Analisis Rantai Nilai Kepiting Soka pada Budidaya Sistem Apartemen
Date
2024-03-27Author
Jannah, Uthary Rahmathul
Diatin, Iis
Effendi, Irzal
Hadiroseyani, Yani
Metadata
Show full item recordAbstract
Kepiting bakau (Scylla spp.) merupakan komoditas akuakultur yang bernilai
tinggi. Salah satu bentuk produk kepiting hasil budidaya yaitu kepiting soka (soft
carapace, atau cangkang lunak), yakni kepiting yang baru saja mengalami molting.
Kepiting soka mengandung protein yang tinggi, dapat dikonsumsi secara utuh, dan
memiliki insang yang bersih. Kepiting soka dapat dibudidayakan secara individual
pada sistem tambak dan sistem apartemen. Sistem tambak menggunakan keranjang
plastik sebagai wadah budidaya yang diikatkan pada bambu sebagai pelampung.
Budidaya kepiting dengan sistem apartemen (single room) bisa menekan
kanibalisme dan dilengkapi dengan sistem resrikulasi (recirculating aquaculture
system, RAS), sehingga dapat diterapkan di kawasan perkotaan sebagai urban
aquaculture. Melalui konsep urban aquaculture ini seharusnya bisa mendekatkan
pembudidaya dengan konsumen, namun kepiting soka belum terlalu familiar akibat
ketersediaan produk (suplai) yang rendah. Permasalahan suplai kepiting soka sudah
terjadi dari tahap penangkapan benih hingga ke konsumen atau pada rantai nilai.
Penelitian ini bertujuan menganalisis rantai nilai, margin pemasaran, dan nilai
tambah dari budidaya kepiting soka untuk mengetahui potensi dan risiko dalam
budidaya dengan sistem apartemen.
Penelitian dilakukan dengan metode survei melalui wawancara pada April –
Juli 2023 dengan 30 responden untuk memperoleh data primer, yang terdiri dari: 1)
5 orang nelayan, 12 orang pengepul kecil, 4 orang pengepul besar, dan 4 orang
pedagang pengecer sebagai penyedia benih kepiting bakau di Bekasi, Karawang,
Tangerang, dan Lampung, 2) 1 orang pembudidaya kepiting soka sistem apartemen
di IFMOS FPIK-IPB Ancol Jakarta dan 1 orang pembudidaya kepiting soka sistem
tambak di Lampung, 3) 1 orang pengepul kepiting soka dan 1 orang dari restoran
kepiting soka di Jakarta. Data sekunder berupa data produksi budidaya kepiting
soka di IFMOS, dan data produksi kepiting dari Kementerian Kelautan dan
Perikanan dan Food and Agriculture Organization of the United Nations. Metode
pengambilan sampel yang digunakan adalah metode purposive sampling. Data yang
dianalisis yaitu rantai nilai, efisiensi rantai nilai, dan risiko rantai nilai kepiting
soka. Analisis rantai nilai kepiting soka terdiri dari indikator aktor, aktivitas rantai
nilai, dan saluran pemasaran kepiting soka. Analisis efisiensi rantai nilai terdiri dari
perhitungan margin pemasaran, farmer’s share, dan nilai tambah. Analisis risiko
rantai nilai terdiri dari perhitungan risk priority number (RPN).
Hasil analisis rantai nilai menunjukkan bahwa terdapat beberapa aktor yang
terlibat dalam pemasaran kepiting soka, yaitu: 1) nelayan kepiting bakau, 2)
pengepul kecil kepiting bakau, 3) pengepul besar kepiting bakau, 4) pedagang
kepiting bakau, 5) pembudidaya kepiting soka, 6) pengepul kepiting soka, 7)
restoran kepiting soka, dan 8) konsumen akhir. Nelayan menangkap kepiting bakau
dari hutan bakau menggunakan alat tangkap bubu dan korek sebanyak 2– 35
kg/hari. Pengepul kecil membeli kepiting bakau sebanyak 3 – 30 kg/hari dari
nelayan untuk dijual kembali kepada pengepul besar, pedagang, atau pembudidaya
kepiting soka. Pengepul besar mengumpulkan kepiting dari beberapa pengepul
kecil sebanyak 20 – 250 kg dalam sehari. Pedagang pengecer membeli kepiting
v
bakau untuk dijual di pasar sebanyak 20 – 100 kg/hari. Pembudidaya kepiting soka
menyuplai kepiting soka hasil budidaya dalam sistem tambak dan sistem
apartemen. Kegiatan budidaya dilakukan selama 30 hari dengan benih kepiting
yang memiliki bobot 43,59 – 90,93 g/ekor. Pengepul kepiting soka membeli
kepiting soka dari pembudidaya sebanyak sekitar 210 kg/minggu. Restoran
membeli kepiting soka dari pengepul sebanyak 10 – 160 kg per bulan dan dijual
dalam bentuk masakan kepiting soka ke konsumen akhir.
