PERAN GENDER DALAM DIGITALISASI PENGELOLAAN HUTAN DESA DI KECAMATAN KUALA INDRAGIRI
Abstract
Digitalisasi pengelolaan Hutan Desa di Kecamatan Kuala Indragiri berkembang dalam lanskap sosial masyarakat pesisir yang masih menempatkan peran gender secara hierarkis. Penggunaan aplikasi seperti Avenza Maps, KoboToolbox, dan WhatsApp membuka peluang modernisasi tata kelola hutan, tetapi sekaligus menghasilkan tantangan baru berupa ketimpangan digital antara laki-laki dan perempuan. Norma sosial yang menempatkan teknologi sebagai ranah laki-laki, keterbatasan literasi digital perempuan, dan tidak meratanya pelatihan membuat perempuan berada pada posisi yang kurang menguntungkan.
Penelitian ini berupaya merumuskan pemahaman substantif mengenai bagaimana digitalisasi memengaruhi peran gender dalam pengelolaan Hutan Desa serta bagaimana kesenjangan digital berdampak pada akses, partisipasi, dan proses pengambilan keputusan di Lembaga Pengelola Hutan Desa Desa (LPHD) / Village Forest Management Institution (VFMI). Kerangka teorinya memadukan konsep Digital Divide, Gender Digital Divide, sosiologi digital, serta analisis relasi kuasa dalam institusi lokal. Pendekatan yang digunakan adalah mixed methods, melibatkan survei kuantitatif 34 responden anggota LPHD, wawancara mendalam terhadap pengurus inti, tokoh perempuan, perangkat desa dan lurah, pendamping NGO, serta observasi partisipatif selama proses patroli, pemetaan, dan pendataan hasil hutan bukan kayu di dua lokasi yaitu Kelurahan Sapat dan Desa Sungai Piyai.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketimpangan digital berbasis gender terjadi hampir di seluruh dimensi akses. Uji T dan ANOVA menunjukkan perbedaan signifikan pada Motivational Access, Material Access, Skill Access, Usage Access, Connectivity, Content Access, partisipasi digital kelembagaan, dan keterlibatan dalam program digital. Laki-laki lebih dominan dalam penggunaan aplikasi teknis seperti Avenza Maps untuk patroli dan pemetaan temuan. Perempuan lebih terkonsentrasi pada kegiatan administratif dan pendataan melalui KoboToolbox dan WhatsApp. Ketimpangan ini semakin diperkuat oleh norma domestik, keterbatasan perangkat, dan berkurangnya kesempatan mengikuti pelatihan.
Analisis korelasi memperlihatkan bahwa semakin besar ketimpangan digital secara umum, semakin besar pula kesenjangan digital berbasis gender. Kesenjangan digital juga memiliki hubungan negatif dengan tingkat partisipasi perempuan dalam LPHD sehingga akses digital yang tidak setara berimplikasi langsung pada minimnya ruang perempuan dalam proses pengambilan keputusan. Selain itu, penelitian menemukan variasi antar desa. Kelurahan Sapat menunjukkan inklusi perempuan yang lebih tinggi dibandingkan Desa Sungai Piyai, menandakan bahwa perbedaan konteks sosial lokal dapat berkaitan dengan bagaimana digitalisasi diterima dan dimanfaatkan.
Meskipun demikian terdapat indikasi transformasi sosial. Perempuan muda dengan pendidikan lebih tinggi menunjukkan adaptasi digital yang lebih efisien, terutama dalam pengelolaan data digital. Ruang ini menjadi arena resistensi terhadap norma patriarkis yang membatasi peran perempuan. Temuan penting dari penelitian ini adalah lahirnya konsep Modal Digital Gender, yaitu bentuk modal sosial baru yang bersumber dari kemampuan, akses, dan legitimasi penggunaan teknologi digital dalam lembaga pengelolaan hutan. Modal ini menggambarkan bagaimana penguasaan keterampilan digital, kepemilikan perangkat, serta keterhubungan dalam jaringan komunikasi daring menjadi sumber daya simbolik yang menentukan posisi sosial dan daya tawar individu dalam struktur LPHD.
