Gangguan Komunikasi, Kelekatan Orang Tua-Anak, Kontrol Diri Dan Penggunaan Internet Bermasalah Remaja di Sekolah Progresif dan Konvensional
Abstract
Saat ini penggunaan internet merupakan hal yang lumrah dilakukan sebagai salah satu metode dalam proses pembelajaran di sekolah. Namun demikian remaja usia usia 12 sampai 15 tahun ditemukan mengalami gangguan dalam penggunaan teknologi internet. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi serta menganalisis pengaruh gangguan komunikasi akibat teknologi, kelekatan orang tua, kontrol diri, serta hubungannya dengan penggunaan internet bermasalah pada remaja usia 12 sampai 15 tahun pada dua tipe sekolah yaitu sekolah konvensional dan sekolah progresif. Penelitian dilakukan di dua tipe sekolah menengah pertama progresif dan non progresif di Kabupaten Bogor. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposif dan pemilihan sampel dilakukan dengan kritieria merupakan siswa kelas 1, 2 dan 3 serta berusia 12-15 tahun yang tinggal bersama ayah dan ibunya. Dari kerangka sampel di tiap sekolah selanjutnya dipilih 60 siswa di tiap sekolah, dengan total 120 siswa sebagai sampel dalam penelitian ini.
Data yang dikumpulkan adalah data primer yang diperoleh melalui kuesioner yang telah disusun oleh peneliti dan telah melalui kaji etik di IPB. Data yang telah dikumpulkan selanjutnya diolah melalui proses editing, coding, scoring, entry, cleaning melalui Microsoft Office Excel dan analyzing melalui SPSS dan Smart-PLS. Data penelitian ini dikumpulkan melalui kuesioner yang diisikan oleh siswa remaja di sekolah. Data gangguan komunikasi akibat teknologi pada orang tua diukur dengan instrumen Technology Interference in Life Example Scale (TILES) Parent Version dari McDaniel dan Coyne (2016), kelekatan orangtua-anak diukur dengan instrumen Inventory of Parent and Peer Attachment (IPPA) tipe Father Attachement dan Mother Attachment versi Bahasa Indonesia dari Armsden dan Greenberg (1987), kontrol diri diukur dengan Self-control Scale (brief/short form) versi Bahasa Indonesia dari Ferrari et al (2009) dan Arifin dan Mila (2020), penggunaan internet bermasalah PIB diukur dengan Generalized Problematic Internet Use Scale 2 (GPIUS2) ver Bahasa Indonesia dari Andangsari et al (2018). Data yang telah dikumpulkan selanjutnya diolah melalui proses editing, coding, scoring, entry, cleaning melalui Microsoft Office Excel dan analyzing melalui SPSS dan Smart-PLS.
Rata-rata usia remaja yang terlibat dalam penelitian ini dari sekolah konvensional 14,32 tahun dan pada sekolah progresif rata-rata usia remaja 13,1 tahun. Jenis kelamin remaja dari sekolah konvensional lebih dari separuhnya perempuan (n=31; 52%) berbeda dengan sekolah progresif sebanyak 58,3% (n=35) adalah laki-laki, dengan rata-rata siswa duduk di kelas 3 SMP (n=46; 76,6%) pada sekolah konvensional dan kelas 2 SMP (n=26; 43,3%) pada sekolah progresif. Rata-rata usia ayah pada sekolah konvensional adalah 47,15 tahun dan 68,3 persen terkategori dewasa madya (41–60 tahun), tidak jauh berbeda dengan rata-rata usia ayah pada sekolah progresif adalah 48,23 tahun dan 74,1% persen dewasa madya (41-60 tahun). Rata-rata usia ibu pada sekolah konvensional adalah 43,42 tahun dan terkategori dewasa awal (55%), sementara pada rata-rata usia ibu dari sekolah progresif adalah 48,23 tahun dan terkategori dewasa madya (74,1%). Proporsi terbesar dalam pendidikan ayah dan ibu pada sekolah konvensional adalah lulusan SD (45%) dan ibu (33,3%), untuk rata-rata pendidikan orang tua pada sekolah progresif baik ibu maupun ayah adalah lulusan S1 dan S2 dengan angka (56,4%) untuk ayah dan (63%) untuk ibu. Proporsi terbesar pekerjaan ayah dari sekolah konvensional adalah wiraswasta (28,3%) dan pekerja lepas (26,2%) untuk pekerjaan ibu mayoritas sebagai ibu rumah tangga (76,6%), pada sekolah progresif proporsi terbesar pekerjaan ayah adalah pekerja profesional (38,3%) dan karyawan swasta (31,6%), untuk pekerjaan ibu lebih dari setengahnya adalah ibu rumah tangga (58,3%) dan pekerja profesional. Pada tipe keluarga baik pada sekolah konvensional maupun progresif tidak terdapat perbedaan, sebanyak (80%) persen remaja dari konvensional dan progresif berasal dari keluarga dengan = 5 orang (keluarga kecil) dan pendapatan keluarga yang berbeda. Sebanyak (38,3%) remaja dari sekolah konvensional berasal dari keluarga dengan pendapatan per kapita di bawah garis kemiskinan, sementara sebanyak (48,3%) berasal dari keluarga dengan pendapatan mencukupi (> Rp. 10.000.000).
