Show simple item record

dc.contributor.advisorAdiwibowo, Soeryo
dc.contributor.advisorMansur, Irdika
dc.contributor.authorChristalista, Andi Arya Fajar Art
dc.date.accessioned2024-07-31T04:51:01Z
dc.date.available2024-07-31T04:51:01Z
dc.date.issued2024
dc.identifier.urihttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/155202
dc.description.abstractTaman Nasional Manupeu Tana-Daru-Laiwangi Wanggameti (TN Matalawa) berperan sebagai penyangga kehidupan dan benteng terakhir bagi keanekaragaman hayati dan masyarakat di Pulau Sumba. Pengelolaan TN Matalawa secara kelembagaan saat ini berada dalam wewenang dan tanggung jawab Balai TN Matalawa. Salah satu sistem pengelolaan yang dilakukan oleh Balai TN Matalawa adalah bekerja sama dan kolaborasi dengan berbagai pihak agar kawasan tetap terjaga dan terlindungi dari ancaman seperti perambahan, penebangan pohon, kebakaran hutan yang disebabkan oleh perburuan dan pembukaan lahan pertanian masyarakat sekitar kawasa. Selama tahun 2015 hingga 2021, Balai TN Matalawa bekerja sama dengan pemerintah Jepang melalui Proyek JAGAFOPP-TA atau Technical assistance under Japan’s Grant aid for the Forest Preservation Programme in the Republic of Indonesia untuk melakukan kegiatan restorasi ekosistem TN Matalawa dengan melibatkan masyarakat sebagai pelaku utama. Program restorasi ekosistem TN Matalawa juga dapat dikatakan sebagai bentuk pengelolaan kawasan yang memperhatikan pada aspek ekologi, sosial-ekonomi dan budaya masyarakat sekitar hutan. Penelitian ini bertujuan; (1) menjelaskan mengenai dampak program restorasi ekosistem terhadap kondisi vegetasi hutan dan bentuk perubahan perilaku masyarakat pasca program restorasi ekosistem TN Matalawa; (2) menyusun strategi dan mensintesis pendekatan pengelolaan TN Matalawa yang berbasiskan pada pengelolaan yang lestari dan berkelanjutan pasca program restorasi ekosistem. Pengukuran dampak program restorasi ekosistem TN Matalawa terhadap kondisi vegetasi hutannya meliputi pengukuran persentase tumbuh, kesehatan tanaman, vegetasi tegakan dan kerapatan pohon. Pengumpulan data mengenai penilaian tingkat pertumbuhan dan kesehatan tanaman serta vegetasi tegakan dilakukan melalui teknik sampling dengan metode Systematic Sampling with Random Start sedangkan tingkat kerapatan vegetasi menggunakan teknik penginderaan jauh dan sistem informasi geospasial. Data citra berupa citra satelit landsat 8 TM OLI 9/Tirs dengan waktu perekaman tahun 2015 dan 2021. Analisis data dalam pengukuran vegetasi dilakukan dengan pendekatan kuantitatif dengan menganalisis data yang diperoleh dari observasi langsung di lapangan, yaitu mengenai kesehatan tanaman, persen tumbuh tanaman dan vegetasi pohon sedangkan tingkat kerapatan vegetasi dianalisis menggunakan perhitungan Normalized Difference Vegetation Index (NDVI). Pengumpulan data untuk tujuan penyusunan strategi pengelolaan TN Matalawa pasca program restorasi ekosistem dilakukan secara purposive sampling melalui metode wawancara terstruktur. Sementara itu, pengumpulan data untuk sintesis pendekatan pengelolaan TN Matalawa yang berbasis berkelanjutan dilakukan dengan melalui pendekatan kualitatif, yaitu memilih informan kunci yang terlibat langsung dan memahami lebih dalam tentang program restorasi ekosistem TN Matalawa. Data diperoleh dengan metode wawancara secara mendalam (in depht interview) kepada para informan yang dipilih. Analisis data menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk mendapatkan penjelasan mengenai stakeholder yang terlibat dan strategi pengelolaan TN Matalawa pasca program restorasi ekosistem. Selanjutnya, Pendekatan kualitatif digunakan untuk mendapatkan penjelasan mengenai bentuk perubahan perilaku masyarakat desa pasca program restorasi ekosistem TN Matalawa serta sintesis pendekatan yang perlu dilakukan dalam pengelolaan TN Matalawa. Di blok tanam program restorasi ekosistem terdapat 42 jenis tanaman yang tersebar pada 39 plot sampel permanen. Blok tanam Waimanu memiliki ragam jenis tanaman yang paling banyak dibandingkan dengan blok tanam lain, yaitu sebanyak 42 jenis tanaman. Jenis tanaman yang ditanam didominasi oleh tanaman asli jenis sub klimaks 21 tanaman, pionir 12 tanaman dan jenis klimaks sebanyak 9 tanaman. Jenis tanaman yang banyak ditemukan pada blok tanam meliputi Melochia