Secara keseluruhan, digitalisasi menawarkan peluang untuk memperkuat tata kelola hutan desa. Tetapi tanpa regulasi inklusif seperti SOP penggunaan aplikasi, aplikasi yang mempertimbangkan gender, kebijakan pelatihan yang merata, dan reformasi kelembagaan yang sensitif gender, digitalisasi justru berisiko mereproduksi ketimpangan lama. Integrasi perspektif gender menjadi kunci agar digitalisasi benar-benar menghasilkan tata kelola hutan yang berkeadilan dan berkelanjutan The digitalization of Village Forest Management in Kuala Indragiri is unfolding within a coastal social landscape that continues to position gender roles hierarchically. The adoption of applications such as Avenza Maps, KoboToolbox, and WhatsApp has introduced opportunities for modernizing forest governance, yet it simultaneously generates new challenges in the form of gender-based digital inequalities. Social norms that construct technology as a male domain, combined with women’s limited digital literacy and unequal access to training, place women in a more disadvantaged position within the digital transition.
This study aims to develop a substantive understanding of how digitalization reshapes gender roles in Village Forest Management and how gendered digital inequalities affect access, participation, and decision-making within the Village Forest Management Institution (VFMI). The theoretical framework integrates the concepts of the Digital Divide, the Gender Digital Divide, digital sociology, and power relations in local institutions. A mixed-methods approach was employed, comprising a quantitative survey involving 34 VFMI members, in-depth interviews with core committee members, women leaders, village officials, NGO facilitators, and participatory observation during patrol activities, mapping, and the documentation of non-timber forest products in two locations: Kelurahan Sapat and Desa Sungai Piyai.
The findings indicate that gender-based digital inequality occurs across nearly all dimensions of digital access. T-tests and ANOVA reveal significant differences in Motivational Access, Material Access, Skill Access, Usage Access, Connectivity, Content Access, digital institutional participation, and engagement in digital programs. Men dominate the use of technical applications such as Avenza Maps for patrols and spatial reporting, while women are primarily involved in administrative and data-entry tasks through KoboToolbox and WhatsApp. These gaps are reinforced by domestic norms, limited device ownership, and restricted opportunities to participate in trainings.
Correlation analysis further demonstrates that broader digital inequalities are strongly associated with gendered digital disparities. Digital inequality shows a negative relationship with women’s participation in VFMI, indicating that uneven digital access directly constrains women’s involvement in decision-making processes. Village-level variations were also observed. Kelurahan Sapat exhibits higher levels of women’s inclusion compared to Desa Sungai Piyai, suggesting that social and institutional contexts shape how digitalization is received and utilized.
Despite these challenges, the study identifies signs of emerging social transformation. Younger women with higher education demonstrate stronger adaptive capacity to digital tools, particularly in digital data management. This space becomes a site of subtle resistance to patriarchal norms that limit women’s roles. A key theoretical contribution of this research is the formulation of the concept of Gendered Digital Capital, a new form of social capital derived from digital skills, access to devices, and legitimacy in using digital technologies within forest management institutions. Gendered Digital Capital illustrates how digital competence, device ownership, and participation in online communication networks become symbolic resources that shape individuals’ social positioning and bargaining power within the VFMI structure.
Overall, digitalization offers substantial opportunities to strengthen village forest governance. However, without inclusive regulations such as gender-responsive Standard Operating Procedures (SOPs), equitable training policies, and institutional reforms that address gender inequalities, digitalization risks reproducing existing structural disparities. Integrating a gender perspective is therefore essential to ensure that digitalization contributes to just and sustainable forest governance.
Collections
- MT - Human Ecology [2394]
