Pengaruh Persepsi Anomi, Sikap Ekologis, dan Kesiapan Berkeluarga terhadap Intensi Reproduksi

Abstract

Percepatan globalisasi telah mendorong transformasi peran perempuan dan pilihan reproduksi, terutama akibat ketimpangan akses terhadap pendidikan, pekerjaan, dan kesehatan. Situasi ini berdampak pada keterlibatan di pasar kerja, penundaan pernikahan, dan penurunan angka kelahiran. Secara global, tingkat fertilitas terus mengalami penurunan dan di banyak negara telah berada di bawah tingkat pengganti ideal. Di Indonesia sendiri, tingkat fertilitas belum sepenuhnya berada di bawah ambang tersebut, namun tren penurunannya menunjukkan kecenderungan mendekati tingkat pengganti dalam beberapa dekade terakhir. Fenomena ini berkaitan dengan krisis identitas dan anomi yang melemahkan struktur sosial dan keluarga, serta mendorong deviasi seperti penolakan terhadap kelahiran. Jika tidak ditangani, Indonesia berisiko menghadapi krisis demografi. Sementara itu, krisis lingkungan memengaruhi nilai generasi muda yang menganggap childfree sebagai sikap ekologis. Pilihan ini makin diterima publik namun dapat mempercepat penurunan fertilitas dan mendorong eksklusi keluarga dengan anak. Diperlukan solusi berkelanjutan, salah satunya melalui peningkatan kesiapan berkeluarga. Studi ini bertujuan untuk (1) mengidentifikasi karakteristik, persepsi anomi, sikap ekologis, kesiapan berkeluarga, dan intensi reproduksi; (2) menganalisis hubungan karakteristik dengan variabel-variabel tersebut; serta (3) menguji pengaruh persepsi anomi, sikap ekologis, dan kesiapan berkeluarga terhadap intensi reproduksi. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan teknik voluntary sampling dalam pengumpulan data, dan ukuran sampel ditentukan menggunakan pendekatan inverse square root dengan minmal responden sebanyak 155 orang. Populasi dari penelitian ini adalah, perempuan muda belum menikah dan berpendidikan tinggi di wilayah Jabodetabek. Total jumlah responden adalah sebanyak 336 responden. Data dianalisis secara deskriptif menggunakan SPSS untuk menggambarkan karakteristik responden dan sebaran variabel, dilanjutkan dengan analisis korelasi Pearson menggunakan SPSS untuk mengukur hubungan antara karakteristik dengan variabel utama, serta analisis SEM-PLS menggunakan SmartPLS 3 untuk menguji pengaruh langsung dan tidak langsung antar variabel laten. Proporsi terbesar responden berasal dari Bogor (35,4%) dan Jakarta (33,9%). Dari segi usia, lebih dari separuh responden berada dalam rentang 18–25 tahun (52,4%), sementara 44% berada pada usia 26–34 tahun, dan sisanya 3,6% berada di usia 35–49 tahun. Dalam hal pendidikan, sebagian besar responden merupakan lulusan D4/S1 (68,5%), diikuti oleh lulusan S2 (28,6%), sedangkan responden dengan pendidikan D3 dan S3 jumlahnya sangat kecil. Distribusi ini menunjukkan bahwa responden adalah perempuan muda dengan tingkat pendidikan tinggi yang tinggal di kawasan urban. Secara deskriptif, persepsi anomi mencatat skor yang relatif tinggi dengan rata-rata indeks 55,91. Terdapat kecenderungan pada aspek krisis makna, mengindikasikan adanya disorientasi nilai di kalangan perempuan muda perkotaan. Sikap ekologis memiliki rata-rata indeks sebesar 64,31. Perempuan muda perkotaan menunjukan kesadaran kuat terhadap risiko krisis ekologis, meskipun komitmen terhadap prinsip ekologis yang lebih transformatif masih terbatas. Kesiapan berkeluarga memperoleh skor tertinggi dengan rata-rata indeks 71,32, dimana kontribusi utama berasal dari dimensi kematangan moral dan intelektual. Sebaliknya, intensi reproduksi berada pada tingkat paling rendah diantara semua variabel dengan rata-rata indeks 49,96, terutama terkait lemahnya keyakinan sosial yang mendukung keputusan reproduksi. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa usia dan tingkat pendidikan memiliki hubungan negatif yang signifikan dengan persepsi anomi, yang berarti bahwa individu yang lebih tua dan berpendidikan lebih tinggi cenderung memiliki tingkat persepsi anomi yang lebih rendah. Selain itu, usia juga ditemukan berhubungan negatif secara signifikan dengan sikap ekologis, mengindikasikan bahwa semakin bertambah usia, semakin rendah pula sikap ekologis yang dimiliki. Sementara itu, tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara usia maupun pendidikan dengan kesiapan berkeluarga maupun intensi reproduksi. Intensi reproduksi menunjukkan hubungan negatif dengan persepsi anomi dan sikap ekologis, serta korelasi positif dengan kesiapan berkeluarga. Artinya, niat perempuan muda untuk memiliki anak cenderung lebih rendah ketika tingkat anomi dan orientasi ekologis meningkat, namun menguat seiring dengan tingginya kesiapan berkeluarga. Hasil analisis SEM-PLS menunjukkan bahwa kesiapan berkeluarga memiliki pengaruh positif terhadap intensi reproduksi, sedangkan persepsi anomi dan sikap ekologis memberikan kontribusi negatif terhadap intensi reproduksi. Temuan ini memperlihatkan bahwa selain kematangan psikososial yang dimiliki, keputusan reproduktif perempuan muda di perkotaan terbentuk melalui interaksi kompleks antara faktor internal dan eksternal. Kesiapan berkeluarga mampu meningkatkan intensi reproduksi sebagai refleksi atas kesiapan personal, sementara persepsi anomi dan sikap ekologis cenderung melemahkan dengan mengarahkan individu pada penundaan, pengurangan, atau bahkan potensi penghindaran terhadap keputusan memiliki anak. Hal ini merepresentasikan pengaruh struktual terkait kondisi sosial dan nilai-nilai ekologis yang dapat membentuk pertimbangan reproduktif secara lebih kritis, namun disertai dengan kehatiah-hatian dan kekhawatiran dalam merespons risiko serta ketidakpastian terhadap masa depan.