Hasil penelitian menunjukan, proporsi terbesar gangguan komunikasi akibat teknologi pada orang tua di dua tipe sekolah adalah sedang dan rendah, yaitu sebesar 60 persen rendah untuk sekolah konvensional dan 95 persen untuk sekolah progresif. Ditinjau dari rata-rata indeks berdasarkan tipe sekolah, gangguan komunikasi akibat teknologi pada orang tua lebih tinggi pada remaja dari sekolah progresif dibandingkan dengan remaja dari sekolah konvensional. Proporsi terbesar indeks total kelekatan orang tua dan anak adalah sedang dan rendah yaitu sebesar 66 persen kategori sedang pada remaja dari sekolah konvensional dan sebesar 43,3 persen kategori sedang pada remaja dari sekolah progresif, dengan kualitas kelekatan orang tua dan anak lebih besar pada remaja dari sekolah progresif dibandingkan sekolah konvensional. Proporsi terbesar indeks kontrol diri remaja total berada dalam kategori rendah baik pada sekolah konvensional maupun progresif, yaitu sebesar 71,6 persen dari sekolah konvensional dan 77,5 persen dari sekolah progresif. Proporsi terbesar penggunaan internet bermasalah berada dalam kategori rendah (78,3%) dan sedang (20%) pada remaja sekolah konvensional, remaja pada sekolah progresif tidak jauh berbeda dengan kategori rendah (58,3%) diikuti kategori sedang (41,6%), dan tingkat penggunaan internet bermasalah remaja progresif lebih besar dibandingkan remaja dari sekolah konvensional. Perbedaan terlihat pada dimensi cognitive preoccupation, mood regulation dan compulsive internet use. Remaja pada sekolah konvensional lebih merasa kesulitan untuk mengendalikan waktu, keinginan serta penggunaan internet, jika tidak terkoneksi dengan internet muncul perasaan sedih, memikirkan terus menerus serta munculnya perasaan kehilangan oleh sebab itu hal ini berdampak pada suasana hati remaja dan memilih internet untuk mengatasi perasaan buruk/negatif yang sedang dialami, dan berharap mendapatkan perasaan lebih baik setelah terhubung dengan internet.
Hasil uji korelasi menunjukkan remaja di sekolah konvensional yang memiliki ayah bekerja sebagai wiraswasta atau pekerja tidak tetap lebih sering mengalami penggunaan internet bermasalah (PIB), kemungkinan karena kurangnya respons kehangatan dari orang tua. Sebaliknya, remaja di sekolah progresif cenderung mengalami PIB lebih tinggi seiring dengan meningkatnya pendapatan keluarga, yang mungkin memfasilitasi akses lebih besar ke internet. Kelekatan orang tua dan anak berkorelasi positif dengan pendapatan keluarga dan pekerjaan ayah. Remaja di sekolah konvensional merasa lebih aman dan nyaman dalam kelekatan dengan orang tua jika pendapatan keluarga lebih tinggi, mendukung penelitian. Di sekolah progresif, ditemukan kelekatan orang tua berkorelasi signifikan positif dengan pekerjaan ibu, pendidikan ayah, dan pendapatan keluarga. Remaja di sekolah progresif merasa lebih lekat dengan ibu yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga dan merasa lebih nyaman dengan ayah yang berpendidikan lebih tinggi. Pendapatan keluarga yang lebih tinggi juga berkorelasi dengan penggunaan internet bermasalah pada remaja di sekolah progresif.
Hasil analisis SEM menunjukkan bahwa gangguan komunikasi akibat penggunaan teknologi berpengaruh langsung terhadap kontrol diri dan kelekatan orang tua – anak, dan kelekatan orang tua anak secara langsung berpengaruh terhadap penggunaan internet bermasalah. Rendahnya kelekatan antara orang tua dan anak remaja berpengaruh negatif langsung terhadap penggunaan internet bermasalah (PIB) pada remaja. Tidak terdapat pengaruh langsung atau tidak langsung antara gangguan komunikasi akibat teknologi pada orang tua dan kelekatan orang tua-anak terhadap penggunaan internet bermasalah pada remaja. Namun, kontrol diri remaja berpengaruh negatif terhadap PIB artinya remaja yang sering menunda tugas akademik cenderung memiliki kontrol diri yang buruk, yang meningkatkan risiko PIB.
Peneliti selanjutnya direkomendasikan menggunakan form untuk membedakan antara sekolah dengan tipe progresif dan non-progresif/konvensional. Selain itu topik komunikasi yang terganggu akibat penggunaan teknologi pada orang tua dapat digali secara lebih terperinci dan lebih dalam. Secara praktis diharapkan orang tua dapat mengurangi aktivitas penggunaan teknologi seperti gawai, laptop, komputer serta alat teknologi lainnya selama berinteraksi dengan remaja terlebih pada waktu-waktu berkualitas bersama seperti ketika waktu makan bersama atau berakhir pekan bersama sehingga dapat mengurangi kecenderungan remaja beralih pada aktivitas online. Bersamaan dengan itu, sekolah dapat membuat kebijakan guna mendukung lingkungan belajar yang nyaman dan aman dengan membuat program yang membangun kesadaran siswa mengenai bahaya penggunaan internet bermasalah serta pentingnya kontrol diri.
Collections
- MT - Human Ecology [2388]
