Pemodelan Manajemen Risiko Bencana Tanah Longsor di Kabupaten Tana Toraja
Date
2025Author
Patandung, Tania
Yovi, Efi Yuliati
Tjahjono, Boedi
Purwandaya, Budhi
Metadata
Show full item recordAbstract
Tingginya frekuensi kejadian longsor di Kabupaten Tana Toraja memerlukan pengelolaan lingkungan yang tepat dan komprehensif sebagai upaya mitigasi serta meningkatkan dan memastikan keselamatan masyarakat, kelestarian lingkungan, serta pembangunan yang sesuai dengan tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan Kajian Risiko Bencana Kabupaten Tana Toraja Tahun 2024 menunjukkan bahwa Kabupaten Tana Toraja masuk dalam zona kerawanan tinggi, sehingga perlu dilakukan kajian dan pemetaan risiko longsor beserta rumusan penanganan mitigasinya. Tujuan penelitian ini berfokus pada pengkajian risiko bencana longsor dan kaitannya dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tana Toraja Tahun 2011-2031 menggunakan pendekatan Sistem Informasi Geografis (SIG) dan menyusun strategi rekomendasi manajemen risiko melalui Dinamika Sistem.
Penelitian ini menggunakan pendekatan Sistem Informasi Geografis (SIG) dimana penilaian risiko bencana longsor dilakukan melalui pemetaan bahaya dan kerentanan. Pemetaan bahaya longsor dilakukan dengan metode Weight of Evidence (WoE) dan pemetaan kerentanan longsor menggunakan Multi-Criteria Analysis (MCA). Evaluasi keselarasan pola ruang dengan risiko longsor dilakukan dengan metode overlay, dan pemodelan manajemen risiko disusun menggunakan pendekatan Dinamika Sistem untuk mensimulasikan 3 skenario strategi pengurangan risiko longsor.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat bahaya longsor di Kabupaten Tana Toraja didominasi oleh tingkat bahaya sedang yaitu sebesar 41,76% (84.472 ha) dari total luas wilayah kabupaten, sementara itu tingkat kerentanan longsor juga didominasi oleh tingkat kerentanan sedang sebesar 51,50% (105.126 ha). Kombinasi antara data bahaya dan kerentanan selanjutnya digunakan untuk menilai tingkat risiko bencana longsor di Kabupaten Tana Toraja. Hasil analisis risiko menunjukkan bahwa tingkat risiko didominasi oleh tingkat risiko sedang yaitu sebesar 42,67% (86.285 ha) dari total luas wilayah kabupaten. Kondisi seperti ini memerlukan penanganan risiko yang bertujuan untuk mengurangi potensi dampak ketika terjadi longsor di waktu yang akan datang. Peta risiko selanjutnya di-overlay-kan dengan peta pola ruang RTRW Kabupaten Tana Toraja Tahun 2011–2031 dan didapatkan bahwa di kabupaten ini banyak alokasi ruang yang berada pada zona risiko tinggi yaitu sebesar 42,31% (47.431 ha). Hal ini menyiratkan bahwa RTRW yang berlaku tampak belum sepenuhnya mempertimbangkan kajian risiko bencana. Temuan ini menjadi dasar penyusunan model strategi pengurangan dampak bencana longsor atau manajemen risiko bencana.