umbelata, Timonius timon, Canarium asperum, Ficus variegata, Rus taetensis, Alstonia spectabilis, Macaranga tanarius, Planchonia valida dan Tetrameles nudiflora. Pengukuran persen tumbuh tanaman yang ditanam menunjukkan persen tumbuh tertinggi dimiliki oleh blok tanam Tangairi sebesar 80% sedangkan persen tumbuh terendah dimiliki oleh blok tanam Taman Mas, yaitu sebesar 71%. Selanjutnya, pengukuran kesehatan tanaman menunjukkan bahwa kondisi tanaman di blok tanam restorasi TN Matalawa menunjukkan kondisi tanaman yang kurang sehat. Ditemukan sebanyak 138 tanaman pada plot sampel permanen mengalami gejala klorosis sehingga menyebabkan tanaman kering dan mati pada bagian pucuknya. Meskipun terdapat tanaman yang kurang sehat tetapi kesehatan tanaman pada setiap blok tanam termasuk dalam kategori sangat baik sesuai dengan Permenhut 2009, yaitu dengan rata-rata tanaman sehat > 80%. Kematian tanaman akibat hama dan penyakit tidak temukan pada penelitian ini. Analisis vegetasi di blok tanam restorasi ekosistem TN Matalawa ditemukan sebanyak 38 jenis vegetasi tingkat semai, 41 jenis tingkat pancang dan 6 jenis tingkat tiang. Hasil perhitungan INP pada vegetasi tingkat semai jenis Rhus taetensis memiliki INP tertinggi, yaitu sebesar 25,41% sedangkan Pterospermum diversifolium, Ficus virencens dan Canarium sp memiliki INP terendah, yaitu sebesar 0,69%. Pada vegetasi tingkat pancang, jenis Alstonia spectabilis memiliki nilai INP tertinggi, yaitu sebesar 25,027% dan jenis Syzygium racemosa, Sterculia foetida, Ficus albipila, Elaeocarpus glaber, Buchanania arborescens, Bohmeria nivea dan Alangium Chinese memiliki nilai INP terendah, yaitu sebesar 0,673%. Selanjutnya pada tingkat tiang, jenis Melochia umbelata memiliki nilai INP tertinggi, yaitu sebesar 204,74% dan jenis Homalanthus populneus memiliki nilai INP terendah, yaitu 14,68%. INP pohon pada penelitian ini termasuk dalam kategori rendah hingga sedang. Pengolahan citra landsat TM OLI 9/Tirs dengan waktu perekaman tahun 2015 dan 2021 menghasilkan kelas kerapatan vegetasi yang terdiri atas kerapatan sangat rendah, rendah, sedang dan tinggi. Hasil pengolahan citra baik pada tahun 2015 maupun tahun 2021 memperlihatkan adanya perubahan luasan yang terjadi selama program restorasi ekosistem TN Matalawa. Kelas kerapatan vegetasi sangat rendah mengalami penurunan luasan sebesar 1.64% dan kelas kerapatan vegetasi rendah juga mengalami penurunan luasan sebesar 21.35% pada tahun 2021. Sementara itu, wilayah yang memiliki kelas kerapatan sedang dan tinggi menunjukkan peningkatan luasan, yaitu kelas kerapatan sedang meningkat luasannya sebesar 4.28% dan kelas kerapatan tinggi meningkat luasannya berkisar 18.72% pada tahun 2021 bila dibandingkan pada tahun 2015. Pemetaan stakeholder menerangkan bahwa telah teridentifikasi 17 stakeholder yang terbagi atas 6 kategori. Stakeholder kategori pemerintah pusat (Balai TN Matalawa), pemerintah Jepang (Japan International Coorporate System (JICS), Sumitomo Forestry Co.Ltd Co, Japan International Forestry Promotion and Cooperation Center (JIFPRO)), Pemerintah Kabupaten Sumba Tengah (Dinas pertanian dan ketahanan pangan, Dinas Peternakan, dinas PUPR, Dinas PMD, Kecamatan Katikutana Selatan), Pemerintah desa, kelompok organisasi non pemerintah ( LSM Generasi Hijau), Tokoh Masyarakat dan kelompok masyarakat (Kelompok Swadaya Menanam, Kelompok Tani Hutan, Masyarakat Mitra Polhut, Masyarakat Peduli Api, dan Masyarakat Adat). Pemetaan stakeholder berdasarkan tingkat pengaruh dan kepentingannya terbagi dalam 4 kuadran, yaitu key players (Pemain kunci), subject (Subyek), context setter (Pendukung) dan crowd (Penonton). Stakeholder yang berperan sebagai pemain kunci (Key players) meliputi BTN Matalawa, JAGAFOPP-TA, Kelompok Masyarakat (KSM dan KTH). Stakeholder yang termasuk dalam kategori subyek (subject) meliputi Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, kelompok masyarakat (MMP dan MPA). Stakeholder context setter meliputi Tokoh Masyarakat dan Stakeholder yang termasuk dalam kategori crowd meiliputi LSM Gen Hijau Dinas PUPR, Penyusunan strategi pengelolaan TN Matalawa pasca program restorasi ekosistem menghasilkan strategi agresif, yaitu strategi strengths-opportunities (S-O). Strategi yang perlu dilakukan antara lain; (1) peningkatan kolaborasi; (2) koordinasi