Frekuensi Penambahan Kalsium Dan Magnesium Yang Berbeda Pada Sistem Resirkulasi Untuk Meningkatkan Produksi Benih Kepiting Bakau Scylla Serrata
View/ Open
Date
2016Author
Nurussalam, Wildan
Nirmala, Kukuh
Supriyono, Eddy
Metadata
Show full item recordAbstract
FAO (2013) menyatakan jumlah produksi kepiting bakau di dunia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, yaitu 246.534 ton (2009), 254.378 ton (2010), 270.087 ton (2011), dan 289.949 ton pada tahun 2012. Kepiting yang ada sebagian besar berasal dari hasil tangkapan, sedangkan saat ini terjadi pembatasan penangkapan kepiting bertelur dan ukuran kecil dengan Peraturan Menteri Kelautan Perikanan nomor 1/PERMEN-KP/2015 (KKP 2015). Peraturan ini memberikan peluang budidaya benih hasil tangkapan yang berukuran kecil. Benih yang dibudidayakan ketika sudah mencapai ukuran yang diperbolehkan akan dijual ke pasaran.
Teknologi yang dapat digunakan dalam budidaya kepiting bakau untuk menghemat penggunaan air adalah sistem resirkulasi. Penggunaan sistem resirkulasi memungkinkan tidak dilakukan pergantian air sampai akhir pemeliharaan kepiting. Sistem resirkulasi juga memiliki kekurangan yaitu berkurangnya ion-ion yang ada pada air selama proses pemeliharaan. Hal ini disebabkan terjadi penyerapan oleh biota untuk menunjang pertumbuhan. Penambahan ion-ion pada budidaya kepiting dengan sistem resirkulasi, sering dilupakan oleh pembudidaya.
Ion kalsium diperlukan oleh kepiting dalam pembentukan karapaks. Karapaks merupakan bagian terbesar dalam tubuh kepiting. Jumlah kalsium yang tinggi tidak dapat dipenuhi hanya dari lingkungan tempat hidup kepiting dan pakan saja dalam sistem resirkulasi. Penambahan dari luar diperlukan untuk menambah jumlah kalsium yang ada di lingkungan. Kalsium penting untuk pembentukan tulang dan pembentukan kerangka luar dari krustasea. Kalsium merupakan mineral esensial yang diperlukan dalam jumlah yang cukup banyak (Boyd 1982). Kebutuhan Kalsium dapat dicukupi dari makanan dan dari lingkungan, namun peran kalsium lingkungan sangat dominan dalam proses pengerasan kulit krustasea (Greenway 1974). Kalsium tidak dapat berdiri sendiri tetapi memerlukan bantuan dari unsur lain yaitu magnesium. Magnesium dalam tubuh mampu meningkatkan penyerapan kalsium (Rubin 1982) Dikarenakan hubungan antara kalsium dan magnesium inilah, maka digunakan magnesium juga untuk meningkatkan penyerapan kalsium pada saat pembentukan cangkang kepiting bakau. Tujuan dari penelitian ini untuk menentukan dosis terbaik pemeliharaan kepiting serta frekuensi optimum penambahan kalsium dan magnesium pada sistem resirkulasi dalam meningkatkan produksi dan pembentukan cangkang kepiting bakau Scylla serrata.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari sampai Oktober 2015 di Laboratorium Lingkungan Akuakultur, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini terdiri dari penelitian pendahuluan serta penelitian utama. Penelitian pendahuluan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 3 ulangan. Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menguji dosis terbaik pemeliharaan kepiting. Penelitian utama menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan
4 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan yang diberikan penambahan Ca dan Mg dengan dosis masing-masing 30 mg L-1, frekuensi penambahan yang dibedakan A (tanpa penambahan Ca dan Mg), B (5 hari sekali), C ( 10 hari sekali), dan D (15 hari sekali).
Benih yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 30 ekor untuk setiap perlakuan dengan kepadatan 10 ekor setiap wadah pemeliharaan (plastic box berukuran 35 x 55 x 40 cm3). Adaptasi dilakukan selama 7 hari sebelum penelitian dimulai. Setiap perlakuan dilengkapi dengan wadah filter dan sistem aerasi. Media pemeliharaan kepiting adalah air dengan salinitas 25 ppt. Sumber kalsium berasal dari kalsium oksida (CaO), sedangkan magnesium berasal dari magnesium sulfat (MgSO4). Volume air untuk masing-masing wadah adalah 38,5 L.
Hewan uji yang digunakan pada penelitian ini adalah benih kepiting bakau Scylla serrata ukuran 54,856±2,195 gram sebanyak 120 ekor untuk semua perlakuan dan ulangan yang berasal dari petani pengumpul Demak, Jawa Tengah. Sebelum dilakukan penelitian terlebih dahulu kepiting diadaptasikan selama 7 hari. Pakan yang digunakan adalah ikan rucah (ikan selar ekor kuning). Pakan ikan rucah didapatkan dari Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Muara Angke. Pakan diberikan dengan frekuensi empat kali sehari pada pukul 08.00 WIB, 12.00 WIB, 16.00 WIB dan 21.00 WIB dengan metode pemberian pakan secara restricted yaitu jumlah pakan yang diberikan 10 % dari biomassa.
Parameter uji dibedakan menjadi dua yaitu untuk penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Pada penelitian pendahuluan diuji parameter tingkat kelangsungan hidup dan perubahan nilai pH air. Pada penelitian utama diuji beberapa parameter yang meliputi parameter jumlah Ca dan Mg (air, kepiting, dan pakan), parameter kualitas air, parameter respons fisiologi, dan parameter produksi.
Hasil penelitian pendahuluan menunjukkan dosis terbaik yang mampu menunjang kehidupan kepiting sebanyak 30 mg L-1 Ca dan 30 mg L-1 Mg. Hasil penelitian utama menunjukkan bahwa nilai terbaik untuk parameter utama sebagai berikut gradien osmotik 0,263±0,008 mOsm L-1 H2O, tingkat konsumsi oksigen 0.0065±0,0004 mgO2 g-1 jam-1, kadar glukosa 14,0667±0,4233 μmol L-1, pH hemolim 7,233±0,058, total hemosit count 6,33±0,462 103 sel mL-1, jumlah molting 18,67±1,15 cangkang, tingkat kelangsungan hidup 86,67±5,77%, dan total biomassa 1.054,41±73,54 gram. Hasil terbaik diperoleh pada perlakuan D (penambahan 15 hari sekali dengan konsentrasi Ca dan Mg masing-masing 30 mg L-1). Hasil ini berbeda nyata dengan perlakuan lainnya (P<0,05). Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat disimpulkan frekuensi optimum penambahan kalsium dan magnesium pada sistem resirkulasi dalam meningkatkan produksi dan pembentukan cangkang kepiting bakau Scylla serrata adalah setiap 15 hari sekali dengan konsentrasi masing-masing sebesar 30 mg L-1.
Collections
- MT - Fisheries [2872]