Show simple item record

dc.contributor.advisorGhulamahdi, Munif
dc.contributor.advisorMelati, Maya
dc.contributor.advisorPurwono
dc.contributor.advisorMansur, Irdika
dc.contributor.authorMuis, Ridwan
dc.date.accessioned2017-01-30T07:30:59Z
dc.date.available2017-01-30T07:30:59Z
dc.date.issued2016
dc.identifier.urihttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/82721
dc.description.abstractKebutuhan nasional terhadap kedelai terus meningkat, namun produksi dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan tersebut. Kondisi yang kontradiktif ini terjadi karena laju peningkatan produksi kedelai yang sangat lamban, sedangkan penyusutan areal tanam terjadi sangat cepat. Oleh karena itu produksi dalam negeri hanya mampu memenuhi 30 % dari kebutuhan nasional, sehingga peningkatan produksi harus ditempuh melalui ekstensifikasi. Ekstensifikasi dapat dilakukan pada lahan pasang surut. Lahan pasang surut yang didominasi lahan sulfat masam merupakan potensi besar yang dapat digunakan sebagai perluasan areal tanam pangan berkaitan dengan pesatnya alih fungsi lahan untuk aktivitas non pertanian seperti pemukiman, fasilitas sosial dan sebagainya. Potensi ini semakin terbuka lebar, karena baru lebih kurang 10 % dari 6.6 juta hektar dimanfaatkan sebagai lahan pertanian. Lahan pasang surut ini mengandung senyawa pirit, bila teroksidasi maka kelarutan ion H+, Fe3+ dan gugus asam sulfat meningkat, sehingga dapat bersifat racun bagi tanaman. Ketersediaan fosfat rendah karena diikat oleh besi atau aluminium dalam bentuk besi fosfat atau aluminium fosfat. Kejenuhan basa rendah, pH tanah rendah dan kahat unsur hara. Kandungan P total tinggi, karena kecilnya kemampuan tanaman dalam memanfaatkan unsur P melalui pemupukan, sehingga sebagian besar P terikat dalam tanah. Kandungan P total yang tinggi pada lahan pasang surut, diupayakan untuk dimanfaatkan bagi pertumbuhan tanaman dengan menggunakan Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA), sehingga pemupukan P dapat lebih efisien. Fungi mikoriza arbuskula menghasilkan asam organik dan enzim fosfatase yang dapat meningkatkan P terlarut. Bagian yang penting dari sistem mikoriza adalah hifa eksternal yang berperan dalam penyerapan unsur hara bagi tanaman. Adanya FMA menyebabkan jarak yang ditempuh oleh hara tanaman untuk berdifusi dari tanah ke akar dapat diperpendek. Oleh karena itu pemanfaatan FMA pada budidaya kedelai merupakan tindakan agronomi yang mungkin untuk dilakukan. Pemanfaatan FMA pada budidaya kedelai di lahan pasang surut dilakukan melalui serangkaian percobaan. Rangkaian percobaan tersebut adalah: 1) Isolasi fungi mikoriza arbuskula dari rizosfer tanaman kedelai pada lahan pasang surut, 2) Keragaman fungi mikoriza arbuskula hasil trapping dengan menggunakan tanaman inang yang berbeda, 3) Kompatibilitas sumber inokulan fungi mikoriza arbuskula lokal pada tanaman kedelai dengan budidaya jenuh air dan budidaya konvensional, 4) Uji penggunaan fungi mikoriza arbuskula lokal untuk efisiensi pemupukan fosfor tanaman kedelai pada budidaya konvensional di lahan pasang surut dan 5) Uji penggunaan fungi mikoriza arbuskula lokal untuk efisiensi pemupukan fosfor tanaman kedelai pada budidaya jenuh air di lahan pasang surut. Percobaan dilakukan di Kelurahan Simpang Kecamatan Berbak Kabupaten Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi. Hasil pengamatan jumlah spora memperlihatkan bahwa jumlah spora yang diperoleh sebelum trapping (Percobaan 1), lebih rendah dan speciesnya lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah spora dan species yang diperoleh sesudah trapping (Percobaan 2). Hal ini diduga karena sebelum ditrapping miselium FMA dalam tanah dan akar kedelai belum berkembang secara maksimal. Setelah iii ditrapping maka miselia-miselia di dalam tanah berkembang dengan baik didukung oleh kondisi lingkungan serta kebutuhan metabolit hara yang cukup sehingga