-04-18T07:55:52Z
dc.date.available2018-04-18T07:55:52Z
dc.date.issued2018
dc.identifier.urihttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/91541
dc.description.abstractPenyakit karat puru telah menjadi penyakit yang paling penting pada sengon selama dekade terakhir di Indonesia. Penyakit yang pertama kali dilaporkan terjadi pada tahun 1996 di Maluku telah menyebar di seluruh Jawa sejak tahun 2006. Patogen karat puru pada sengon pertama kali diidentifikasi sebagai Uromycladium tepperianum, yang pada awalnya dilaporkan banyak menyerang akasia. Namun demikian, nama baru patogen ini kemudian diusulkan sebagai U. falcatarium karena berbeda secara genetik dengan Uromycladium pada akasia. Berbagai penelitian penyakit karat puru pada sengon sudah dilakukan, seperti identifikasi patogen, mekanisme infeksi, ketahanan inang dan pengendaliannya. Namun demikian sampai saat ini permasalahan penyakit karat puru belum dapat teratasi dengan baik. Informasi yang komprehensif berkaitan dengan sebarannya, faktorfaktor lingkungan yang memengaruhinya baik yang berkaitan dengan iklim maupun teknik budidayanya, dan keragaman genetik patogennya belum banyak dikaji. Pemahaman yang baik terkait faktor-faktor tersebut diharapkan dapat menjadi dasar pertimbangan dalam menentukan strategi pengendalian karat puru kedepannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor iklim, tanah dan budi daya yang memengaruhi perkembangan penyakit karat puru pada sengon; mengidentifikasi cendawan penyebab penyakit karat puru pada sengon; menganalisis keragamannya baik secara morfologi maupun genetik serta menganalisis keragaman genetik tanaman sengon terkait dengan ketahanannya terhadap penyakit karat puru dengan penanda RAPD. Penelitian dilaksanakan dalam empat rangkaian yang dilakukan dengan observasi dan wawancara di sentra-sentra penanaman sengon di Jawa serta analisis laboratorium di Laboratorium Penyakit Hutan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Bogor. Rangkaian pertama penelitian ini ialah menganalisis hubungan antara beberapa faktor lingkungan, seperti faktor iklim, tanah dan budi daya dengan insidensi dan keparahan penyakit karat puru di Jawa. Parameter yang digunakan untuk faktor iklim ialah suhu dan curah hujan. Parameter yang digunakan untuk faktor tanah di antaranya nilai pH, kandungan C organik, N total, P, Ca, K, Na, Mg, dan KTK tanah. Sementara itu untuk faktor budi daya di antaranya topografi, umur tanaman, asal bibit, pola tanam, jarak tanam, tutupan lahan, sejarah lahan, tanaman pencampur, pupuk kimia, pupuk organik, herbisida, fungisida kimia, dan pemangkasan. Hasil penelitian untuk faktor iklim menunjukkan semua variabel suhu secara signifikan berkorelasi negatif dengan insidensi dan keparahan penyakit. Sementara untuk curah hujan, hanya 7 dari 21 variabel yang secara signifikan berkorelasi positif. Variabel tersebut ialah curah hujan pada bulan April, Agustus, November dan Desember untuk variabel bulanan; November sampai Januari dan Desember sampai Februari untuk variabel tiga bulanan dan variabel tahunan. Hasil penelitian untuk faktor tanah menunjukkan bahwa kandungan kimia tanah bervariasi untuk setiap lokasi. Analisis multivariat pada variabel sifat tanah menunjukkan bahwa pH, Ca, dan Mg berasosiasi dengan tingkat keparahan penyakit karat puru. Pada faktor budi daya, hasil penelitian menunjukkan sebanyak 6 dari 13 variabel faktor budi daya menunjukkan korelasi yang signifikan terhadap insidensi penyakit. Variabel tersebut ialah topografi, umur tanaman, penggunaan pupuk organik dan pengendalian