dc.description.abstract | Pemanfaatan lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit merupakan
dampak dari meningkatnya kebutuhan perluasan areal kelapa sawit. Perkebunan
kelapa sawit di lahan gambut ini kemungkinan besar akan melepaskan GRK.
Emisi GRK yang paling dominan di lahan gambut adalah emisi CO2, CH4 dan
N2O. Emisi GRK terdiri atas respirasi autorof dan heterotrof. Respirasi autotrof
diasumsikan tidak berpengaruh pada pemanasan global, dan sebaliknya respirasi
heterotrof berdampak pada pemanasan global. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengidentifikasi karakteristik fisik dan kimia tanah pada lahan gambut dangkal
bagian rizosfer dan non rizosfer, mengevaluasi besaran emisi CO2, CH4 dan N2O
di rizosfer (respirasi akar dan dekomposisi) dan non rizosfer (dekomposisi) lahan
gambut yang digunakan untuk perkebunan kelapa sawit dan membandingkan
metode pengkuran emisi CO2 dengan menggunakan Gas Kromatografi dengan
EGM-4.
Lokasi penelitian terletak di Rasau Jaya Umum, Kecamatan Rasau Jaya,
Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat. Umur tanaman kelapa sawit 6
sampai 7 tahun. Emisi CO2, CH4 dan N2O yang diukur dari dua belas sungkup
tertutup dengan menggunakan alat Gas Kromatografi dan analisis gas inframerah
(EGM-4). Pengukuran sampel dilakukan satu bulan sekali. Pengambilan sampel
tanah untuk analisis sifat fisik dan kimia dilaksanakan bulan Juni dan September
2014. Pengukuran gas metode Gas Kromatografi dilakukan pada bulan Juni
sampai September 2014, sedangkan metode EGM-4 dilakukan dari bulan Januari
sampai Mei 2015.
Hasil penelitian menunjukkan karakteristik fisik dan kimia gambut pada
perkebunan kelapa sawit di lokasi penelitian tidak berbeda nyata (p > 0.05) antara
rizosfer dengan non rizosfer. Emisi CO2 dengan metode Gas Kromatografi di
rizosfer lebih kecil yaitu 0.12 g m-2 jam-1 dibandingkan non rizosfer sebesar 0.16 g
m-2 jam-1, tetapi tidak berbeda nyata (p > 0.05). Emisi CH4 dan N2O di rizosfer
masing-masing sebesar 0.00069 g m-2 jam-1 dan 0.00004 g m-2 jam-1, sedangkan di
non rizosfer masing-masing sebesar 0.00136 g m-2 jam-1 dan 0.00007 g m-2 jam-1,
berdasarkan uji t antara rizosfer dengan non rizosfer tidak berbeda nyata (p >
0.05). Emisi CO2 metode EGM-4 lebih tinggi di rizosfer dengan besaran
0.93 g m-2 jam-1 dan berbeda sangat nyata (p < 0.01) terhadap non rizosfer sebesar
0.44 g m-2 jam-1. Hal ini karena emisi CO2 yang dihasilkan dari respirasi akar dan
juga berasal dari mikrooganisme dan perakaran tanaman. Akar tanaman selain
menyumbangkan CO2 dari kegiatan respirasinya, juga mengeluarkan eksudat
berupa ion, enzim-enzim, karbohidrat serta asam amino yang dapat meningkatkan
aktivitas respirasi di rizosfer. Hasil pengukuran emisi CO2 menggunakan metode
Gas Kromatografi berbeda sangat nyata (p < 0.01) dengan metode EGM-4, baik di
rizosfer maupun non rizosfer. Rendahnya nilai emisi CO2 metode Gas
Kromatografi karena terjadinya peningkatan suhu dan tekanan. Peningkatan suhu
dan tekanan udara di dalam sungkup akan menyebabkan kebocoran atau difusi gas
di dalam tanah. Difusi gas di dalam tanah dapat menurunkan emisi CO2 di dalam
sungkup. Selain dari terjadinya proses difusi gas, kelemahan dari metode Gas
Kromatografi adalah terbentuknya uap air (H2O) di dalam sungkup akibat dari
peningkatan suhu yang dalam sungkup. Adanya uap air akan menurunkan emisi
CO2 di dalam sungkup. Penggunaan metode EGM-4 yang dilakukan secara
langsung dilapangan lebih disarankan dalam analisis sampel gas, karena dapat
mengurangi terjadinya kebocoran gas. | id |