Evaluasi Penyaluran Kredit Usaha Tani dalam Meningkatkan Pendapatan Usaha Tani (Studi Kasus Penyaluran KUT Di Kabupaten DT. IT Tasikmalaya - Jawa Barat)
Abstract
Pemerintah melalui Bank Indonesia, menyediakan KLBI untuk mendukung pelestarian swasembada pangan dan pengembangan koperasi, termasuk Kredit Usaha Tani (KUT) yang mulai diluncurkan awal Masa Tanam 1985 menggantikan kredit B imas adalah kredit modal kerj a bagi petani yang disalurkan melalui KUD dalam rangka intensifikasi padi, palawija dan hortikultura, membantu meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani, meningkatkan kemampuan dalam memanfaatkan teknologi baru, serta untuk meningkatkan peranan KUD dalam pelayanan kredit, sarana produksi bagi petani serta mendorong partisipasi aktif petani dan mendukung pengembangan KUD. Untuk memperoleh KUT, petani yang tergabung dalam kelompok tani menempuh beberapa prosedur, mulai dari penyusunan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok Tani (RDKK), hingga memperoleh dan mengembalikan kredit. Keberhasilan suatu kredit program tidak hanya terbatas pada perencanaan dan penyaluran kredit tersebut, tetapi juga menyangkut penyuluhan, pembinaan dan pengawasan, sampai pengembalian dan penyaluran kredit tersebut pada periode selanjutnya yang melibatkan lembagalinstansi seperti BRI dan Tenaga Teknis Administrasi-nya, Depkop PKM melalui KUD dan Petugas Konsultasi Lapang, Departemen Pertanian melalui PPL-nya, Badan Pengendali Bimas dari tingkat Pusat sampai Desa, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) serta kelompok tani dan petani sebagai penerima bantuan. Dalam penyaluran KUT, lembaga-lembaga di atas mempunyai fungsi dan tugas yang berlainan. Keberhasilan program pemberian KUT ini sangat ditentukan oleh pelaksanaannya di lapangan. Penelitian ini mengevaluasi sejauhmana keberhasilan program KUT di Kabupaten DT.II Tasikmalaya, serta melihat faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan program KUT, sejauhmana lembaga di atas melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai Petunjuk Pelaksanaan KUT, kendala-kendala yang dihadapi, serta sejauhmana dengan bantuan KUT ini pendapatan petani dapat ditingkatkan. Dari hasH penelitian di lapangan, daya serap petani terhadap kredit ini di Kabupaten DT. II Tasikmalaya masih rendah yaitu rata-rata sekitar 0,82 persen dari seluruh petani per masa tanam atau sekitar 2,2 persen dari luas pertanian di Kabupaten DT.II Tasikmalaya. Padahal pemberian kredit ini bermanfaat bagi peningkatan produksi pertanian dan peningkatan pendapatan usahatani. Dari perhitungan pendapatan usahatani responden, diketahui bahwa dengan pemberian KUT, petani dengan luas lahan garapan kurang dari 0,5 Ha, produksinya dapat meningakat sebesar 1,9 ton fHa, petani dengan luas garapan 0,5 - 1 Ha mengalami peningkatan sebesar 1,45 tonIHa, dan petani dengan luas lahan garapan antara 1 - 2 Ha produksinya meningkat sebesar 1,5 tonIHa. Selain itu, pendapatan usahatani dipengaruhi juga oleh status kepemilikan lahan. Sebagai contoh pendapatan usahatani per hektar para petani penggarap dengan bagi hasil dapat ditingkatkan sebesar Rp 2.073.190,-, petani pemilik penggarap meningkat sebesar Rp 3.078.490,- dan petani pemilik penggarap yang sekaligus bagi hasil meningkat sebesar Rp 1.847.595,-. Produksi yang diperoleh berhubungan dengan sarana produksi yang digunakan. Dalam penelitian ini digunakan model fungsi produksi Cobb-Douglas. Dari perbandingan model Cobb-Douglas antara sebelum memperoleh KUT dengan setelah memperoleh KUT, dengan adanya perubahan penggunaan sarana produksi, ber-pengaruh terhadap perubahan produksi. Misalnya benih, dengan pemakaian mendekati anjuran