dan kerja sama yang intensif dengan pemerintah kabupaten; (3) peningkatan paritisipasi kelompok masyarakat, masyarakat adat dan LSM lokal dalam pelestarian kawasan TN Matalawa: (4) peningkatan komunikasi melalui sosialisasi dan penyuluhan yang intensif mengenai pengelolaan TN Matalawa; (5) pemanfaatan jasa lingkungan, HHBK dan flora-fauna sebagai pendukung pelestarian kawasan; (6) optimalisasi pemanfataan ODTWA sebagai sumber PAD, PNBP dan pendapatan masyarakat; (7) pertemuan reguler kepada multi stakeholder terkait kebijakan-kebijakan dalam pengelolaan TN Matalawa dan membentuk forum kolaborasi antar stakeholder. Hasil observasi langsung dan wawancara secara mendalam (depth interview) kepada masyarakat dan tokoh masyarakat desa, bahwa telah terjadi suatu bentuk perubahan perilaku masyarakat desa yang mengarah pada perubahan positif. Hal ini sebagai akibat adanya program restorasi ekosistem dengan melibatkan masyarakat sebagai pelaku utama program. perkembangan ini berupa; 1) Perilaku masyarakat desa yang sebelum ada program masih membuka lahan dengan cara membakar secara sembarangan dan setelah program restorasi berjalan telah dibuat sebuah kesepakatan yang sesuai dengan aturan yang berlaku bahkan ada yang tidak melakukan pembakaran sama sekali; (2) masyarakat akan berkoordinasi terlebih dahulu kepada pihak BTN Matalawa ketika akan membakar lahan untuk kegiatan pertanian; (3) penggunaan teknologi tepat guna seperti alat tanam jagung, alat tanam padi, pemanfaatan limbah organik dalam pengelolaan lahan pertanian (4) masyarakat yang dulunya mengklaim lahan kawasan TN Matalawa sebagai lahan pribadi sekarang juga telah sadar bahwa mereka bukan pemilik lahan tersebut; (5) interaksi dan komunikasi semakin baik dengan ditandai masyarakat desa yang selalu berkoordinasi dengan pihak BTN Matalawa ketika ada masyarakat dari desa lain yang melakukan kegiatan pengambilan hasil hutan bukan kayu di dalam kawasan dan ketika terjadi kebakaran hutan, masyarakat desa langsung melaporkan hal tersebut kepada pihak BTN Matalawa; (6) pada kegiatan pengamanan kawasan dan pencegahan kebakaran hutan dan lahan, terbentuk kemandirian masyarakat dengan membentuk kelompok masyarakat peduli api yang melakukan kegiatan mandiri dengan biaya sendiri. Berdasarkan fakta dan kajian awal pada penelitian ini, peneliti mensintesis pendekatan yang dapat dilakukan dalam pengelolaan kawasan TN Matalawa. Pendekatan ini bertujuan agar pengelolaan taman nasional dapat memberikan manfaat jangka pendek sekaligus menjamin nilai-nilai kemanfaatan jangka panjang lintas generasi. Pendekatan pertama, yaitu pendekatan secara kolaborasi dengan berbagai pihak terutama dengan masyarakat desa di dalam dan luar kawasan TN Matalawa. Pendekatan kedua, Peran serta masyarakat sekitar kawasan konservasi dapat berjalan dengan baik apabila masyarakat sekitar kawasan konservasi dapat mengetahui informasi rencana kegiatan pengelolaan, menyatakan pendapat atau saran mengenai kebijakan pengelolaan, dilibatkan dalam pelaksanaan dan pengawasan kegiatan pengelolaan sehingga semua masyarakat sekitar kawasan konservasi mendapatkan manfaat dari kegiatan pengelolaan kawasan konservasi. Pendekatan ketiga, Terdapat perbedaan cara pandang antara Negara (pemerintah) dengan masyarakat sekitar mengenai sumber daya alam. Pemerintah memandang bahwa alam yang unik, khas, dan utuh harus dilindungi sehingga penduduk sekitar merupakan ancaman sedangkan masyarakat memandang bahwa hutan adalah hasil konstruksi sosial antara masyarakat dan ekosistem di sekitarnya. Pemberian akses kepada masyarakat akan membuat masyarakat merasakan manfaat dari kawasan konservasi dan mengurangi konflik antara pihak BTN Matalawa dengan masyarakat sekitar. Dengan pemberian akses tersebut, masyarakat akan mempunyai rasa memiliki akan keberadaan hutan sehingga masyarakat sukarela menjaga kelestarian hutan. Dengan demikian, indikator keberhasilan program restorasi ekosistem TN Matalawa tidak terbatas pada pemberian akses dan pengelolaan pada masyarakat saja. Dari sudut pandang sosial dan ekologi, program ini juga berpotensi mencegah deforestasi berbasis masyarakat, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, menyelesaikan konflik tenurial di dalam kawasan hutan serta menjaga adat dan budaya lokal. Kata Kunci : Masyarakat, TN Matalawa, Restorasi, Sosial, Vegetasi
