Sifat Fisiologi Dan Agronomi Padi Ratun Dengan Sistem Salibu Pada Budidaya System Of Rice Intensification (Sri).
View/ Open
Date
2016Author
Pasaribu, Pinta Omas
Triadiati
Iswandi Anas
Metadata
Show full item recordAbstract
Upaya peningkatan produktivitas padi dapat dilakukan dengan
meningkatkan produktivitas lahan melalui pemanfaatan tanaman ratun
dengan sistem salibu yang dibudidayakan dengan metode System of Rice
Intensification (SRI). Budidaya padi System of Rice Intensification (SRI)
merupakan suatu metode dalam pengelolaan tanaman, tanah, air, dan unsur
hara untuk meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi.
Ratun adalah kemampuan tanaman padi dalam menghasilkan anakan baru
setelah tanaman pertama dipanen. Keunggulan ratun dapat memberikan
tambahan produksi padi per musim tanam, hemat input produksi, tenaga,
dan waktu. Sistem salibu merupakan modifikasi pada tanaman ratun yang
berkembang di daerah Sumatera Barat yang mampu menghasilkan produksi
lebih baik dibandingkan dengan sistem yang umum dilakukan oleh petani
(non-salibu).
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor internal yang
mendukung fisiologi dan agronomi padi ratun pada sistem salibu yang
dibudidayakan dengan metode SRI, sehingga diperoleh informasi dan data
mengapa sistem salibu dapat menghasilkan produksi lebih baik dibanding
sistem non-salibu. Penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok
(RAK) untuk mengkaji metode SRI dan konvensional pada tanaman
pertama, sedangkan pada tanaman ratun menggunakan rancangan acak
kelompok (RAK) dua faktor yaitu teknik pemotongan dan metode budidaya
dengan lima ulangan. Teknik pemotongan terdiri dari sistem salibu dan
sistem non-salibu, sedangkan metode budidaya terdiri dari metode SRI dan
konvensional. Data pada tanaman pertama dianalisis secara statistik
menggunakan Independent t-test dan pada tanaman ratun dianalisis dengan
ANOVA pada tingkat kepercayaan α = 5%. Pengamatan pada penelitian ini
meliputi pengamatan peubah vegetatif, generatif, dan fisiologi pada padi
tanaman pertama dan tanaman ratun.
Peubah agronomi meliputi pertumbuhan vegetatif dan pertumbuhan
generatif pada tanaman pertama dan tanaman ratun. Peubah pertumbuhan
vegetatif yang diamati yaitu tinggi tanaman, jumlah anakan, jumlah daun,
bobot kering tajuk, dan akar umur 105 HSS dan 75 HSP, jumlah anakan
produktif per rumpun, serta jumlah anakan produktif per m2. Peubah
pertumbuhan generatif yang diamati yaitu bobot 1000 gabah, bobot gabah
kering per rumpun, bobot gabah kering panen per m2, dan bobot gabah
kering giling per m2.
Peubah fisiologi yang diamati meliputi laju fotosintesis (A) pada dua
fase pertumbuhan (puncak vegetatif dan generatif pada tanaman pertama
dan tanaman ratun), serapan hara N, P, dan K pada daun diamati pada saat
panen tanaman pertama dan tanaman ratun, kandungan karbohidrat total
pada jaringan meristem interkalar pada saat panen tanaman pertama dan
tujuh hari setelah panen tanaman pertama, analisis fitohormon (giberelin,
kinetin, dan auksin) pada jaringan meristem interkalar pada saat panen
tanaman pertama dan tujuh hari setelah panen tanaman pertama.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan vegetatif dan
pertumbuhan generatif, laju fotosintesis, serapan hara (N dan P) pada
tanaman pertama pada metode SRI lebih tinggi dibandingkan dengan
metode konvensional. Hasil gabah pada metode SRI lebih tinggi (sekitar
24.2%) dibandingkan dengan metode konvensional. Pertumbuhan vegetatif
dan pertumbuhan generatif, laju fotosintesis, serapan hara (N dan P) pada
tanaman ratun lebih tinggi pada sistem salibu dan metode SRI dibandingkan
dengan perlakuan lainnya. Hasil gabah pada sistem salibu dan metode SRI
lebih tinggi (sekitar 50.3% dari tanaman pertama) dibandingkan dengan
perlakuan lainnya. Kemampuan padi dalam menghasilkan ratun dipengaruhi
oleh kandungan karbohidrat total dan fitohormon seperti giberelin, kinetin,
dan auksin yang terdapat pada meristem interkalar. Kandungan fitohormon
yang ditemukan pada sistem salibu dan metode SRI lebih tinggi sehingga
produktivitas ratun meningkat dibandingkan dengan perlakuan lainnya,
namun kandungan karbohidrat total yang ditemukan lebih sedikit
dibandingkan dengan non-salibu.