Peran Keluarga pada Fenomena Perkawinan Anak di Pedesaan (Kasus Desa Kertajaya, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor)

Abstract

Perkawinan sebelum usia 18 tahun dipandang sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang membahayakan kesejahteraan anak, sehingga melalui berbagai konvensi internasional dan agenda SDGs berupaya menghapus praktik perkawinan anak sebelum tahun 2030. Saat ini, praktik perkawinan anak masih menjadi tantangan besar di Indonesia, terutama di daerah pedesaan. Perkawinan dianggap sakral dan sah jika memenuhi syarat hukum di Indonesia namun faktor ekonomi, rendahnya pendidikan, tekanan budaya dan agama sering menjadi pendorong praktik perkawinan anak. Penelitian ini menginvestigasi praktik perkawinan anak perempuan di Kabupaten Bogor dengan menggunakan pendekatan teori strukturasi. Penelitian ini bertujuan untuk 1) menganalisis dimensi struktur level keluarga pada kejadian perkawinan anak perempuan pada Komunitas Aspek dan Komunitas Dospek; 2) menganalisis agensi anak perempuan berperan dalam perkawinan anak pada Komunitas Aspek dan Komunitas Dospek; dan 3) menganalisis dampak perkawinan anak bagi perempuan pada Komunitas Aspek dan Komunitas Dospek. Penelitian ini menggunakan paradigma post-positivistik dan teori strukturasi Giddens untuk mengkaji hubungan tindakan individu dan struktur sosial. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif didukung kualitatif melalui wawancara dan observasi. Sampel yang digunakan sebanyak 90 perempuan yang menikah di bawah usia 19 tahun dalam waktu 10 tahun terakhir, dipilih secara purposive sampling. Data yang diperoleh dianalisis secara statistik dan disajikan dalam tabel serta diagram melalui analisis deskriptif statistik. Penelitian dilakukan di Desa Kertajaya, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor yang berlangsung dari Agustus 2024 hingga Oktober 2025. Dualitas struktur menunjukkan keluarga berperan sebagai agen dan struktur yang memiliki kemampuan untuk merespons fenomena perkawinan anak. Terdapat dua kelompok masyarakat dengan karakteristik yang berbeda di Desa Kertajaya. Kelompok pertama adalah komunitas “doyan speaker” (Dospek) yang lebih terbuka terhadap perkembangan teknologi dan memiliki pandangan lebih longgar terkait praktik perkawinan anak. Struktur sosial pada komunitas tersebut lebih terbuka dalam memberikan peluang bagi individu untuk menegosiasikan keputusan perkawinan secara mandiri. Sementara itu, kelompok kedua adalah komunitas “anti speaker” (Aspek) yang bersifat lebih konservatif, menolak penggunaan perangkat elektronik, serta cenderung mempertahankan praktik perkawinan anak karena pengaruh norma tradisional yang masih kuat. Peran keluarga pada perkawinan anak dapat ditinjau melalui tiga dimensi struktur yakni signifikansi, dominasi, dan legitimasi. Perkawinan anak bagi Komunitas Aspek dimaknai sebagai wujud ketaatan terhadap nilai budaya dan agama dengan struktur keluarga yang patriarkal serta keputusan yang terpusat pada ayah. Sementara itu, bagi Komunitas Dospek, praktik ini lebih dipahami sebagai strategi ekonomi untuk meringankan beban keluarga, dengan pola relasi yang lebih terbuka sehingga terdapat ruang negosiasi bagi ibu maupun anak pada keputusan perkawinan. Kedua komunitas tersebut pada umumnya melangsungkan perkawinan anak pada tahap awal melalui mekanisme kawin siri yang dianggap sah secara agama meskipun melanggar hukum negara. Meskipun demikian, Komunitas Dospek menunjukkan kecenderungan menuju pola keluarga yang lebih egaliter terhadap perubahan sosial. Perempuan pelaku kawin anak menunjukkan agensi melalui tiga bentuk kesadaran yakni kesadaran diskursif, praktis, dan kognitif yang berkembang sesuai pada masing-masing komunitas. Agensi perempuan pada Komunitas Aspek bersifat adaptif karena kuatnya norma budaya dan agama yang menempatkan perempuan pada peran domestik. Kesadaran perempuan tersebut terbentuk dari pandangan perkawinan anak sebagai sesuatu hal yang wajar, sehingga mereka menyesuaikan diri sebagai istri dan ibu tanpa ruang negosiasi berarti. Sebaliknya, struktur sosial di Komunitas Dospek yang lebih terbuka sehingga memungkinkan munculnya kesadaran reflektif agen. Perempuan pada komunitas ini mulai menegosiasikan peran melalui praktik pengasuhan anak dan membangun kesadaran baru dalam keluarga sehingga berpotensi memutus siklus perkawinan anak pada generasi berikutnya. Perempuan di Komunitas Aspek merupakan kelompok yang paling rentan terhadap dampak perkawinan anak. Norma religius dan budaya yang lebih ketat membatasi ruang gerak sosial, menekankan motivasi untuk melanjutkan pendidikan, serta memperkuat ketergantungan ekonomi perempuan pada suami. Selain itu, tekanan domestik dan minimnya dukungan sosial membuat kesehatan fisik dan mental perempuan di komunitas ini lebih rentan dibandingkan perempuan di Komunitas Dospek. Selain itu, Komunitas Dospek memiliki akses informasi dan teknologi yang lebih baik dibandingkan Komunitas Aspek bahkan sebagian perempuan berperan dalam ekonomi keluarga melalui pekerjaan informal. Keleluasaan Komunitas Dospek tidak serta merta menunjukkan peningkatan ekonomi dalam keluarga karena ditemukan pasangan muda dari komunitas ini masih bergantung pada dukungan orang tua. Oleh karena itu, kondisi keluarga kedua komunitas tersebut menunjukkan pengekangan agensi perempuan pelaku kawin anak sehingga dampak perkawinan anak memperkuat posisi subordinat perempuan pada relasi sosial, pendidikan, ekonomi, dan kesehatan di dalam keluarga maupun komunitas. Perkawinan anak masih marak terjadi meskipun batas usia minimal telah dinaikkan menjadi 19 tahun. Kondisi ini menuntut pengawasan yang lebih ketat, koordinasi antarlembaga yang efektif, serta penegakan hukum terhadap pihak-pihak yang terlibat. Upaya pencegahan perlu disesuaikan dengan karakteristik komunitas. Pada Komunitas Aspek dapat dilakukan melalui kolaborasi dengan tokoh agama, sedangkan pada Komunitas Dospek melalui edukasi digital dan kampanye sosial. Keluarga juga berperan penting dengan mendorong kelanjutan pendidikan anak, membangun dialog yang setara, serta mengikis nilai-nilai patriarki agar perempuan lebih berdaya. Penelitian selanjutnya disarankan untuk menelaah peran lembaga eksternal serta melibatkan laki-laki guna memahami secara lebih komprehensif dinamika kuasa dan relasi gender dalam praktik perkawinan anak.

