Feminisasi Ikan Badut Amphiprion ocellaris Melalui Induksi Hormonal Menggunakan 17β-Estradiol dan 17α-Metiltestosteron
View/ Open
Date
2017Author
Anggeni, Prawita
Zairin, Muhammad
Tumbeleka, ITA Ligaya
Soelistyowati, Dinar Tri
Metadata
Show full item recordAbstract
Ikan badut Amphiprion ocellaris merupakan spesies ikan hias ekspor yang
banyak diminati, namun faktanya 90% ikan hias air laut yang dihasilkan berasal
dari penangkapan di alam. Hal ini terjadi karena para eksportir menganggap akan
lebih murah mengambil langsung di alam dibandingkan dengan dibudidaya
terlebih dahulu. Budidaya ikan badut sudah mulai dikembangkan, namun sampai
saat ini masih memiliki kendala, diantaranya stok induk betina yang terbatas.
Terbatasnya stok betina disebabkan oleh sifat monogami ikan badut. Selain itu,
keterbatasan stok induk betina juga disebabkan oleh adanya hirarki sosial pada
ikan badut, yaitu ikan yang paling dominan yang akan bereproduksi.
Penelitian ini terdiri dari tiga tahapan penelitian yang dilakukan secara
paralel. Tahap pertama adalah feminisasi dengan jumlah individu minimum dalam
kelompok. Tahap pertama terdiri dari lima perlakuan dengan tiga kali ulangan.
Pada tiap perlakuan dipelihara ikan badut dalam akuarium dengan kepadatan yang
berbeda yaitu satu, dua, tiga, enam, dan sembilan ekor. Tahap kedua adalah
feminisasi dengan induksi hormon 17β-estradiol dan 17α-metiltestosteron melalui
pakan. Tahap kedua terdiri dari tiga perlakuan dengan tiga kali ulangan. Perlakuan
pertama adalah penambahan hormon 17α-metiltestosteron pada pakan dengan
dosis 15 mg kgˉ¹ pakan. Perlakuan kedua adalah penambahan hormon 17β-
estradiol dengan dosis 150 mg kgˉ¹ pakan. Perlakuan ketiga adalah pemberian
pakan tanpa penambahan hormon. Pada tahap ini ikan badut dari masing-masing
perlakuan dipelihara dengan kepadatan yang sama yaitu sembilan ekor. Tahap
ketiga adalah feminisasi dengan penyuntikan hormon. Tahap ketiga terdiri dari
sembilan perlakuan dengan tiga kali ulangan. Masing-masing perlakuan dipelihara
dua ekor ikan badut dalam satu akuarium. Salah satu ikan disuntik hormon 17β-
estradiol dan satu ekor lagi disuntik hormon 17α-metiltestosteron dengan dosis
yang masing-masing sudah ditentukan. Dosis hormon 17β-estradiol yang
digunakan pada masing-masing perlakuan adalah 0.1, 0.2, 0.3, 0.4 μg gˉ¹ bobot
ikan sedangkan dosis 17α-metiltestosteron yang digunakan adalah 2.5 dan 4 μg gˉ¹
bobot ikan.
Hasil penelitian tahap satu menunjukkan bahwa setiap perlakuan hanya
menghasilkan satu ekor betina. Pada pemeliharaan lebih dari dua ekor (tiga, enam,
sembilan ekor) akan terbentuk seekor betina, seekor jantan, dan selebihnya adalah
nonbreeder. Laju pertumbuhan ikan badut menunjukkan perlambatan pada
kepadatan diatas dua ekor per akuarium. Hal serupa juga terjadi pada
kelangsungan hidup ikan badut yang menurun pada kepadatan diatas dua ekor per
akuarium. Hal ini diduga terjadi karena tingginya sifat dominansi yang
mengakibatkan agresifitas yang tinggi pada ikan yang lebih dominan, sehingga
terjadi persaingan yang tinggi pada saat pengambilan pakan dan perebutan
wilayah teritori. Tingginya sifat dominansi dan agresifitas ini menyebabkan
beberapa ikan pertumbuhannya rendah dan beberapa ikan juga mati. Hasil
penelitian tahap kedua menunjukkan bahwa penambahan hormon melalui pakan
pada dosis yang diberikan tidak dapat mempengaruhi perubahan jenis kelamin
ikan badut, namun dapat mempengaruhi laju pertumbuhannya. Laju pertumbuhan
pada ikan yang diberi pakan dengan penambahan hormon lebih tinggi
dibandingkan dengan tanpa pemberian hormon. Hasil penelitian tahap ketiga
menunjukkan bahwa pemberian hormon 17α-metiltestosteron 4 mg kgˉ¹ dan 17β-
estradiol 0.2, 0.3, 0.4 mg kgˉ¹ dapat menghasilkan seekor betina dan satu ekor
jantan.
Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa jumlah individu betina yang
dihasilkan dalam kelompok ikan badut lebih dipengaruhi oleh hirarki sosial
dibandingkan dengan stimulasi hormon.
Collections
- MT - Fisheries [3011]