Dari hasil pemodelan dinamika sistem didapatkan bahwa pada tahap tanpa adanya intervensi mitigasi, potensi kerugian akibat tanah longsor hingga tahun 2031 diproyeksikan mencapai Rp 932, 52 miliar, yang terdiri atas kerusakan 40.608 unit rumah di zona rawan longsor, serta kehilangan lahan produktif seluas 92.462 ha dengan estimasi kerugian mencapai Rp 2,27 triliun. Tingginya kemungkinan kerugian dan kerusakan lahan akibat kejadian longsor ini selanjutnya dijadikan dasar menyusun pemodelan manajemen risiko melalui beberapa skenario. Skenario 1disusun untuk mengurangi kerusakan dan kerugian rumah akibat longsor. Hasilnya menunjukkan bahwa skenario 1 mampu mengurangi jumlah rumah rusak sebanyak sebanyak 1.186 unit atau memberikan dampak langsung terhadap penurunan nilai kerugian rumah akibat longsor sebesar Rp 4,84 miliar di tahun 2031. Sementara itu skenario 2 disusun untuk mengurangi kerusakan lahan produktif dan kerugian yang ditimbulkan. Dalam skenario 2 ini didapatkan bahwa luas kerusakan lahan produktif dapat diturunkan sebesar 5.295,8 ha atau mengurangi kerugian kerusakan lahan produktif sebesar 95,12 miliar di tahun 2031. Kombinasi atau integrasi skenario 1 dan 2 menghasilkan skenario 3 yang disusun sebagai pendekatan terpadu yang diharapkan mampu memberikan kinerja terbaik dalam upaya penyusunan strategi pengurangan risiko bencana longsor. Dari hasil integrasi ini diperoleh penurunan kerugian hingga Rp 99,96 miliar yaitu dari 3,01 triliun (pada kondisi Business As Usual) menjadi 2,91 triliun. Hal ini menunjukkan bahwa untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang tangguh bencana memerlukan pendekatan holistik yang melibatkan koordinasi dan kerjasama multipihak baik pemerintah, masyarakat, ataupun lembaga eksternal dari pemerintahan. The high frequency of landslide occurrences in Tana Toraja Regency requires appropriate and comprehensive environmental management in mitigation efforts to enhance and ensure public safety, environmental conservation, and development aligned with the Sustainable Development Goals (SDGs). Data from the Regional Disaster Management Agency (BPBD) and the 2024 Disaster Risk Assessment of Tana Toraja Regency indicate that Tana Toraja Regency falls within a high-vulnerability zone, necessitating landslide risk assessment and mapping along with the formulation of mitigation strategies. This research focuses on assessing landslide disaster risk and its relationship with the Spatial Plan of Tana Toraja Regency 2011-2031 using a Geographic Information System (GIS) approach and developing risk management strategy recommendations through System Dynamics.
This research employed a Geographic Information System (GIS) approach, where we conducted landslide disaster risk assessment through hazard and vulnerability mapping. We performed landslide hazard mapping using the Weight of Evidence (WoE) method, and utilised Multi-Criteria Analysis (MCA) for landslide vulnerability mapping. We evaluated spatial pattern alignment with landslide risk using overlay methods, and developed risk management modelling using a System Dynamics approach to simulate three scenarios for landslide risk reduction strategies.
The research findings indicate that the moderate landslide hazard level dominates Tana Toraja Regency at 41.76% (84,472 ha) of the total regency area, while moderate levels also dominate landslide vulnerability at 51.50% (105,126 ha). We subsequently used the combination of hazard and vulnerability data to assess the landslide disaster risk level in Tana Toraja Regency. Results show that moderate risk dominates risk levels at 42.67% (86,285 ha) of the total regency area. Such conditions require risk management aimed at reducing potential impacts when landslides occur in the future. We subsequently overlaid the risk map with the spatial allocation map of the Tana Toraja Regency Spatial Plan 2011-2031, revealing that many spatial allocations in this regency are located in high-risk zones, totalling 47,431 ha (42.31%). This implies that the current spatial plan has not fully considered disaster risk assessments. This finding formed the basis for developing landslide disaster impact reduction strategies or disaster risk management models.
System dynamics modelling results indicate that without mitigation intervention, landslides by 2031 would potentially cause losses reaching IDR 932.52 billion, which comprises damage to 40,608 housing units in landslide-prone zones, as well as loss of productive land covering 92,462 ha with estimated losses reaching IDR 2.27 trillion. The high probability of losses and land damage from landslide events subsequently served as the basis for developing risk management models through several scenarios. We designed Scenario 1 to reduce housing damage and losses from landslides. Results show that Scenario 1 can reduce damaged housing units by 1,186 units or provide a direct impact on reducing housing losses from landslides by IDR 4.84 billion in 2031. Meanwhile, we formulated Scenario 2 to reduce productive land damage and associated losses. In Scenario 2, we could reduce productive land damage by 5,295.8 ha or decrease productive land damage losses by IDR 95.12 billion in 2031. The combination or integration of Scenarios 1 and 2 produces Scenario 3, which we formulated as an integrated approach expected to deliver optimal performance in developing landslide disaster risk reduction strategies. From this integration, we achieved a loss reduction of up to IDR 99.96 billion, from IDR 3.01 trillion (Business As Usual) to IDR 2.91 trillion. This demonstrates that achieving disaster-resilient sustainable development requires a holistic approach involving coordination and multi-stakeholder collaboration among government, communities, and external governmental institutions.