kimiawi, penggunaan tanaman campuran, dan pemangkasan puru. Sementara terhadap keparahan penyakit, hanya umur tanaman, pupuk organik, dan pengendalian kimiawi yang menunjukkan korelasi signifikan. Rangkaian penelitian kedua ialah mengidentifikasi patogen karat puru pada sengon dengan pendekatan molekuler. Studi terbaru yang berbasis molekuler mengusulkan nama spesies baru untuk patogen karat puru pada sengon sebagai U. falcatarium. Namun demikian, untuk patogen karat puru pada sengon di Indonesia, identifikasi molekuler terhadap patogen tersebut belum pernah dilaporkan. Identifikasi dilakukan berdasarkan data sekuen daerah internal transcribed spacer- 5.8S rDNA (ITS) cytochrome oxidase 3 (CO3) dan large subunit ribosomal DNA (LSU). Hasil penyejajaran dengan BLAST menunjukkan fragmen ITS patogen karat puru pada sengon mempunyai kemiripan 99% dengan U. falcatarium. Sementara itu fragmen CO3 mempunyai kemiripan 100% dengan U. falcatarium dan U. tepperianum dan fragmen LSU mempunyai kemiripan 99% dengan U. falcatarium. Hasil analisis filogenetik menunjukkan bahwa patogen karat puru pada sengon di Indonesia berkerabat dekat dengan U. falcatarium (patogen karat puru pada sengon di Filipina dan Timor Leste). Rangkaian penelitian ketiga ialah menganalisis keragaman patogen karat puru. Analisis keragaman dilakukan berdasarkan data sekuen daerah ITS. Tujuh puluh satu sekuen fragmen ITS dari isolat patogen karat puru digunakan dalam penelitian ini. Dua single nucleotide polymorphisms (SNPs) yang terdeteksi menghasilkan tiga haplotipe penyakit karat puru di Jawa, yaitu haplotipe A, B dan C. Haplotipe A merupakan tipe yang paling dominan, diikuti berturut-turut oleh tipe B dan C. Hasil AMOVA menunjukkan 98.37% variasi genetik didistribusikan dalam populasi, sementara variasi genetik antar populasi sangat rendah, yaitu hanya sebesar 1.63%. Analisis PCoA dan uji mantel berdasarkan jarak genetik Nei menunjukkan bahwa jarak genetik dari patogen karat puru tidak berkorelasi dengan jarak geografis. Hal ini menandakan bahwa penyebaran penyakit karat puru tidak terstrukur. Rangkaian terakhir dari penelitian ini ialah menganalisis keragaman genetik tanaman sengon. Penelitian mengenai keragaman genetik pada sengon dengan pendekatan RAPD sudah dilakukan, namun demikian studi keragaman yang berhubungan dengan ketahanan sengon terhadap karat puru belum dilakukan. Analisis RAPD dilakukan terhadap 20 pairing tanaman sengon sehat dan sakit yang diklasifikasikan berdasarkan tingkat keparahannya di lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masing-masing primer RAPD menghasilkan jumlah pita polimorfik yang bervariasi, yaitu antara 3–12 pita, dengan jumlah total pita polimorfik yang dihasilkan ialah 80 pita. Namun demikian, pita polimorfik spesifik yang dapat membedakan tanaman sengon sehat dan sakit tidak ditemukan. Pengetahuan tentang faktor-faktor iklim, tanah dan budi daya serta keragaman genetik patogen karat puru dan sengon yang berkaitan dengan kejadian penyakit karat puru diharapkan dapat dijadikan dasar dalam merumuskan strategi pengendalian karat puru yang lebih baik.id
dc.language.isoidid
dc.publisherIPB (Bogor Agricultural University)id
dc.subject.ddcPhytopathologyid
dc.subject.ddcPathogenid
dc.subject.ddc2016id
dc.subject.ddcIndonesiaid
dc.titleEpidemiologi dan Keragaman Patogen Karat Puru Sengon di Indonesia.id
dc.typeDissertationid
dc.subject.keywordgenetikid
dc.subject.keywordJawaid
dc.subject.keywordkorelasiid
dc.subject.keywordlingkunganid
dc.subject.keywordpopulasiid


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record