Analisis efisiensi rantai nilai kepiting soka sistem apartemen menunjukkan
margin pemasaran tertinggi terdapat pada nelayan kepiting bakau kepada
pembudidaya kepiting soka yaitu 100%. Margin pemasaran terendah terdapat pada
pengepul besar ketika menjual kepiting kepada pedagang pengecer kepiting yaitu
11,11%. Margin pemasaran tertinggi pada rantai nilai budidaya kepiting soka
dengan sistem tambak terdapat pada nelayan sebesar 100% dan restoran kepiting
soka sebesar 72,92%. Margin pemasaran terendah yaitu 7,69% pada pengepul
ketika menjual kepiting soka kepada restoran. Nilai farmer’s share tertinggi ketika
pembudidaya sistem tambak menjual kepiting soka kepada konsumen akhir yaitu
45,45% dengan kategori efisien, sedangkan nilai terendah didapat ketika
pembudidaya sistem tambak menjual kepiting soka kepada restoran yaitu 35,71%
dengan kategori tidak efisien.
Hasil perhitungan nilai tambah menunjukkan bahwa nilai tertinggi dihasilkan
oleh pembudidaya kepiting soka sistem tambak yaitu Rp73.843,00/kg, sedangkan
nilai tambah terendah dihasilkan oleh pembudidaya kepiting soka dengan sistem
apartemen yaitu -Rp125.365,00/kg. Perbedaan nilai tambah yang jauh ini
disebabkan karena pembudidaya dengan sistem apartemen tidak memberikan
perlakuan fisik ekdisisasi (pemotongan untuk mempercepat molting) kaki jalan
kepiting seperti pada pembudidaya dengan sistem tambak, sehingga persentase
kepiting soka hasil budidaya sistem apartemen menjadi sangat rendah. Risiko yang
berpeluang muncul pada rantai nilai kepiting soka yaitu risiko benih hasil tangkapan
alam, kematian akibat penyakit, kematian akibat gagal molting, kualitas kepiting
rendah, harga benih berfluktuasi, harga jual mengikuti permintaan konsumen,
kematian akibat transportasi, dan kanibalisme. Risiko berpeluang muncul tertinggi
pada budidaya dengan sistem apartemen yaitu risiko benih yang berasal dari
tangkapan alam dengan nilai RPN 112, dan risiko terendah yaitu kematian akibat
kanibalisme dengan nilai RPN 1. Risiko berpeluang muncul tertinggi pada budidaya
dengan sistem tambak yaitu risiko kematian akibat penyakit dengan nilai RPN 160,
dan risiko terendah yaitu kematian akibat kanibalisme dengan nilai RPN 5.
Berdasarkan hasil analisis rantai nilai, saluran pemasaran paling efisien
dimulai dari nelayan, pengepul kecil, pengepul besar, pedagang pengecer,
pembudidaya kepiting soka, pengepul kepiting soka, restoran kepiting soka, dan
konsumen akhir karena dapat memberikan margin pemasaran dengan pembagian
harga yang adil. Budidaya kepiting soka pada sistem apartemen berpotensi
memberikan nilai tambah lebih tinggi apabila diberikan perlakuan fisik ekdisisasi,
pencegahan penyakit, kontrol air dan pakan, serta pengembangan hatchery. Sumber
benih yang mayoritas berasal dari alam menjadi risiko yang berpeluang muncul
paling tinggi dalam aliran rantai nilai kepiting soka.
Collections
- MT - Fisheries [3016]