Show simple item record

dc.contributor.advisorSoetarto, Endriatmo
dc.contributor.advisorAdiwibowo, Soeryo
dc.contributor.authorSaputra, Dony
dc.date.accessioned2014-12-12T02:11:28Z
dc.date.available2014-12-12T02:11:28Z
dc.date.issued2014
dc.identifier.urihttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/71306
dc.description.abstractKepentingan pembangunan sektor kehutanan sering kali berbenturan dengan kepentingan sektor pertambangan. Tanpa sinergi kebijakan maka pertarungan kepentingan sektor kehutanan dan pertambangan tidak bisa dihindari. Konflik penguasaan kawasan hutan yang terjadi antara Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) dengan wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Sorikmas Mining (SMM) merupakan salah satu contoh dari kurang sinerginya kebijakan antara kedua sektor tersebut. Peluso (2006) menegaskan bahwa kawasan hutan sejak lama sudah menjadi bahan pertikaian yang mendorong pada konflik penguasaan sumberdaya hutan oleh banyak pihak melalui tindakan fisik, ekonomi, politik dan sosial yang melibatkan negara, swasta dan masyarakat. Inisiatif dan pembentukan TNBG pada tahun 2004 diwarnai oleh beragam kepentingan dari para aktor yang menyebabkan terjadinya konflik tumpang tindih penguasaan kawasan hutan, karena memasukkan sebagian wilayah IUP PT SMM yang sudah beroperasi sejak tahun 1998 ke dalam kawasan taman nasional. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menjelaskan pertarungan kepentingan pertambangan dan konservasi dalam penguasaan kawasan hutan di Mandailing Natal Sumatera Utara dari perspektif ekologi politik. Dalam ekologi politik perubahan ekosistem kawasan hutan (lingkungan) bukan suatu proses yang netral tetapi memiliki sumber-sumber politik dan menyebabkan implikasi politik yang berujung pada ketimpang sosio-ekonomi dan politik (Bryant dan Bailey 1997). Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif melalui wawancara mendalam dengan sejumlah informan yang mencakup masyarakat lokal yaitu masyarakat Desa Roburan Dolok dan Desa Hulu Pungkut, pemerintah Kabupaten Mandailing Natal, pemerintah Provinsi Sumatera Utara, Kementerian Kehutanan RI serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang terdiri dari Conservation International – Indonesia (CI-I), Bitra Konsorsium, dan LSM lokal lainnya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penetapan TNBG tidak murni dilatarbelakangi oleh motif konservasi keanekaragaman hayati. Kepentingan utama dari pemerintah daerah Kabupaten Mandailing Natal yang sangat kuat mengusulkan pembentukan TNBG (2004) lebih pada motif ekonomi politik daripada konservasi. Kawasan yang diusulkan menjadi TNBG dengan memasukan wilayah IUP emas PT SMM dapat dilihat sebagai mekanisme untuk menyingkirkan konsesi pertambangan dari Kabupaten Mandailing Natal. Sikap pemerintah ini juga dilatarbelakangi oleh ketidakseimbangan alokasi pendapatan keuangan dari konsesi pertambangan PT SMM terhadap pemerintah pusat dan daerah. Hal ini dipicu oleh penolakan pemilik PT SMM atas keinginan pemerintah daerah untuk memiliki saham dalam konsesi pertambangan emas milik perusahaan tersebut dalam rangka kepentingan persiapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah Mandailing Natal pada tahun 2005. Sebagai tambahan, LSM Conservation Internasional-Indonesia dan LSM lokal, serta masyarakat lokal “memperkuat” proses penghapusan konsesi tambang ini. Selain itu konflik tumpang tindih kawasan telah mendorong terjadinya fenomena akses terbuka (open access) sehingga berkembangnya praktik penebangan dan pertambangan illegal. Temuan penelitian lainnya yaitu Mahkamah Agung yang membatalkan Keputusan Menteri Kehutanan yang menetapkan TNBG di Mandailing Natal pada tahun 2008 disepanjang kawasan yang bertumpang tindih dengan wilayah IUP dan mengembalikan hak penguasaan kawasan kepada PT SMM. Keputusan ini berimplikasi terhadap perubahan sikap politik pemerintah kabupaten yang semula mendukung TNBG menjadi mendukung pertambangan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa kontestasi penguasaan kawasan hutan di Mandailing Natal merupakan hasil pertemuan kepentingan konservasi yang diusung lembaga konservasi internasional dengan kepentingan ekonomi politik pemerintah daerah dan elit politik lokal dimana TNBG menjadi sarana untuk menghapus konsesi pertambangan di TNBG. Kontestasi ini berdampak pada perubahan teritori kawasan hutan dan menimbulkan regim akses terbuka di kawasan yang diperebutkan.en
dc.language.isoid
dc.subject.ddcSociologyen
dc.subject.ddcSocial conflicten
dc.subject.ddc2013en
dc.subject.ddcBogor-Jawa Baraten
dc.titlePertarungan Penguasaan Kawasan Hutan Mandailing Natal: Pertambangan versus Konservasien
dc.subject.keywordKonflik kepentinganen
dc.subject.keywordkonservasi hutanen
dc.subject.keywordpertambanganen
dc.subject.keywordTaman Nasional Batang Gadisen


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record