Show simple item record

dc.contributor.authorHandayaningrum, Sari Atur
dc.date.accessioned2010-05-19T02:39:18Z
dc.date.available2010-05-19T02:39:18Z
dc.date.issued1999
dc.identifier.urihttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/23035
dc.description.abstractUsahatani kentang dapat memberikan keuntungan yang cukup besar dan mempurlyai prospek yang cukup menjanjikan dalam pemasarannya, baik di dalam maupun luar negeri. Kentang juga mempunyai sifat fisik yang tidak mudah rusak dibandingkan dengan jenis sayuran lainnya dan merupakan sumber gizi yang baik di samping rasanya yang enak sehingga relatif disukai. Hal ini mendorong peningkatan kebutuhan kentang dari tahun ke tahun yang mencapai 30.000 ton pada tahun 1997. Sampai saat ini, usahatani kentang di Indonesia sebagian besar menggunakan bibit ken tang lokal yang berasal dari hasil panen musim tanam terdahulu dan bibit impor (kas) yang berasal dari Holland• atau Jerman dikarenakan produksi bibit unggul di dalam negeri masih rendah, yaitu 2.000 ton per tahun. Sampai saat ini produksi kentang Indonesia belum mencukupi kebutuhan, sehingga untuk memenuhi kebutuhan kentang di dalam negeri, pemerintah melakukan impor terutama untuk keperluan industri berbahan baku kentang. Indonesia mengimpor kentang dalam bentuk bibit kentang, kentang segar dan kentang beku. Di sisi lain, Indonesia juga mengekspor kentang yang didominasi oleh kentang sayur (bukan untuk bahan baku industri dan bukan dalam bentuk bib it). Dilatarbelakangi oleh hal tersebut, maka pemerintah memprioritaskan pengembangan komoditas kentang dengan mengusahakan kegiatan pembibitan kentang unggul yang bebas virus dan berkualitas baik di dalam negeri. Dalam pelaksanaannya melibatkan balai-balai penelitian yang ada. Namun, sampai saat ini produksi. bibit kentang unggul tersebutmasih belum mencukupi kebutuhan. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis kegiatan produksi dan sistem pemasaran bibit kentang unggul melalui jalur pemerintah, mengkaji struktur biaya, titik impas dan kemampuan memperoleh laba dari kegiatan pembibitan kentang pada tingkat petani penangkar, serta menganalisis tingkat pendapatan dan imbangan RIC petani pengguna bibit unggul, petani pengguna bibit impor (kas) dan petani pengguna bibit lokal. Dalam hal pembibitan kentang unggul, pemerintah memanfaatkan bantuan dari Jepang melalui Japan International Cooperation Agency (JICA) di bidang pertanian dalam bentuk transfer teknologi phytopathology untuk perbanyakan kentang. Adapun pihak-pihak yang terlibat adalah Balai Penelitian Tanaman Sayuran (BALITSA) - Lembang, Balai Benih Induk (BBI) Kentang dan Balai Benih Utama (BBU) Kentang di Pangalengan dan Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih (BPSB). BALITSA terpilih. sebagai titik awal baik dalam proses transfer teknologi, produksi maupun pemasaran (pendistribusian) bibit kentang unggul. BALITSA memproduksi stek batang tanaman kentang bebas virus (bibit kelas GO) sebanyak 20.000 stek per musim tanam yang diperoleh melalui teknik kultur jaringan dan perbanyakan di rumah kasa. Setelah itu, bibit didistribusikan ke BBI Kentang untuk diperbanyak di rumah kasa menjadi bibit kentang unggul kelas G1 dan kelas G2 (14.000 kilogram per musim tanam). Rantai selanjutnya adalah BBU Kentang yang memperbanyak bibit kentang kelas G2 menjadi bibit kelas G3 di lapangan sebanyak 12.000 kilogram per musim tanam. Petani penangkar terlatih memperbanyak 2.000 kilogram bibit kelas G3 di lapangan dan diperoleh bibit kelas G4 sebanyak 13.600 kilogram per hektar yang pada akhirnya ditanarn oleh petani kentang sebagai konsurnen akhir. Sementara BPSB bertugas mengawasi pelaksanaan perbanyakan kentang unggul di lapangan pada tiap tahap perbanyakan sampai dengan pemberian sertifikat (label) pada bibit kentang yang dihasilkan Mengingat produksinya yang masih terbatas, maka sa at ini masih diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan bibit di Jawa Barat. Melalui analisis marjin pemasaran dan rasio keuntungan terhadap biaya pemasaran yang dilakukan untuk melihat efisiensi pemasaran bibit kentang unggul melalui jalur pemerintah, diperoleh hasil bahwa sistem pemasaran yang ada belum efisien secara teknis (operasional). Hal ini ditunjukkan oleh penyebaran marjin pemasaran dan rasio yang tidak merata, dimana BBI Kentang memperoleh nilai tertinggi, yaitu Rp 2.075,00 per kilogram (62,88 persen dari marjin pemasaran total) demikian pula dengan nilai ratio K-B sebesar 54~ persen (79,47 persen dari nilai rasio K-B total). Sementara untuk kegiatan pembibitan kentang pada tingkat petani penangkar tergolong meng.untungkan dengan bibit kentang unggul sebagai produk utama dan kentang konsumsi sebagai produk sampingan. Hal ini ditunjukkan oleh hasil analisis titik impas, dimana nilai penjualan dan produksi nyata (masing-masing Rp 57.770.000,00 dan 19.250 kilogram per hektar) petani penangkar telah melampaui titik impasnya, baik titik impas penjualan (Rp 2.844.566,02 per hektar) maupun produksi (947,83 kilogram per hektar). Analisis kemampuan memperoleh laba juga menunjukkan hasil yang sama. Nilai fl4IR yang diperoleh adalah 34,58 persen yang berarti dari tiap pejualan Rp 100,00 tersedia Rp 34,58 untuk laba dan untuk menutupi biaya tetap. Sedangkan nilai MOS yang diperoleh adalah 95,08 persen yang berarti bila petani penangkar menurunkan kapasitas produksi dan penjualannya sampai 95,08 persen maka ia belum mengalami kerugian. Nilai profitabi/itas yang diperoleh adalah sebesar 32,88 persen, berarti dari setiap Rp 100,00 penjualan diperoleh laba sebesar Rp 32,88. Hal yang sama juga ditunjukkan melalui pendekatan nilai pendapatan dan RIC atas biaya total. Adanya faktor-faktor resiko membuat pihak swasta dengan skala besar merasa kurang tertarik untuk mengambilbagian dalam kegiatan produksi dan pemasaran bibit unggul, terutama di daerah penelitian. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah besarnya modal yang dibutuhkan, keterbatasan sumberdaya lahan dan produksi bibit sumber (parent stock). Oi lain pihak, peran pihak swasta diperlukan dalam pengembangan bibit kentang unggul terutama di luar Jawa. Hal ini dapat dilaksanakan melalui kerja sama dengan pihak pemerintah terutama dalam teknik pembudidayaan dan penyediaan parent stock loka!. Melalui analisis pendapatan dan imbangan RIC atas biaya total di tingkat petani kentang, diperoleh hasil bahwa petani pengguna bibit unggul mempunyai pendapatan dan nilai RIC yang lebih tinggi dari petani pengguna bibit impor maupun petani pengguna bibit lokal, masing-masing sebesar Rp 21.282.903,41 dan 2,322 per hektar. Nilai RIC atas biaya total tersebut menunjukkan, bahwa dari setiap Rp 1,00 biaya yang dikeluarkan akan diperoleh penerimaan sebesar Rp 2,322 dari usahatani kentangnya. Pengembangan pembibitan kentang unggul dan usahatani kentang sangat ditentukan oleh sumberdaya modal, pihak-pihak yang terlibat dan teknologi yang digunakan. Oalam hal modal, usaha pembibitan masih mengalami keterbatasan karena masih mengandalkan APBN, APBO dan bantuan luar negeri. Sedangkan dalam 'hal sumberdaya manusia, masih diperlukan peningkatan kesadaran dan tanggung jawab masing-masing pihak, bahwa peranannya sangat menentukan jatuh bangunnya pembibitan kentang unggul di dalam negeri. Perbaikan aplikasi pupuk dan obat-obatan di tingkat petani kentang juga dibutuhkan dengan memberdayakan petugas penyuluh lapang yang ada, sehingga dapat membantu meningkatkan produksi perluasan lahan petani.id
dc.publisherIPB (Bogor Agricultural University)
dc.titleAnalisis Produksi dan Pemasaran Bibit Kentang dan Analisis Pendapatan Usahatani Kentang, Studi Kasus di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Propinsi Jawa Baratid


Files in this item

Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record