Kenaikan Air Kapiler Di Tanah Gambut Pada Berbagai Ketinggian Muka Air Tanah
View/ Open
Date
2017Author
Nugraha, Muhammad Imam
Syaufina, Lailan
Anwar, Syaiful
Metadata
Show full item recordAbstract
Kapilaritas tanah gambut merupakan salah satu faktor utama dalam menjaga
kelestarian fungsi lahan gambut. Air kapiler di lahan gambut memiliki peranan
yang sangat penting dalam menyediakan air untuk zona perakaran tanaman pada
kondisi kering (musim kemarau). Penurunan muka air tanah di musim kemarau
atau aplikasi drainase yang berlebihan dapat mendorong terjadinya kekeringan
dan muncul sifat kering tak balik di lahan gambut. Penelitian yang
menghubungkan tinggi muka air tanah dengan potensi kapilaritas air pada tanah
gambut untuk tetap sampai di permukaan tanah sehingga lapisan atas gambut
masih cukup lembab dan tidak menjadi kering masih belum ada sampai saat ini.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk: 1) mempelajari dinamika dan mengukur
kapilaritas tanah gambut pada berbagai faktor kepadatan tanah dan tinggi muka air
tanah yang diamati dari perubahan warna, distribusi kelembaban, kadar air dan
hidrofobisitas tanah gambut, 2) mengukur emisi CO2 tanah gambut di dalam
rumah kaca pada kondisi sungkup tertutup.
Penelitian ini dilaksanakan di rumah kaca Balai Penelitian Pertanian Lahan
Rawa (BALITTRA) Banjarbaru, Kalimantan Selatan pada bulan April sampai
Juni 2016. Karakterisasi tanah gambut lapang dilakukan sebelum pelaksanaan
penelitian yang bertujuan untuk mendeksripsikan profil tanah gambut sebagai
acuan penentuan lokasi pengambilan tanah yang dilaksanakan pada bulan Maret
2016. Faktor hidrotopografi tipe gambut yang dipilih adalah gambut ombrogen
yang terbentuk pada dataran tergenangi oleh air hujan dan tidak dipengaruhi oleh
gerakan pasang surut air laut sehingga tidak ditemukan adanya sisipan mineral
pada tanah gambut tersebut. Lokasi pengambilan tanah di Taman Nasional
Sebangau pada koordinat 01054’- 03008’ Lintang Selatan dan 113020’-114003’
Bujur Timur yang dipilih berdasarkan karakterisasi tanah gambut lapang.
Percobaan ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok Faktorial 2 faktor
yang diulang sebanyak 3 kali ulangan. Faktor pertama adalah: tingkat kepadatan
gambut (BD) yaitu (1) BD-1 (aktual 0.1 g/cm3), (2) BD-2 (dipadatkan menjadi 0.2
g/cm3). Faktor kedua adalah simulasi tinggi muka air (TMA) yang diukur dari
tinggi tanah dalam pipa mika yaitu: (1) TMA-1 (-100 cm), (2) TMA-2 (-70 cm),
(3) TMA-3 (-40 cm). Pengamatan terhadap parameter penelitian meliputi: 1)
karakterisasi tanah gambut lapang dilakukan sebelum pelaksanaan penelitian; 2)
perubahan warna tanah dan distribusi kelembaban tanah diamati setiap 1 minggu
sekali selama 8 minggu; 3) kadar air dan hidrofobisitas tanah dianalisis pada awal
dan akhir penelitian; 4) pengambilan gas emisi CO2 tanah gambut dilakukan
setiap 1 bulan sekali. Sampel tanah yang diambil berupa contoh tanah terganggu
(disturbed sample) yaitu tanah dengan struktur asli yang telah termodifikasi
sebagian ataupun seluruhnya. Contoh tanah gambut ombrogen dibawa ke lokasi
penelitian (BALITTRA) kemudian dikeringudarakan dan disimpan di ruang
tertutup sebagai persiapan percobaan di dalam rumah kaca. Tanah gambut yang
sudah dikeringudarakan (kondisi awal) dimasukkan ke dalam pipa mika dengan
ukuran tinggi yaitu: 120 cm, 90 cm, 60 cm. Tanah yang dimasukkan dihitung dari
