Show simple item record

dc.contributor.advisorAchsani, Noer Azam
dc.contributor.authorMardiyati
dc.date.accessioned2023-10-19T01:15:07Z
dc.date.available2023-10-19T01:15:07Z
dc.date.issued2010
dc.identifier.urihttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/126989
dc.description.abstractDi berbagai belahan dunia telah terjadi proses integrasi selama beberapa dekade terakhir, terutama dalam bidang ekonomi. Proses integrasi ini penting dilakukan oleh masing-masing kawasan untuk bisa bersaing dengan kawasan lainnya dalam menghadapi arus globalisasi dan liberalisasi perdagangan dunia (Achsani, 2008). Kecenderungan peningkatan proses integrasi ekonomi dan keuangan regional pada dasarnya dilandasi oleh konsep dasar (premise) bahwa manfaat yang akan diperoleh dari integrasi tersebut lebih besar dibandingkan dengan risiko yang mungkin dihadapi oleh masing-masing negara anggota dalam kawasan (Sholihah dan Saichu, 2007). Pada bulan Mei tahun 2000, dibentuk ASEAN+3 yang merupakan forum atau lembaga yang berfungsi sebagai koordinator kerjasama antara ASEAN dengan tiga negara Asia Timur, seperti China, Jepang, dan Korea Selatan. Kerjasama tersebut ditandatangani dalam Chiang Mai Initiative. Kemudian kerjasama ASEAN dengan negara-negara lain yang belum lama dibentuk adalah dengan dua negara di benua Australia, yaitu Australia dan Selandia Baru. Integrasi ekonomi antar kedua kawasan tersebut telah disepakati dan ditandatangani pada 27 Februari 2009 dalam framework ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area (AANZFTA) di tengah pelaksanaan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-14 di Hua Hin, Thailand. Adanya rencana kerjasama berupa integrasi keuangan dan moneter yang lebih mendalam antara ASEAN dengan ke-5 negara tersebut (Jepang, Korea Selatan, China, Australia, dan Selandia Baru) atau ASEAN+5 baru akan direalisasikan pada tahun 2020 dengan tambahan mitra dialog ASEAN, yaitu India. Ada beberapa faktor yang menjadi alasan negara-negara di kawasan ASEAN+5 meningkatkan integrasi ekonomi ke arah yang lebih luas. Faktor utamanya adalah Asia Financial Crisis (AFC) yang terjadi pada tahun 1997 hingga 1998. Kemudian keberhasilan Euro juga merupakan faktor lain yang mempengaruhi peningkatan kerjasama keuangan dan moneter di kawasan ASEAN+5. Peluncuran Euro di 12 negara European Union yang mampu melindungi mata uang mereka terhadap serangan spekulasi dari pasar keuangan telah menyita perhatian negara-negara di seluruh dunia (Partisiwi, 2008), termasuk negara-negara di kawasan ASEAN+5. Ngian dan H Yuen dalam Sholihah dan Saichu (2007) menyatakan bahwa bentuk integrasi moneter yang paling maju adalah currency union, yang didefinisikan sebagai sebuah kawasan dengan mata uang tunggal serta memiliki otoritas moneter bersama (bank sentral) di kawasan tersebut. Untuk menguji prospek integrasi moneter lebih lanjut dalam ekonomi blok ASEAN+5, maka perlu dilihat apakah mata uang di ASEAN+5 telah memenuhi syarat kriteria menurut teori Optimum Currency Area (OCA). Dengan demikian, penelitian ini berusaha untuk melihat kemungkinan adanya penyatuan mata uang (currency unification) pada kawasan ASEAN+5 dengan memusatkan perhatian pada variabilitas nilai tukar. Metode yang digunakan untuk memperoleh model keragaman kurs adalah Ordinary Least Square (OLS) dan Instrumental Variable Estimation (IV). Negara-negara yang menjadi objek pengamatan adalah Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, Jepang, Korea Selatan, China, Australia, Selandia Baru, dan Amerika Serikat. Hasil empiris menunjukkan bahwa tidak semua negara ASEAN+5 optimum membentuk currency union dan tidak semua kriteria atau prasyarat OCA dipenuhi oleh negara-negara anggota ASEAN+5. Negara di ASEAN+5 yang memiliki nilai OCA indeks yang kecil adalah Korea Selatan dan Singapura, sehingga dapat dikatakan bahwa kedua negara tersebut dapat menjadi negara peg setelah Amerika Serikat. Berdasarkan hasil perhitungan OCA indeks dengan menggunakan Amerika Serikat sebagai negara peg didapatkan bahwa Korea, Singapura, dan China dapat bergabung untuk membentuk currency union pada Tahap I yang kemudian disusul dengan bergabungnya Indonesia dan Jepang (Tahap II). Dengan benchmark Amerika Serikat, Selandia Baru menjadi negara yang memperoleh keuntungan lebih sedikit dibanding dengan risiko atau kerugian yang harus ditanggungnya ketika ingin bergabung dalam currency union ASEAN+5, terlihat dari tingginya nilai OCA indeks yang dihasilkan. Berdasarkan hasil penelitian maka rekomendasi kebijakan yang bisa diberikan untuk mencapai konvergensi ekonomi dengan negara yang berkondisi optimum membentuk currency union adalah mengadopsi kebijakan moneter yang bijaksana, memperkuat stabilitas sektor keuangan untuk mengurangi inflasi, memelihara stabilitas nilai tukar, meningkatkan perdagangan intra-industry, dan meningkatkan keterbukaan ekonomi antar negara-negara ASEAN+5. Untuk penelitian selanjutnya sebaiknya memasukkan data partners perdagangan lainnya pada wilayah Asia maupun diluar Asia, seperti negara-negara di Eropa, India, dan negara-negara anggota ASEAN lainnya, sehingga akan diperoleh data crosssection yang lebih banyak. Sebagai perbandingan dapat menggunakan data tahunan (annual data). Terkait dengan penggunaan metode, dapat digunakan metode GMM (Generalized Method of Moment) serta pengkajian lebih lanjut nilai OCA indeks dalam rangka peningkatan keuntungan dari penyatuan mata uang.id
dc.language.isoidid
dc.publisherBogor Agricultural University (IPB)id
dc.subject.ddcEconomic and managementid
dc.subject.ddcEconomicid
dc.titleAnalisis volatilitas exchange rate dan kemungkinan penyatuan mata uang (Currency Unification) di kawasan ASEAN+5id
dc.typeUndergraduate Thesisid
dc.subject.keywordASEAN+5id
dc.subject.keywordOptimum currency areaid
dc.subject.keywordOCA Indeksid
dc.subject.keywordInstrumental variableid
dc.subject.keywordCurrency unionid
dc.subject.keywordBogor Agricultural Universityid
dc.subject.keywordInstitut Pertanian Bogorid
dc.subject.keywordIPBid


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record