Analisis pengaruh instrumen moneter syariah dan konvensional terhadap pertumbuhan sektor riil di Indonesia
View/ Open
Date
2010Author
Ayuniyyah, Qurroh
Achsani, Noer Azam
Ascarya
Metadata
Show full item recordAbstract
Pertumbuhan yang pesat dari industri perbankan syariah di Indonesia
dalam dua dekade terakhir telah membuktikan peranannya sebagai institusi
keuangan yang memanfaatkan, mengalokasikan, dan memobilisasikan sumber
daya. Sama halnya dengan bank konvensional, bank syariah pun bergantung pada
simpanan nasabah sebagai sumber dana utama keuangan bank (Haron dan Wan
Azmi, 2005). Selanjutnya, dana dari nasabah ini pun disalurkan kepada para
peminjam, sebagai salah satu proses fungsi intermediasi perbankan.
Dalam kaitannya dengan pengaruh sektor moneter terhadap sektor riil,
Balamoune-Lutz (2003) berpendapat bahwa perkembangan sistem keuangan di
negara berkembang lebih menekankan kepada perkembangan uang dan
intermediasi keuangan, bukan pada perkembangan pasar modal yang justru saat
ini mendominasi sistem ekonomi di negara maju. Oleh karena itu, dalam konteks
perekonomian negara berkembang, mayoritas penelitian berfokus pada aktivitas
intermediasi keuangan, seperti lembaga keuangan dan bank komersial.
Tentunya dengan diterapkannya instrumen moneter syariah dan
konvensional secara bersamaan akan memiliki beberapa implikasi terhadap
performa dari sektor riil maupun sektor moneter dalam perekonomian. Oleh
karena itu, penelitian ini akan menganalisis secara kuantitatif pengaruh instrumen
moneter syariah terhadap pertumbuhan sektor riil di Indonesia kemudian
dibandingkan dengan instrumen moneter konvensional melalui mekanisme
transmisi moneter yang dikemukakan oleh Mishkin (2004).
Dalam menganalisis data runtut waktu periode Januari 2004 hingga
Desember 2009, digunakan metode Granger Causality, VAR, dan VECM.
Berdasarkan uji kausalitas Granger, variabel nilai nominal pembiayaan syariah
dan kredit memengaruhi pertumbuhan pada output riil. Meskipun demikian,
perbedaan yang signifikan terjadi pada karakteristik tingkat pengembalian syariah
dengan suku bunga. Jika suku bunga secara langsung menyebabkan IPI, maka
tingkat pengembalian syariah justru disebabkan oleh IPI, bukan sebaliknya. Hal
ini mencerminkan bahwa tingkat pengembalian syariah ditentukan berdasarkan
kinerja dari IPI, sehingga nilainya ini mencerminkan pergerakan sektor riil.
Sedangkan variabel suku bunga merupakan instrumen yang ditetapkan secara
sepihak oleh bank, tanpa melihat kinerja pergerakan sektor riil terlebih dahulu.
Berdasarkan model VECM, variabel nilai nominal pembiayaan syariah dan
DPK konvensional memiliki hubungan positif dengan pertumbuhan sektor riil.
Hal ini sejalan dengan hipotesis penelitian dan teori ekonomi. Sedangkan variabel
nilai nominal kredit konvensional dan nominal DPK syariah ternyata memiliki
memiliki hubungan negatif dengan pertumbuhan sektor riil di Indonesia. Hal ini
tidak sesuai dengan hipotesis penelitian. Adanya hubungan negatif antara DPK
syariah menjelaskan adanya fenomena displace commercial risk yang
memperkuat penelitian yang dilakukan Hasanah (2010), Beik et al (2010), Kasri
dan Kassim (2009), serta Haron dan Wan Azmi (2005).
Bagi hasil (rate of return syariah) memiliki hubungan positif dengan
pertumbuhan sektor riil, sedangkan suku bunga memiliki hubungan yang negatif
terhadap pertumbuhan sektor riil. Hal ini memang telah sesuai dengan hipotesis
dan teori ekonomi yang ada.
Berdasarkan analisis IRF, variabel instrumen moneter konvensional
memberikan guncangan yang jauh lebih besar terhadap pertumbuhan sektor riil
dibandingkan dengan instrumen moneter syariah. Hal ini disebabkan karena
proporsi instrumen konvensional yang masih mendominasi sekitar 97 persen dari
share perbankan nasional. Hasil analisis FEVD pun menunjukkan adanya
dominasi instrumen moneter konvensional terhadap variabilitas pertumbuhan
sektor riil di Indonesia. Selain itu, instrumen moneter syariah memiliki
karakteristik yang lebih stabil dibandingkan dengan variabel moneter
konvensional karena lebih cepat menemukan titik kestabilan dibandingkan dengan
instrumen moneter konvensional.
Oleh karena itu, berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, terdapat
beberapa saran maupun rekomendasi yang dapat diajukan. Pertama, sebaiknya
para ekonom, akademisi, praktisi, maupun pengambil kebijakan untuk
memberikan ruang gerak yang lebih besar bagi pertumbuhan sistem moneter
syariah di Indonesia. Kedua, intrumen kebijakan moneter konvensional yang
tercermin melalui SBI ternyata tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap
pertumbuhan sektor riil, sehingga seharusnya nilai SBIS ditetapkan sesuai dengan
performa dari sektor riil, bukannya langsung ditetapkan sama persis dengan nilai
SBI.
Ketiga, adanya fenomenan displace commercial risk yang terlihat dari
pengaruh negatif DPK syariah terhadap nilai IPI, membuktikan bahwa
karakteristik dari para nasabah yang masih terdominasi oleh suku bunga. Oleh
karena itu, sebaiknya otoritas moneter bekerja sama dengan para akademisi dan
ekonom merancang sebuah rumus tersendiri bagi variabel moneter syariah.
Karena jika benchmarking terus dilakukan secara masif, maka akan semakin
mengaburkan karakteristik dari variabel syariah itu sendiri.
Keempat, pemerintah dan otoritas moneter diharapkan dapat membuat
kebijakan maupun peraturan yang dapat mendorong perkembangan ekonomi
syariah dengan lebih baik mulai saat ini. Investasi pada sumberdaya manusia yang
paham dalam menjalankan sistem syariah pun harus senantiasa dilakukan, bekerja
sama dengan universitas dan lembaga pendidikan lainnya. Bagi seluruh akademisi
dan praktisi ekonomi syariah dapat konsisten dalam memberikan kontribusi bagi
perkembangan sistem ekonomi syariah. Beberapa hal seperti promosi dan
pendidikan yang berkelanjutan mengenai ekonomi syariah dan perbaikan praktek
sistem ekonomi syariah pada lembaga keuangan perlu terus dilakukan dan
dikembangkan.
Kata Kunci