dc.description.abstractManupeu Tana-Daru-Laiwangi Wanggameti National Park (Matalawa NP) acts as a life buffer and the last bastion for biodiversity and society on Sumba Island. Institutional management of Matalawa National Park is currently within the authority and responsibility of the Matalawa National Park Office. One of the management systems implemented by Matalawa National Park is to work together and collaborate with various parties so that the area remains maintained and protected from threats such as encroachment, felling of trees, forest fires caused by hunting, and clearing of agricultural land for communities around the area, Matalawa National Park Center collaborated with the Japanese government through the JAGAFOPP-TA Project or Technical assistance under Japan's Grant aid for the Forest Preservation Program in the Republic of Indonesia to carry out ecosystem restoration activities in Matalawa National Park by involving the community as the main actors. The Matalawa National Park ecosystem restoration program is also a form of area management that pays attention to the ecological, socioeconomic, and cultural aspects of communities around the forest. The aim of this study is to (1) to explain the impact of the ecosystem restoration program on the condition of forest vegetation and changes in community behavior after the Matalawa National Park ecosystem restoration program; (2) to develop a strategy and synthesize a management approach for Matalawa National Park that is based on sustainable and sustainable management after the ecosystem restoration program. Measuring the impact of the Matalawa NP ecosystem restoration program on the condition of forest vegetation includes measuring growth percentage, plant health, standing vegetation, and tree density. Data collection regarding the assessment of growth levels and health of plants and standing vegetation was carried out through sampling techniques using the Systematic Sampling with Random Start method, while vegetation density levels used remote sensing techniques and geospatial information systems. The image data is Landsat 8 TM OLI 9/Tirs satellite images with recording times in 2015 and 2021. Data analysis in measuring vegetation is carried out using a quantitative approach by analyzing data obtained from direct observations in the field, namely regarding plant health, percent plant growth, and vegetation trees. In contrast, the level of vegetation density was analyzed using Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) calculation. Data collection was done to develop for Matalawa NP after the ecosystem restoration program was collected using purposive sampling using a structured and view method. Meanwhile, data collection for synthesizing a sustainable-based Matalawa NP management approach was carried out using a qualitative approach, namely selecting key informants who were directly involved and had a deeper understanding of the Matalawa NP ecosystem restoration program. Data was obtained using in-depth interviews with selected informants. Data analysis uses quantitative and qualitative approaches. A quantitative approach was used to get an explanation of the stakeholders involved and the management strategy of Matalawa NP after the ecosystem restoration program. Furthermore, a qualitative approach was used to obtain an explanation regarding changes in village community behavior after the Matalawa National Park ecosystem restoration program, as well as a synthesis of the approaches that need to be taken in managing Matalawa National Park. In the ecosystem restoration program planting area, 42 types of plants are spread across 39 permanent sample plots. The Waimanu planting area has the largest variety of plant types compared to other planting areas, namely 42. The plant types are dominated by 21 native sub-climax plants, 12 pioneer plants, and nine climax types. Types of plants that are often found in planting areas include Melochia umbelata, Timonius timon, Canarium asperum, Ficus variegata, Rus taetensis, Alstonia spectabilis, Macaranga tanarius, Planchonia valida and Tetrameles nudiflora. Measurement of the percent growth of plants planted shows that the Tangairi planting area owned the highest percent