mengakibatkan peningkatan produksi, tetapi urea, SP 36, KCI, ZA dan pupuk altematif justru mengakibatkan penurunan hasil. lni menunjukkan bahwa paket teknologi pemupukan yang dianjurkan tidak dapat berlaku secara umum di seluruh wilayah, karena hal ini berkaitan dengan faktor alam dan kesuburan tanah yang berbeda-beda untuk wilayah yang berbeda. Selain pupuk, biaya garap dan pengolahan hasil (BGPH) di masing-masing daerah juga berbeda-beda tergantung standar upah, penawaran dan permintaan tenaga kerja, dan jenis lahan yang digarap. Biaya garap yang disediaan dalam paket kebutuhan indikatif tidak memenuhi kebutuhan biaya garap para petani. Untuk Kabupaten DT. II Tasikmalaya biaya garap, penyemprotan dan pengolahan hasil sebelum MT. 1998 adalah sebesar Rp 895.0001Ha dan untuk MT. 1998 dan MT. 199811999 pada saat upah naik sebesar ± 40 persen, biaya garap adalah sebesar Rp 1.457.500/ Ha. Berdasarkan tangapan dari lembaga/pihak lain yang terlibat dalam penyaluran KUT, dapat dilihat bahwa kelompok tani sebagai wadah untuk mentransfer teknologi kepada petani pada umumnya sudah dinilai baik oleh responden yang terkait, namun masih terdapat kekurangan yaitu dalam hal penyeleksian calon peserta KUT, penyususn RDKK serta pengelolaan simpan pinjam anggota. KUD dinilai baik hanya dalam hal penandatanganan akad kredit dan menerima serta menyalurkan KUT pada petani melalui kelompok tani, selebihnya masih dinilai kurang yaitu dalam penyeleksian peserta KUT, pengawasan penggunaan dan penagihan KUT, pembinaan kepada petanilkelompok tani, juga penyediaan dan penyaluran sarana produksi. Begitu juga dengan Petugas Konsultasi Lapang (PKL) yang masih dinilai kurang dalam melakukan pengarahan dan pembinaan kepada koperasi. Sementara PPL, BRI, TT A, Pemerintah Daerah dan Organisasi Bimas pada umumnya sudah dinilai baik oleh responden lainnya. Namun demikian masih saja terdapat kekurangan dari lembaga tersebut. PPL masih dinilai kurang dalam penyampaian teknologi tepat guna dan membina penerapannya pada petanilkelompok tani secara menyeluruh, juga masih kurang dapat merencanakan usahatani intensifikasi sesuai dengan kondisi setempat. Pihak bank dan TT A masih dinilai kurang dalam memberikan bimbingan administrasi keuangan dan penatausahaan KUT kepada KUD dan para petani/ kelompok tani. Sedangkan Organisasi Bimas yang merupakan lembaga koordinasi belum berfungsi secara optimal sehingga kadang teIjadi kesimpangsiuran dalam pengambilan kebijakan dari instansi terkait di tingkat kabupaten. Kendala-kendala yang dihadapi pihak-pihak di atas pada intinya adalah masalah Sumber Daya Manusia, baik kualitas maupun kuantitasnya. Rendahnya kualitas SDM para petanilkelompok tani sangat menyulitkan proses transfer teknologi pertanian, dan terbatasnya jumlah para petugas mengakibatkan penyampaian informasi dan teknologi menjadi terhambat dan tidak dapat menjangkau seluruh petanilkelompok tani. Dari uraian-uraian di atas, penulis mengajukan saran-saran seperti (1) Perlu adanya penelitian lanjut mengenai kebutuhan dosis pupuk di Kabupaten DT. II Tasikmalaya, sehingga produksi dapat ditingkatkan secara maksimal. (2) Dalam penentuan Paket Indikatif KUT diharapkan memperhatikan kebutuhan biaya petani yang berbeda untuk daerah yang berbeda (3) Adanya peningkatan kualitas SDM petani, kelompok tani, petugas KUD, PPL, PKL, maupun TTA, melalui pelatihan-pelatihan yang diadakan oleh instansi terkait di atasnya. (4) Meningkatkan peranan ke\ompok tani agar transfer dan penerapan teknologi dapat diterima oleh seluruh petani sehingga pencapaian tujuan KUT dan intensifikasi dapat tercapai. (5) Perbaikan kinerja dari lembaga-Iembaga yang terlibat dalam penyaluran KUT di atas.