Show simple item record

dc.contributor.authorSolihin, Akhmad
dc.date.accessioned2010-05-16T20:29:07Z
dc.date.available2010-05-16T20:29:07Z
dc.date.issued2002
dc.identifier.urihttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/22047
dc.description.abstractKebijakan pembangunan perikanan Indonesia pada tahun sebelumnya dicirikan oleh : (1) doktrin milik bersama {common proper(y); (2) sentralistik dan (3) anti pluralisme hukum. Akibatnya, kebijakan tersebut mengalami kegagalan dalam membangun perikanan. Hal ini dicerminkan oleh rusaknya sumberdaya pesisir dan laut, kemiskinan masyarakat pesisir, konflik antar nelayan dan lain sebagainya. Sementara di era reformasi, adanya Undang-Undang No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah yang membuka partisipasi aktif masyarakat daerah dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari sejarah pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Gangga, Kabupaten Lombok Barat-NTB, menganalisis pembentukan awig-awig beserta pelaksanaan dan permasalahannya. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa masyarakat Kecamatan Gangga telah melakukan praktik pengelolaan sumberdaya perikanan yang berbasiskan kearifan lokal sejak dahulu kala, yaitu upacara adat sawen yang dilakukan oleh orang-orang Islam waktu /e/w. Upacara adat sawen tersebut berlaku hingga tahun 1965, menghilang dalam rentang waktu 1966-1999 yang disebabkan oleh perubahan pola pikir masyarakat dan situasi ekonomi-politik yang berkembang, sedangkan pada tahun 2000, upacara adat sawen kembali dilaksanakan, namun hanya sebatas menegakkan adat-istiadat suku sasak yang lelah lama hilang. Terbentuknya awig-awig sebagai aturan bersama secara tertulis dipengaruhi oleh munculnya konflik di masyarakat pesisir. Adapun konflik tersebut disebabkan oleh kondisi ekologi, demografi, lingkungan politik legal, proses distribusi pasar, mata pencaharian dan perubahan teknologi. Proses terantuknya melalui tahapan informal hingga formal. Pelaksanaan awig-awig mempunyai beberapa aturan, yaitu : (1) wilayah tangkapan sejauh 3 mil dari daratan hanya diperunlukan nelayan yang menggunakan alat tangkap tradisional (jala oras, jaring klitik), pancing, bubu dan rawe dasar kecil; (2) unit sosial pemegang hak bersifat individual (terbuka); (3) sumber legalitasnya adalah dari upacara adat sawen dan kesadaran masyarakat akan kerusakan sumberdaya perikanan oleh aktvitas pengeboman dan pemotasan; dan (4) pelaksanaan awig-awig ditegakkan secara tegas oleh Lembaga Musyawarah Nelayan Lombok Utara (LMNLU) yang mempunyai sanksi, pertama denda meteri maksimal Rp 10.000.000,00; kedua pembakaran alat tangkap dan ketiga pemukulan massa namun tidak sampai mati. Permasalahan yang terjadi pasca pelaksanaan awig-awig adalah konflik antar nelayan lokal yang menggunakan alat langkap berbeda dan konflik nelayan lokal dengan nelayan luar yang meggunakan bom dan potasium sianida untuk melakukan penangkapan ikan.id
dc.titleAnalisis awig-awig dalam pengelolaan sumber daya perikanan di Kecamatan Gangga, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Baratid


Files in this item

Thumbnail
Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record