Analisis ekonomi dampak pemberlakuan ecolabel terhadap daya saing kayu lapis Indonesia
Abstract
Tidak menentunya harga minyak dan gas bumi di pasaran dunia mendorong pemerintah untuk lebih memacu penggalakan ekspor non migas guna menunjang penerimaan devisa negara yang sangat diperlukan bagi upaya peningkatan dan pemerataan pembangunan nasional. Berbagai upaya dilakukan pemerintah misalnya dengan kemudahan-kemudahan dalam bentuk keringanan tarif ekspor serta hal-hal lain yang mendorong kegiatan ekspor dan investasi.
Industri pengolahan hasil hutan, terutama industri kayu lapis merupakan salah satu sumber penghasil devisa nasional yang potensial. Sejak diberlakukannya pelarangan ekspor kayu bulat dan pembangunan industri perkayuan yang berintikan industri kayu lapis (Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri tanggal 8 Mei 1980), industri nasional berkembang dengan pesat, pada tahun 1994 dengan volume ekspor sebesar 8,852,413 m³ dengan nilai sebesar Rp 4,047 juta, menjadikan Indonesia sebagai negara pengekspor kayu lapis terbesar di dunia, dengan pangsa pasar mencapai 42 persen (APKINDO, 1995).
Namun seiring dengan meningkatnya kesadaran konsumen terutama di negara- negara maju mengenai pentingnya kelestarian fungsi lingkungan hidup, negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Penghasil Kayu Tropis Internasional (ITTO), termasuk Indonesia menyepakati diberlakukannya kebijakan ecolabel pada produk
hasil-hasil kehutanan mulai tahun 1990. Kebijakan pemberlakuan sistem ecolabel meliputi kegiatan pengelolaan hutan (HPH) dan kegiatan industri pengolahan kayu (dalam hal ini kayu lapis).