growth at 80%, while the lowest percent growth was owned by the Taman Mas planting area, namely 71%. Furthermore, plant health measurements showed that the plants' condition in the Matalawa NP restoration planting area showed unhealthy conditions. It was found that 138 plants in the permanent sample plots experienced chlorosis symptoms, causing the plants to dry out and die at the top. Even though some plants are not healthy, the health of the plants in each planting area is included in the outstanding category according to the 2009 Minister of Forestry Regulation, namely with an average of > 80% healthy plants. Plant death due to pests and disease was not found in this study. Analysis of vegetation in the Matalawa NP ecosystem restoration planting area found 38 vegetation types at the seedling level, 41 at the sapling level, and six at the pole level. The INP calculation results for seedling-level vegetation of the Rhus taetensis type had the highest INP, 25.41%. In contrast, Pterospermum diversifolium, Ficus virencens, and Canarium sp had the lowest INP, 0.69%. At sapling level vegetation, the Alstonia spectabilis species had the highest INP value, namely 25.027%, and the Syzygium racemosa, Sterculia foetida, Ficus albipila, Elaeocarpus glaber, Buchanania arborescens, Bohmeria nivea and Alangium Chinese species had the lowest INP value, namely 0.673%. Furthermore, at the pole level, the Melochia umbelata type has the highest INP value, 204.74%, and the Homalanthus populneus type has the lowest INP value, 14.68%. The INP of the trees in this study is included in the low to medium category. Processing of TM OLI 9/Tirs Landsat images with recording times of 2015 and 2021 produces vegetation density classes consisting of very low, low, medium, and high density. The image processing results in 2015 and 2021 show changes in the area during the Matalawa National Park ecosystem restoration program. The shallow vegetation density class experienced a decrease in area of 1.64%, and the low vegetation density class also experienced a decrease of 21.35% in 2021. Meanwhile, areas with medium and high-density classes showed an increase in the area; namely, the medium-density class increased its area by 4.28 %, and the high-density class will increase by around 18.72% in 2021 compared to 2015. Stakeholder mapping shows that 17 stakeholders have been identified and divided into six categories. Stakeholders in the categories of central government (Matalawa National Park), Japanese government (Japan International Corporate System (JICS), Sumitomo Forestry Co. Ltd Co, Japan International Forestry Promotion and Cooperation Center (JIFPRO)), Local Government (Pertanian dan Ketahanan Pangan Services, Peternakan, PUPR, Dinas PMD, Katikutana Selatan and Katikuloku sub-district), village government, non-governmental organization (Generasi hijau), Community Leaders and community groups ((Kelompok Swadaya Menanam, Kelompok Tani Hutan, Masyarakat Mitra Polhut, Masyarakat Peduli Api, dan Masyarakat Adat). Stakeholder mapping based on their level of influence and importance is divided into four quadrants: key players, subject, context setter (Supporters), and crowd (Audience). Stakeholders who act as critical players include BTN Matalawa, JAGAFOPP-TA, and Community Groups (KSM and KTH). Stakeholders included in the subject category include the Community and Village Empowerment Service and community groups (MMP and MPA). Context setter stakeholders include community leaders and stakeholders who are included in the crowd category, The preparation of a management strategy for Matalawa NP after the ecosystem restoration program resulted in an aggressive strategy, namely the strengths-opportunities (S-O) strategy. The strategies that need to be implemented include (1) increased collaboration, (2) intensive coordination and cooperation with the district government, (3) increasing participation by community groups, Indigenous communities, and local NGOs in preserving the Matalawa National Park area (4) increasing communication through intensive outreach and counseling regarding the management of Matalawa National Park; (5) utilization of environmental services, NTFPs and flora and fauna as support for area conservation; (6) optimizing the use of ODTWA as a