Analisis Struktur-Perilaku-Kinerja Industri Pakan Ternak Indonesia
Abstract
Berkembangnya industri peternakan menyebabkan meningkatnya permintaan terhadap pakan tersebut karena industri pakan ternak memiliki keterkaitan ke depan (forward linkage) berhubungan dengan output pakan yang digunakan sebagai makanan ternak dan keterkaitan ke belakang (backward linkage) yang berhubungan dengan kebutuhan akan input pakan terutama jagung. Oleh karena itu, bisnis pakan merupakan usaha yang sangat strategis. Pangsa pakan terhadap total biaya produksi mencapai 70%, sementara itu biaya bahan baku mencapai 85-90% dari total pakan. Sedangkan pangsa biaya lainnya seperti DOC (bibit) hanya mencapai 13%. Di sisi lain, 83% produksi pakan dialokasikan untuk unggas, 7% untuk budidaya ikan, 6% untuk babi, 1% untuk pakan ternak lainnya. Dengan demikian, tingginya pangsa pakan terhadap biaya produksi pada usaha ternak di Indonesia mengindikasikan bahwa produk pakan memiliki prospek yang menjanjikan selaras dengan berkembangnya industri pakan sebagai pendukung dari pembangunan dalam dunia peternakan. Sampai sekarang ini perkembangan industri peternakan semakin menurun kinerjanya. Adanya krisis moneter telah menyebabkan hampir seluruh produsen skala kecil termasuk industri pakan ternak menutup usahanya dan hanya sedikit perusahaan terintegrasi yang mampu bertahan yaitu Charoen Phokpand, Japfa Comfeed, Subur dan Anwar Sierad. Terlepas dari penyediaan bahan baku pakan, feedmill (perusahaan pakan) merupakan faktor vital dalam usaha budi daya ternak. Namun, diduga adanya kecenderungan pertumbuhan pabrik pakan ternak yang sampai saat ini telah membentuk oligopoli ditunjukkan dengan adanya (1) proporsi produksi pakan dari pabrik pakan berskala besar yang berjumlah delapan pabrik (12%) memiliki pangsa pasar 40-60%, (2) perusahaan peternakan skala besar seperti PT. Japfa Comfeed, PT. Charoen Phokpand, PT. Cargill, PT. Anwar Sierad, Group Subur, PT. Multi Breeder dll melakukan integrasi vertikal. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis struktur, perilaku dan kinerja industri pakan ternak serta hubungan antara struktur dan faktor lainnya dengan kinerja. Selain itu digambarkan pula bagaimana perkembangan industri pakan ternak Indonesia. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder yang diperoleh dari berbagai instansi yang terkait dengan industri pakan unggas seperti Biro Pusat Statistik (BPS), Departemen Pertanian, Departemen Perindustrian, Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT), serta literatur lainnya yang terkait. Data yang digunakan merupakan data time series tahunan dari tahun 1981-2005. Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur Industri pakan di Indonesia dapat dikatakan merupakan oligopoli longgar dengan rata-rata nilai rasio konsentrasi pasar sebesar 41,33 persen. Sementara itu, nilai rata-rata Minimum Efficiency Scale didapatkan sebesar 16,61 persen yang berarti hambatan masuk pasar termasuk tinggi. Nilai MES yang tinggi tersebut dapat menjadi penghalang bagi masuknya perusahaan baru ke dalam pasar industri pakan ternak di Indonesia. Perusahaan-perusahaan juga melakukan strategi untuk dapat bertahan dalam industri ini. Untuk strategi produk, perusahaan pakan ternak masih tergantung terhadap impor bahan baku, sehingga harga pakan juga berfluktuasi mengikuti perkembangan harga bahan baku. Dalam hal promosi, perusahaan besar telah memuat iklan dalam majalah khusus peternakan serta mengikuti pameran peternakan. Sementara itu beberapa perusahaan besar melakukan integrasi sehingga mampu menyediakan bahan baku sendiri. Kebijaksanaan pemerintah mengenai pengembangan industri ternak dimulai tahun 1967 dengan dikeluarkannya UU Peternakan 1967 yang menyatakan bahwa peternakan merupakan usaha rakyat, usaha komersil tidak diperkenankan masuk, dengan tujuan untuk meningkatkan kesempatan kerja dan pendapatan peternak skala kecil. Kemudian tahun 1970-an pemerintah membolehkan penanaman modal asing (PMA). Pada tahun tersebut disetujui pengembangan pembibitan ayam ras dari negara Jepang dan Amerika Serikat. Usaha yang berkembang saat itu perusahaan pembibitan, pabrik pakan, obat-obatan ternak dan pengolahan hasil ternak, sehingga usaha komersil skala besar makin berperan. Kebijakan ini disusul dengan kebijakan budi daya tahun 1980 yang mengatur pembatasan skala usaha ternak terutama ayam ras yaitu Keppres No 50/1981. Tujuan kebijakan tersebut adalah untuk menyediakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya bagi rakyat serta dalam rangka pembinaan dan perlindungan peternak rakyat ditambah lagi dengan dukungan UU Peternakan No 67. Ternyata kebijakan tersebut dinilai kurang berhasil karena peternak besar yang terintegrasi maupun peternak kecil dan yang tergabung dengan koperasi kurang puas. Berdasarkan penelitian, tingkat keuntungan (PCM) pada industri pakan ternak dikatakan masih kecil dengan rata-rata sebesar 19,56%. Kecilnya nilai PCM yang merupakan perbandingan biaya input dengan nilai output, disebabkan oleh biaya input yang terlampau besar terutama besarnya biaya untuk bahan baku yaitu sekitar 80-90%. Selain itu, untuk mengukur kinerja industri dapat dilihat dari efisiensinya. Berdasarkan penelitian, diperoleh rata-rata nilai efisiensi sebesar 30,88%. Nilai X-Eff yang termasuk kategori rendah pada industri ini mencerminkan kemampuan industri untuk meminimumkan jumlah biaya input yang digunakan untuk produksi, artinya perusahaan belum dikelola dengan baik. Perkembangan struktur-perilaku-industri pakan ternak Indonesia tidak terlepas dari pengaruh perdagangan internasional. Bagi penelitian selanjutnya sebaiknya menambahkan variabel pengaruh ekspor dan impor mengingat Indonesia adalah negara perekonomian terbuka yang melaksanakan perdagangan dengan negara luar termasuk komoditas pakan ternak.