The acceleration of globalization has driven a transformation in women's roles and reproductive choices, particularly due to disparities in access to education, employment, and healthcare. This situation affects women's participation in the labor market, delays in marriage, and declining birth rates. Globally, fertility rates have continued to decline and, in many countries, have fallen below the ideal replacement level. In Indonesia, the fertility rate has not yet fully dropped below this threshold, but the declining trend indicates a tendency to approach the replacement level in recent decades. This phenomenon is associated with identity crises and anomie, which weaken social and family structures and encourage deviations such as rejection of childbirth. At the same time, the environmental crisis is influencing the values of the younger generation, many of whom perceive a childfree lifestyle as an ecological stance. While this choice is increasingly accepted by the public, it may accelerate the decline in fertility and promote the exclusion of families with children. Sustainable solutions are needed, one of which involves strengthening readiness for family life. This study aims to: (1) identify the characteristics, perceived anomie, ecological values, readiness for family life, and reproductive intention of urban young women; (2) analyze the relationship between sociodemographic characteristics and those variables; and (3) examine the influence of perceived anomie, ecological values, and readiness for family life on reproductive intention. A cross-sectional design was employed using voluntary sampling, with the minimum sample size determined through the inverse square root method, requiring at least 155 respondents. The study population comprised unmarried, highly educated young women residing in the Greater Jakarta area (Jabodetabek). A total of 336 respondents participated. Descriptive analysis using SPSS was conducted to describe respondent characteristics and variable distributions, followed by Pearson correlation analysis to measure the relationships between characteristics and the main variables. Finally, PLS-SEM analysis was performed using SmartPLS 3 to test both direct and indirect effects among latent variables. The largest proportion of respondents came from Bogor (35.4%) and Jakarta (33.9%). In terms of age, more than half of the respondents were in the 18–25 age range (52.4%), while 44% were between 26–34 years old, and the remaining 3.6% were aged 35–49. Regarding education, the majority of respondents were D4/Bachelor’s degree graduates (68.5%), followed by Master’s degree graduates (28.6%), while respondents with D3 and Doctoral degrees were very few. This distribution indicates that the respondents were young women with a high level of education living in urban areas. Descriptively, perceived anomie recorded a relatively high score with an average index of 55.91. There was a tendency toward a crisis of meaning, indicating a value disorientation among urban young women. Ecological attitudes had an average index score of 64.31. Urban young women demonstrated strong awareness of ecological crisis risks, although their commitment to more transformative ecological principles remained limited. Readiness for family life received the highest score with an average index of 71.32, with the main contribution coming from the dimensions of moral and intellectual maturity. In contrast, reproductive intention had the lowest score among all variables, with an average index of 49.96, mainly due to weak social beliefs supporting reproductive decisions. The correlation analysis revealed that both age and educational attainment were significantly and negatively associated with perceived anomie, suggesting that older and more educated individuals tend to report lower levels of perceived anomie. In addition, age was also significantly and negatively associated with ecological attitudes, indicating that the older a person is, the lower the ecological attitudes they tend to demonstrate. Meanwhile, no significant relationship was found between either age or education and readiness for family life or reproductive intention. Reproductive intention showed a negative correlation with both perceived anomie and ecological values, and a positive correlation with readiness for family life. This implies that the intention of young women to have children tends to be lower when perceived anomie and ecological orientation increase, but strengthens alongside greater readiness for family life. The SEM-PLS analysis showed that readiness for family life had a positive effect on reproductive intention, while perceived anomie and ecological attitudes contributed negatively to reproductive intention. These findings indicate that, in addition to psychosocial maturity, the reproductive decisions of urban young women are shaped by a complex interaction between internal and external factors. Readiness for family life tends to increase reproductive intention as a reflection of personal preparedness, whereas perceived anomie and ecological attitudes tend to weaken it by directing individuals toward delaying, reducing, or even potentially avoiding the decision to have children. This reflects the structural influence of social conditions and ecological values in shaping reproductive considerations in a more critical manner, accompanied by caution and concern in responding to future risks and uncertainties.