Model Pengendalian Konversi Lahan Sawah Di Dalam Das Citarum
View/ Open
Date
2016Author
Firmansyah, Irman
Widiatmaka
Pramudya, Bambang
Budiharsono, Sugeng
Metadata
Show full item recordAbstract
Lahan sawah merupakan penghasil bahan makanan pokok beras bagi
masyarakat Indonesia. Luasan lahan sawah terus berkurang, baik karena tekanan
penggunaan lahan non pertanian maupun oleh tekanan kebutuhan dasar ekonomi
petani. Selain sebagai penghasil pangan pokok, lahan sawah juga memiliki
multifungsi manfaat seperti menjaga stabilitas fungsi hidrologis Daerah Aliran
Sungai (DAS), memperlambat aliran permukaan penyebab banjir, menurunkan
erosi, ketahanan pangan, penyediaan unsur hara, perbaikan iklim, menjadi habitat
flora dan fauna, menyerap tenaga kerja, memberikan keunikan dan daya tarik
pedesaan serta mempertahankan nilai-nilai budaya pedesaan.
Pulau Jawa memiliki lahan sawah yang paling luas, yaitu 3.231.377 ha atau
39,83 % dari seluruh luas lahan sawah di Indonesia yang seluas 8.112.103 ha.
Jawa Barat memiliki luas ketiga (11,40 % atau seluas 925.042 ha) setelah Jawa
Timur dan Jawa Tengah. Diantara berbagai provinsi, Jawa Barat berkontribusi
terbesar terhadap produksi beras, yaitu 16,95 % produksi beras nasional.
Kontribusi yang tinggi terhadap produksi nasional tersebut saat ini mulai terancam
karena Jawa Barat memiliki alih fungsi lahan sawah tertinggi, rata-rata sebesar
4.994,7 ha per tahun. Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum yang merupakan salah
satu sentra produksi di Jawa Barat juga mengalami tekanan terhadap penggunaan
lahan sawah. Pada tahun 2000 luas sawah di DAS ini adalah 161.028,89 ha, telah
berkurang menjadi 145.903,98 ha pada tahun 2012. Selain pengaruh terhadap
penyediaan beras, dalam konteks daerah aliran sungai, fenomena ini juga akan
berpengaruh pada supplai air yang akan menurun.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan utama merancang model
pengendalian konversi lahan sawah di DAS Citarum. Metode yang digunakan
adalah analisis multidimensional scaling (MDS) untuk melihat status
keberlanjutan lahan sawah, analisis spasial dinamik untuk memvisualisasikan
prediksi penggunaan lahan pada beberapa tahun mendatang analisis desain
kebijakan menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP) untuk melihat
prioritas alternatif kebijakan dan analisis Interpretative Structural Modelling
(ISM) untuk menstrukturkan kendala bagi pengendalian konversi lahan sawah.
Hasil analisis MDS menunjukkan bahwa nilai keberlanjutan lahan sawah di
lokasi penelitian masuk pada kategori cukup berkelanjutan dengan nilai
keberlanjutan sebesar 61,61. Intervensi kebijakan prioritas akan dapat
meningkatkan status keberlanjutan menjadi 71,73. Faktor pengungkit utama
keberlanjutan adalah penyuluhan pertanian, bantuan pemerintah, pemanfaatan
limbah, penyediaan industri pengolah hasil dan penegakan hukum.
Hasil simulasi sistem dinamik menunjukkan bahwa laju konversi lahan
sawah masih akan tetap tinggi jika tidak ada kebijakan khusus dalam
perlindungannya. Pada skenario optimis, lahan sawah akan berkurang sebanyak
29.047,61 ha dari tahun 2009 sampai tahun 2030. Pada skenario moderat,
pengurangannya adalah 30.751,03 ha dari tahun 2009 sampai tahun 2030.
Melihat kondisi tersebut, maka lahan sawah perlu secara khusus dilindungi atau
dimiliki oleh pemerintah.
Berdasarkan hasil analisis dinamika spasial, lahan sawah di wilayah
penelitian yang berpotensi terkonversi berada di Kabupaten Karawang dan
Kabupaten Bandung. Kabupaten Karawang yang dilalui jalan utama pantai utara
Pulau Jawa dan Kabupaten Bandung yang merupakan jalur wisata menjadi
penyebab. Berdasarkan hasil analisis dinamika spasial tersebut, lahan sawah di
lokasi penelitian mengalami penurunan sebesar 38.330,61 ha pada tahun 2030.
Sebaliknya, luas permukiman meningkat menjadi 95.035,69 ha atau mengalami
peningkatan sebesar 40.465,70 ha dari tahun 2009 sampai tahun 2030.
Alternatif strategi kebijakan utama yang dihasilkan dari penelitian ini adalah
pembelian lahan sawah oleh pemerintah dan penerapan land banking system atau
zonasi lahan sawah milik pemerintah berbasis pemberdayaan masyarakat. Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) diarahkan untuk dibeli pemerintah
secara bertahap, agar perlindungan dapat lebih optimal. Kendala dalam penerapan
kebijakan LP2B pemerintah berbasis masyarakat adalah adanya rencana
pemanfaatan lahan untuk kepentingan non-pertanian oleh pemerintah, kebutuhan
pemenuhan ekonomi petani, penyusutan kepemilikan dan fragmentasi lahan
karena sistem pewarisan, persepsi bahwa usaha pertanian kurang menjanjikan
secara ekonomi, lemahnya dukungan pemerintah dalam orientasi jangka panjang,
kurangnya pemahaman petani tentang kawasan LP2B, dan belum terbentuknya
rasa memiliki lahan sawah. Pengendalian konversi lahan sawah ini mendesak
dilakukan untuk menjaga kedaulatan pangan.