Marriage before the age of 18 is considered a violation of human rights that endangers the welfare of children, so various international conventions and the SDGs agenda seek to eliminate the practice of child marriage by 2030. Currently, child marriage remains a major challenge in Indonesia, especially in rural areas.. Marriage is considered sacred and legal if it meets the legal requirements in Indonesia, but economic factors, low education levels, and cultural and religious pressures often drive the practice of child marriage. This study investigates the practice of child marriage among girls in Bogor Regency using a structuration theory approach. This study aims to 1) analyse the family level structural dimensions of child marriage among girls in the Aspek and Dospek communities; 2) analyse the agency of girls in child marriage in the Aspek and Dospek communities; and 3) analyse the impact of child marriage on girls in the Aspek and Dospek communities. This study uses a post-positivistic paradigm and Giddens' structuration theory to examine the relationship between individual actions and social structures. This study uses a quantitative approach supported by qualitative methods through interviews and observations. A sample of 90 women who married under the age of 19 in the last 10 years was selected using purposive sampling. The data obtained were analysed statistically and presented in tables and diagrams through descriptive statistical analysis. The research was conducted in Kertajaya Village, Rumpin Subdistrict, Bogor Regency, from August 2024 to October 2025. The duality of structure shows that families act as both agents and structures that have the ability to respond to the phenomenon of child marriage. There are two groups of people with different characteristics in Kertajaya Village. The first group is ‘Doyan Speaker’ (Dospek), which is more open to technological developments and has a more relaxed view of child marriage practices. The more open social structure in this community provides opportunities for individuals to negotiate marriage decisions more independently. Meanwhile, the second group is the “anti-speaker” community (Aspek), which is more conservative, rejects the use of electronic devices, and tends to maintain the practice of child marriage due to the strong influence of traditional norms. The role of the family in child marriage can be examined through three structural dimensions, namely significance, dominance, and legitimacy. For the Aspek Community, child marriage is interpreted as an expression of obedience to cultural and religious values within a patriarchal family structure, with decisions centred on the father. Meanwhile, for the Dospek Community, this practice is understood more as an economic strategy to ease the burden on the family, with a more open relationship pattern that allows room for negotiation for both the mother and child in marriage decisions. Both communities generally conduct child marriages at an early stage through the mechanism of unregistered marriages, which are considered religiously valid even though they violate state law. Nevertheless, the Dospek community shows a tendency towards a more egalitarian family pattern in response to social change. Women who engage in child marriage demonstrate agency through three forms of awareness, namely discursive, practical, and cognitive awareness, which develop according to each community. Women's agency in the Aspek Community is adaptive due to strong cultural and religious norms that place women in domestic roles. This awareness is shaped by the view that child marriage is normal, so women adjust themselves to being wives and mothers without any meaningful room for negotiation. In contrast, the social structure in the Dospek Community is more open, allowing for the emergence of reflective agency awareness. Women in this community begin to negotiate their roles through child-rearing practices and build new awareness within the family, thereby potentially breaking the cycle of child marriage in the next generation. Women in the Aspek Community are the group most vulnerable to the effects of child marriage. Stricter religious and cultural norms limit social mobility, emphasise the motivation to continue education, and reinforce women's economic dependence on their husbands. In addition, domestic pressure and a lack of social support make the physical and mental health of women in this community more vulnerable than women in the Dospek Community. Furthermore, the Dospek Community has better access to information and technology than the Aspek Community, and some women even play a role in the family economy through informal work. The freedom enjoyed by the Dospek Community does not necessarily indicate an improvement in the family's economic situation, as it was found that young couples from this community still depend on parental support. Therefore, the family conditions of both communities show that the agency of women who are victims of child marriage is restricted, so that the impact of child marriage reinforces the subordinate position of women in social, educational, economic and health relations within the family and community. Child marriage is still prevalent despite the minimum age limit being raised to 19 years. This situation calls for stricter supervision, effective inter-agency coordination, and law enforcement against those involved. Prevention efforts need to be tailored to the characteristics of the community. In the Aspek Community, this can be done through collaboration with religious leaders, while in the Dospek Community, it can be done through digital education and social campaigns. Families also play an important role by encouraging children to continue their education, building equal dialogue, and eroding patriarchal values so that women are more empowered. Further research is recommended to examine the role of external institutions and involve men in order to gain a more comprehensive understanding of the dynamics of power and gender relations in the practice of child marriage.