| dc.description.abstract | Stunting merupakan salah satu masalah gizi di Indonesia yang sampai saat ini masih belum terselesaikan. Apabila masalah ini bersifat kronis, maka akan mempengaruhi fungsi kognitif seperti tingkat kecerdasan yang rendah sehingga berdampak pada kualitas sumber daya manusia (SDM) (Bappenas RI 2020). Penurunan panjang badan menurut umur terbesar terjadi pada periode MP-ASI dari usia 6-24 bulan. Prevalensi balita stunting di Indonesia masih terbilang cukup tinggi serta distribusinya tidak merata antara desa, kabupaten/kota maupun antar provinsi.
Berdasarkan hasil Survei Status Gizi Indonesia Tahun 2022 menyebutkan bahwa prevalensi stunting di Indonesia sebesar 21,6% (SSGI 2022). Provinsi Aceh menduduki posisi ke lima dengan prevalensi stunting sebesar 31,2%. Masih tingginya angka kejadian stunting di Aceh tidak terlepas pula dari kontribusi angka prevalensi stunting dari berbagai daerah Kabupaten/Kota yang ada di Aceh. Aceh Selatan menjadi salah satu Kabupaten di Aceh yang memiliki prevalensi stunting cukup tinggi dengan angka 34,8%. Kecamatan Samadua adalah Kecamatan yang mengalami peningkatan stunting dalam dua tahun terakhir yang ada di Aceh Selatan. Kecamatan Samadua dengan keanekaragaman kehidupan sosial budaya dan kondisi geografis yang unik, tentu memiliki permasalahan dan determinan stunting yang berbeda dari daerah lainnya. Oleh karena itu, peneliti ini bertujuan untuk menganalisis lebih jauh faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting di Kecamatan Samadua Kabupaten Aceh Selatan agar dapat dijadikan acuan dalam penanganan stunting ke kedepannya.
Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional study. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Samadua pada bulan Desember 2023–Februari 2024 dengan jumlah sampel 120 (stunting=60, normal=60). Jenis data yang akan dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan cara wawancara yang dilakukan pada ibu balita dan pengukuran tinggi badan secara langsung menggunakan infantometer atau microtoise serta pengukuran berat badan dengan baby scale. Data primer yang dikumpulkan meliputi karakteristik anak, karakteristik ibu, karakteristik keluarga, riwayat penyakit infeksi, sanitasi, akses pelayanan kesehatan, praktek PMBA (Pemberian Makan Bayi dan Anak), dan asupan zat gizi. Data sekunder yang dikumpulkan adalah status imunisasi dasar dan riwayat ANC ibu yang terdapat didalam buku KIA.
Data panjang atau tinggi badan dan berat badan balita yang dihasilkan diinput menggunakan Aplikasi WHO Anthro untuk mengetahui z-score. Data lainnya diolah serta dianalisis menggunakan Microsoft Excel 2016 dan Statistical Package for Sosial Science (SPSS) versi 25.0 for Windows. Pengolahan data dilakukan melalui tahapan entry, coding, cleaning, dan analyze. Analisis univariat bertujuan untuk melihat gambaran secara deskriptif meliputi nilai mean, SD, frekuensi, dan persentase. Uji bivariat yang digunakan untuk uji hubungan yaitu uji regresi logistik biner dengan kriteria (p<0,25) dan dilanjutkan dengan analisis multivariat menggunakan uji regresi logistik pada variabel yang berpengaruh dari analisis bivariat untuk mengetahui faktor risiko yang paling dominan.
Sebagian besar subjek berada pada rentan usia 12-24 bulan yaitu berjumlah 109 anak (90,8%) dan sebagian besar subjek berjenis kelamin laki-laki yaitu berjumlah 64 anak (53,3%). Pada penelitian ini variabel yang memiliki hubungan signifikan dengan stunting adalah karakteristik anak (panjang badan lahir dan berat badan lahir), karakteristik ibu (riwayat anemia saat hamil, riwayat ANC), karakteristik keluarga (jumlah anggota rumah tangga), riwayat penyakit infeksi (frekuensi ISPA dan diare), praktek PMBA (IMD, praktek MP-ASI), dan asupan zat gizi (asupan energi, protein, lemak, kalsium, dan vitamin A) (p<0,05). Selanjutnya hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa subjek yang memiliki panjang badan lahir kurang dari 48 cm berisiko mengalami stunting 38,346 kali lebih besar dibandingkan dengan yang panjang badan lahirnya lebih besar atau sama dengan 48 cm (¬p-value: 0,000; OR: 38,346 ; 95% CI: 6,731 – 218,459), tinggi badan ibu kurang dari 150 cm berisiko mengalami stunting 28,990 kali lebih besar dibandingkan dengan ibu yang tinggi badannya lebih besar atau sama dengan 150 cm (p-value: 0,001; OR: 28,990; 95% CI: 3,815–220,287). Antenatal care juga merupakan salah satu faktor risiko stunting dimana balita yang mendapatkan ANC kurang dari 6 kali selama hamil memiliki risiko stunting 26,670 kali lebih besar dibandingkan balita yang ibunya memiliki riwayat ANC lebih dari atau sama dengan 6 kali selama hamil (p-value: 0,000; OR: 26,670; 95% CI: 5,025 – 141,563). Selain itu, tidak mendapatkan IMD berisiko mengalami stunting 6,492 kali lebih tinggi dibandingkan dengan yang mendapatkan IMD (p-value: 0,011; OR: 6,491; 95%CI: 1,541–27,350), balita yang mengalami defisit tingkat kecukupan energi memiliki risiko stunting 11,160 kali lebih tinggi dibandingkan balita yang tidak mengalami defisit (p-value: 0,003; OR: 11,160; 95%CI: 2,321–53,672), dan tingkat kecukupan protein defisit memiliki risiko stunting 14,223 kali lebih besar dibandingkan balita yang tidak mengalami defisit (p-value: 0,002; OR: 14,223; 95%CI: 2,560–79,020). | |