spora berkembang baik dan keragamannya menjadi meningkat. Jenis spora yang ditemukan sebelum trapping adalah Glomus fasciculatum dan Glomus fecundisporum. Setelah trapping adalah: Glomus macrocarpum, Glomus fasciculatum, Glomus clarum, Glomus fecundisporum, Septoglomus constrictum, Acaulospora scrobiculata, dan Acaulospora tuberculata. Jenis-jenis FMA yang berasosiasi dengan tanaman inang Zea mays, Sorghum bicolor, Pueraria javanica, Glycine max var. Tanggamus, Glycine max var. Anjasmoro, Glycine max var. Slamet, Glycine max var. Wilis, Glycine max Galur Sibayak Pangrango dan Glycine max galur Pangrango Godek. Penelitian kompatibilitas sumber inokulan dengan tanaman kedelai pada dua cara budidaya (Percobaan 3) menunjukkan bahwa interaksi budidaya jenuh air dengan FMA yang berasal dari rizosfer tanaman jagung meningkatkan serapan hara, pertumbuhan dan produksi kedelai. Hal ini dicerminkan oleh infektivitas dan efektivitas inokulum. Secara tunggal, sumber inokulan dan budidaya jenuh air juga meningkatkan serapan hara, pertumbuhan dan produksi kedelai. Hasil percobaan ini menunjukkan kedelai bermikoriza berpotensi untuk meningkatkan produktivitas kedelai di lahan pasang surut. Uji penggunaan isolat FMA lokal di lahan pasang surut pada budidaya konvensional dilakukan menggunakan varietas Anjasmoro dan varietas Tanggamus dengan taraf dosis P yang berbeda (Percobaan 4). Pemilihan varietas Anjasmoro karena sudah tersosialisasi dengan baik di kalangan petani, sedangkan varietas Tanggamus merupakan varietas kedelai yang memiliki daya adaptasi luas di lahan pasang surut pada berbagai pengujian dan penelitian. Dosis P yang dicobakan adalah 0, 36, 72 dan 108 kg P2O5 ha-1 untuk melihat pengurangan jumlah pupuk yang diberikan akibat pemanfaatan FMA lokal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa FMA lokal pada varietas Tanggamus dengan 36 kg P2O5 ha-1 meningkatkan produktivitas kedelai (17.61 %) dan efisiensi pemupukan P (72%). Untuk meningkatkan produktivitas kedelai di lahan pasang surut, perlu diuji adaptasi FMA pada budidaya jenuh air (Percobaan 5). Oleh karena itu percobaan penggunaan isolat FMA untuk varietas Tanggamus dan Anjasmoro dengan 4 taraf dosis P juga dilakukan pada budidaya jenuh air. Budidaya jenuh air merupakan penanaman di atas bedengan dengan memberikan air secara terus menerus dengan kedalaman air 20 cm dari permukaan bedengan pada kedalaman parit 25 cm, sehingga tanah di bawah perakaran menjadi jenuh air tetapi tidak tergenang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada rata-rata dua varietas, FMA mampu beradaptasi dengan kondisi jenuh air, sehingga memberikan kontribusi meningkatkan P tersedia (103.38%), serapan hara P (4.66%), dan produksi kedelai (38.86%), dibandingkan dengan budidaya konvensional. Tanaman kedelai yang dibudidayakan dengan budidaya jenuh air mempunyai pertumbuhan yang lebih cepat dengan produktivitas lebih tinggi dibandingkan dengan budidaya konvensional lahan kering, karena mendapatkan lengas dalam jumlah cukup sepanjang hidupnya serta mengalami penundaan penuaan dan perpanjangan fase reproduktif. Uji t yang dilakukan untuk membandingkan beberapa nilai peubah yang sama antara budidaya jenuh air dengan budidaya konvensional, menunjukkan bahwa produksi kedelai dengan budidaya jenuh air sebesar 3.43 ton ha-1 sedangkan dengan budidaya konvensional dengan hasil 2.47 ton ha-1.id
dc.language.isoidid
dc.publisherIPB (Bogor Agricultural University)id
dc.subject.ddcForage Plantsid
dc.subject.ddcSoybeanid
dc.titleEfisiensi Pemupukan Fosfor Menggunakan Isolat Fma Lokal Di Lahan Pasang Surut Untuk Meningkatkan Produktivitas Kedelaiid
dc.typeDissertationid
dc.subject.keywordbudidaya konvensionalid
dc.subject.keywordbudidaya jenuh airid
dc.subject.keywordlahan sulfat masamid
dc.subject.keywordpiritid
dc.subject.keywordpemerangkapanid


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record