berat tanah yang dibutuhkan untuk menghasilkan tingkat kepadatan/bulk density
(BD) (g/cm3) tanah yang diinginkan sesuai dengan volume pipa mika (cm3) yang
digunakan. Pipa mika diberi penyangga kerangka besi agar dapat berdiri tegak dan
dimasukkan ke dalam bak yang berisi air dengan ketinggian 15 cm dan tinggi air
di dalam bak selalu dijaga agar ketinggiannya tetap konstan setiap hari.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tinggi kenaikan air kapiler di tanah
gambut maksimum mencapai 50 cm. Perubahan ketebalan warna gambut diamati
dari muka air dan hasilnya berkisar 40-50 cm. Pengamatan ini didukung oleh Soil
Munsell Color Chart yang menunjukkan warna tanah gambut awal dengan warna
GLEY 1 5/1 atau kelabu hijau berubah menjadi GLEY 4/1 atau kelabu hijau gelap
akibat adanya pembasahan tanah gambut yang berasal dari air kapiler. Distribusi
kelembaban tanah gambut pada penelitian ini dipengaruhi oleh kecepatan
kenaikan air kapiler. Hasil penelitian berdasarkan data probe ETP300
menunjukkan distribusi kelembaban gambut lapisan atas (0-10 cm) pada TMA-1
sangat lambat dengan nilai kelembaban potensial sebesar 6.41 pada BD-1 dan
6.79 pada BD-2, sedangkan distribusi kelembaban tanah gambut pada TMA-2 dan
TMA-3 meningkat lebih cepat yang mengindikasikan adanya air kapiler yang naik
ke lapisan atas sampai akhir pengamatan dengan nilai kelembaban potensial
berkisar 9.9-10.4 pada BD-1 maupun BD-2. Kecepatan kenaikan air kapiler
semakin meningkat dengan meningkatnya nilai BD tanah karena terkait dengan
jumlah pori mikro yang lebih banyak. Konstanta kecepatan kenaikan air kapiler
(K) tertinggi ditunjukkan pada TMA-3 dengan BD-2 mencapai 1.94.
Kadar air tanah merupakan faktor utama yang membatasi proses penyalaan
(ignition) dan penyebaran kebakaran yang tidak menyala/membara (smouldering
fires). Nilai kadar air tanah tertinggi terlihat pada perlakuan TMA-3 dengan BD-1
yaitu 308.1%, sedangkan nilai kadar air tanah terendah terlihat pada perlakuan
TMA-1 dengan BD-1 hanya sebesar 37%. Kondisi kadar air tanah 37%
menyebabkan tanah rentan terhadap kebakaran. Perlakuan TMA mempengaruhi
peningkatan rasio komponen hidrofobik dengan hidrofilik (hidrofobik:hidrofilik).
Perlakuan TMA-1 pada BD-1 dan BD-2 mengalami peningkatan rasio komponen
hidrofobik:hidrofilik sebesar 1.18% dan 7.25%. Peningkatan ini diakibatkan oleh
gugus hidrofobik yang masih tinggi dan terjadi penurunan gugus hidrofilik selama
penelitian. Penurunan gugus ini terkait dengan adanya penurunan kandungan air
dalam tanah. Rasio ini mengalami penurunan pada perlakuan TMA-2 sebesar
4.35% pada BD-1 dan 11.77% pada BD-2, sedangkan pada TMA-3 sebesar 0.31%
pada BD-1 dan 11.69% pada BD-2. Penurunan ini dipengaruhi oleh adanya
penurunan gugus hidrofobik maupun peningkatan gugus hidrofilik selama
penelitian sehingga lapisan atas tanah gambut pada TMA-2 dan TMA-3 masih
bersifat hidrofilik. Emisi CO2 sering dihubungkan dengan kondisi kelembaban
tanah gambut. Emisi CO2 akan menurun seiring dengan peningkatan kelembaban
tanah. Emisi CO2 pada TMA-2 masih mengalami penurunan yang terbukti dari
hasil emisi CO2 periode ke-1 sampai periode ke-2. Hasil penelitian menunjukkan
emisi CO2 tertinggi terlihat pada perlakuan TMA-1 dengan BD-2 sebesar 21.87
ton ha-1 bulan-1 sedangkan emisi CO2 terendah terlihat pada pada perlakuan TMA-
3 dengan BD-1 sebesar 3.69 ton ha-1 bulan-1.