source of PAD, PNBP and community income; (7) regular meetings with multi-stakeholders regarding policies in managing Matalawa National Park and establishing a collaboration forum between stakeholders. The results of direct observations and in-depth interviews with the community and village community leaders show that there has been a change in the behavior of the village community, which has led to positive change. This results from the ecosystem restoration program involving the community as the main program actors. This development takes the form of 1) The behavior of village communities who, before the program, were still clearing land by burning carelessly, and after the restoration program was running, an agreement was made by applicable regulations; some did not even burn at all; (2) the community will coordinate first with BTN Matalawa when burning land for agricultural activities; (3) use of appropriate technology such as corn planting tools, rice planting tools, use of organic waste in agricultural land management (4) people who previously claimed the Matalawa National Park area as private land are now also aware that they do not own the land; (5) interaction and communication are getting better as indicated by the village community always coordinating with BTN Matalawa when there are people from other villages carrying out non-timber forest product extraction activities in the area and when a forest fire occurs, the village community immediately reports this to the party. BTN Matalawa; (6) in activities to protect the area and prevent forest and land fires, community independence is formed by forming groups that care about fire and carry out independent activities at their own expense. Based on the facts and initial studies in this research, researchers synthesized approaches that could be taken in managing the Matalawa National Park area. This approach aims to ensure that national park management can provide short-term benefits while ensuring long-term beneficial values across generations. The first approach, namely a collaborative approach with various parties, especially village communities inside and outside the Matalawa National Park area. The second approach is that community participation around the conservation area can run well if the community around the conservation area can find out information about management activity plans, express opinions or suggestions regarding management policies, be involved in the implementation and supervision of management activities so that all communities around the conservation area benefit from the activities conservation area management. In the third approach, there is a difference in perspective between the state (government) and the surrounding community regarding natural resources. The government views that unique, distinctive, and intact nature must be protected so that the local population is a threat, while the community views that forests are the result of social construction between the community and the surrounding ecosystem. Providing access to the community will make the community feel the benefits of the conservation area and reduce conflict between BTN Matalawa and the surrounding community. By providing this access, the community will have a sense of ownership of the existence of the forest, so the community will volunteer to preserve the forest. Thus, indicators of the success of the Matalawa National Park ecosystem restoration program are not limited to providing access and management to the community. From a social and ecological perspective, this program also has the potential to prevent community-based deforestation, improve community welfare, resolve tenure conflicts in forest areas, and protect local customs and culture. Keyword : Community, Matalawa NP, Restoration, Social, Vegetation,
dc.description.sponsorship
dc.language.isoid
dc.publisherIPB Universityid
dc.titleEvaluasi Program Restorasi Ekosistem di Taman Nasional Manupeu Tanah Daru-Laiwangi Wanggameti, Nusa Tenggara Timurid
dc.title.alternativeEvaluation of Ecosystem Restoration Program in Manupeu Tanah Daru-Laiwangi Wanggameti National Park, East Nusa Tenggara
dc.typeTesis
dc.subject.keywordRestorasiid


Files in this item

Thumbnail
Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record