Makna Hutan Bagi Masyarakat Adat: Studi Kasus Kesatuan Adat Banten Kidul, Kasepuhan Ciptagelar
dc.contributor.author | Rawayu, Siti Sri | |
dc.date.accessioned | 2010-05-18T07:03:22Z | |
dc.date.available | 2010-05-18T07:03:22Z | |
dc.date.issued | 2004 | |
dc.identifier.uri | http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/22783 | |
dc.description.abstract | Pranowo (1985) mengemukakan bahwa konflik yang terjadi antara pihak pengelola hutan dengan masyarakat sekitar seringkali disebabkan karena adanya perbedaan makna yang dimiliki oleh kedua belah pihak tentang sumberdaya hutan. Salah satu kasusnya terjadi di kawasan Gunung Halimun, dimana dengan ditetapkannya Gunung Halimun menjadi kawasan Taman Nasional telah mengundang konflik yang terselubung antara pihak Balai Taman Nasional Gunung Halimun dengan Masyarakat Kasepuhan Banten Kidul. Kehidupan masyarakat Kasepuhan sangat erat kaitannya dengan keberadaan hutan yang berada di sekitar mereka. Hal ini menunjukkan bahwa hutan memiliki makna bagi masyarakat Kasepuhan Banten Kidul. Berkaitan dengan pemaknaan, pokok pikiran Blumer mengenai interaksionis simbolis seperti yang dikutip dalam Kamanto (1993) mengungkapkan bahwa : (1) manusia bertindak (act) terhadap sesuatu (thing) atas dasar makna (meaning) yang dipunyai sesuatu tersebut baginya; (2) makna yang dipunyai sesuatu tersebut berasal atau muncul dari interaksi sosial antara manusia dengan sesamanya; (3) makna diubah melalui suatu proses penafsiran (interpretative process) yang digunakan orang dalam menghadapi sesuatu yang dijumpainya. | id |
dc.publisher | Bogor Agricultural University | |
dc.title | Makna Hutan Bagi Masyarakat Adat: Studi Kasus Kesatuan Adat Banten Kidul, Kasepuhan Ciptagelar | id |
dc.type | Thesis | id |