Penggunaan Indeks Kekeringan dan Model Tanaman untuk Analisis Dampak Kekeringan terhadap Potensi Penurunan Hasil Jagung
Abstract
Alat monitoring kekeringan yang efektif dan handal yang mampu
menyediakan peringatan dini kekeringan di bidang pertanian merupakan
komponen strategi nasional yang penting dalam menghadapi kekeringan. Namun
selama ini akurasi alat ini sulit diperkirakan karena keterbatasan data hasil
tanaman di lapangan. Di sini kami mencoba menganalisis karakteristik kekeringan
dengan menggunakan indeks kekeringan dan mengukur akurasinya dengan
menghubungkan indeks tersebut dengan estimasi hasil tanaman keluaran model
tanaman. Tujuan penelitian ini yaitu menganalisis kekeringan berdasarkan metode
Standardized Precipitation Index (SPI) dan Standardized Precipitation
Evapotranspiration Index (SPEI) serta menganalisis dampak kekeringan terhadap
potensi penurunan hasil jagung di empat wilayah di Provinsi Jawa Barat.
Perhitungan SPI dan SPEI dilakukan pada skala waktu 1, 2 dan 3 bulanan.
Nilai evapotranspirasi potensial (ETP) dalam perhitungan SPEI dihitung
berdasarkan metode Thorthwaite (SPEITho), Hargreaves (SPEIHar) dan FAO
Penman-Monteith (SPEIPen). Estimasi hasil jagung dilakukan menggunakan
model tanaman, AquaCrop.
Tidak terdapat perbedaan signifikan antara perhitungan SPI dan SPEI
(SPEITho, SPEIHar dan SPEIPen) di semua lokasi penelitan pada semua skala
waktu. Kedua metode memiliki korelasi yang sangat kuat (nilai R berkisar 0.94-
0.99 dengan tingkat kepercayaan 99%). Namun apabila dianalisis dengan lebih
detail, hasil perhitungan SPEI menghasilkan jumlah bulan kering yang lebih
banyak dan penilaian kekeringan SPI cenderung lebih berat dibandingkan SPEI.
Perbedaan metode perhitungan menyebabkan perbedaan penilaian panjang durasi,
tingkat keparahan dan intensitas kekeringan tertinggi serta kapan waktu terjadinya
kekeringan terparah. Berdasarkan skala waktu, terlihat bahwa makin panjang
skala waktu yang dipakai dalam perhitungan SPI atau SPEI, maka makin sedikit
jumlah kejadian kekeringannya namun makin besar tingkat keparahan dan makin
panjang durasinya.
Hubungan indeks kekeringan dan potensi penurunan hasil jagung bervariasi
antara 0.0-0.68 (tingkat kepercayaan 95%). Peningkatan korelasi terjadi saat
musim tanam melalui musim kemarau. Secara umum, dampak kekeringan
terhadap potensi penurunan hasil jagung tergantung pada durasi dan intensitas
kekeringan serta fase pertumbuhan jagung ketika kekeringan terjadi. Semakin
panjang durasinya dan makin tinggi intensitasnya, maka makin besar pula potensi
penurunan hasil jagungnya. Dibandingkan fase lain, kekeringan pada fase
generatif menyebabkan potensi penurunan hasil jagung yang lebih tinggi.